Yanti bercerita, sebenarnya ia mengawali usaha bukan sebagai perajin craft, tetapi bermula dari seorang penjahit pakaian anak-anak sampai dewasa, laki-laki maupun perempuan. Kebetulan sejak remaja ia memang gemar menjahit dan pernah mengikuti kursus. Lulus kuliah dari Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, Malang, Yanti lalu menikah dan membuka jasa penjahit. Usahanya itu cukup sukses, bahkan pernah memiliki 10 karyawan. Di sana, Yanti hanya bagian memotong atau membuat desain, sementara yang menjahit karyawannya.
Karena usaha menjahitnya cukup ramai, limbah kain potongan sisa menjahit jadi menumpuk. Kemudian oleh ibunya, Kibtijah, limbah itu dibuat menjadi kerajinan sederhana, seperti selimut, taplak meja, sarung bantal, serbet, sarung tangan dapur, dan sebagainya. Kebetulan, ibunya memang orang yang terampil, dan menurut sang ibu sayang kalau limbah kain itu hanya dibuang. Ternyata, lama-kelamaan hasil kerajinan yang dibuat ibunya semakin bagus, bahkan banyak orang yang menyukai. Lalu, Yanti coba memasarkan karya ibunya kepada orang-orang yang datang. Dari sanalah, kemudian terpikir pembuatan kerajinan kain perca itu akan lebih prospektif jika dikembangkan. Yanti pun mulai serius belajar membuat berbagai jenis kerajinan, mulai tas, dompet, dan taplak meja. Namun, saat itu sifanya hanya sebagai pengisi waktu luang, karena usaha jasa menjahit masih terus berjalan. Sementara sekarang, ia sudah tidak menjahit lagi karena fokus ke craft.
Ternyata usaha pembuatan kerajinan itu berkembang dan banyak teman-temannya yang minta diajari. Itu terjadi sekitar tahun 2008. Kebetulan, Yanti juga suka mengajar, jadi dengan senang hati ia bersedia mengajari mereka. Bahkan, kalau mereka tidak bisa datang, Yanti yang mendatangi. Ia juga meminta mereka mengajak teman-temannya yang lain. Pertama kali Yanti membuat komunitas di kawasan yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya, dan tersebar di berbagai kecamatan di Malang. Bahan dasarnya ia bawa dari rumah. Satu kelompok terdiri dari 4 sampai 10 orang. Yanti mengamati, waktu itu kualitas hasilnya masih sederhana, karena pengetahuannya pun juga terbatas. Demikian pula metoda pembuatannya, semua tergantung dirinya, karena waktu itu belum ada pakemnya. Kendati demikian, jumlah ibu-ibu yang minta diajari makin hari makin banyak, sampai ia mulai keteteran karena waktunya tidak cukup. Demikian pula limbah perca, sekarang sudah tidak cukup lagi dan ia pun terpaksa harus membeli dari pemasok yang berasal dari berbagai daerah dengan harga Rp 4000-Rp 7000 per kilo.
Kelompok yang minta diajari bermacam-macam, mulai ibu-ibu korban PHK, ibu-ibu muda, sampai para TKW yang pulang kampung. Bahkan, sebagaian ibu-ibu muda yang ingin belajar dengannya datang dengan diantar suaminya. Para suami tersebut sengaja 'menitipkan' istri mereka untuk belajar membuat kerajinan supaya menghasilkan. Apalagi bila belajar di Balai Latihan Kerja (BLK) tidak boleh membawa anak, padahal mereka ini meski usianya baru 17 tahun, tapi sudah punya anak. Demikian pula prara TKW, mereka sangat gembira, karena dengan punya keterampilan seperti itu, mereka tak perlu lagi ke luar negeri. Karena itulah, Yanti cukup gembira karena selain bisa berkumpul mencari nafkah bersama, tetapi ia juga bisa menggugah kesadaran mereka supaya tidak ada yang kawin muda. Sekarang mulai banyak relawan mahasiswa yang ikut membantu, juga sharing tentang sosial kemasyarakatan.
Tahun 2012, Yanti membentuk beberapa kelompok. Masing-masing kelompok punya nama sendiri beserta ketua dan anggotanya, serta program kerja. Nama kelompok-kelompok tersebut cukup menarik, contohnya Kelompok Hasta Terampil, Taman Kreasi, Kriya Perempuan, Pujisari, Genitri, Kartini, dan lain-lain. Saat ini sudah ada 21 kelompok yang masing-masing anggotanya sektar 350 orang yang aktif. Sejak tahun 2014 Yanti juga membuat komunitas perajin limbah kain perca dengan nama Pelangi Nusantara (Pelanusa). Dengan membuat kelompok, secara organisasi tentu lebih tertata rapi. Karena, setiap kelompok ini dipandu oleh satu orang pendamping yang diambil dari anggota yang sudah mahir. Setiap kelompok ini, paling tidak ketua dan beberapa anggotanya, setiap Rabu berkumpul di tempat Yanti. Mereka akan mendapat pelatihan mulai dari pengolahan keuangan sampai membahas pesanan yang akan dikerjakan bersama. Misalnya, ketika akan membuat dompet model terbaru, maka Yanti dan koordinator utama akan mengajari ketua masing-masing kelompok. Tidak sekedar membuat, tetapi juga dengan SOP-nya, mulai bagaimana cara memotong bahan, menjahitnya diawali dari sisi mana, kapan memasang resletingnya, sampai kerajinan itu benar-benar jadi utuh. Lalu, ketua kelompok inilah yang akan mengajari anak buahnya, sehingga cara membuat dan hasilnya sama.
Penerapan panduan SOP yang harus sebegitu detail ditujukan agar produk mereka selaras hasilnya dan tidak ada pengulangan kerja. Maka, banyak orang lain yang melihat dompet atau kerajinan mereka yang lainnya, mengira itu produk hasil pabrikan, karena bentuknya yang sama persis. Padahal, sejatinya itu handmade yang dibuat oleh banyak orang. Kuncinya adalah ada pada SOP tadi. Bahkan, belakangan ini, setelah nama Pelanusa berkibar, sudah mulai ada relawan dari berbagai universitas di Malang, dan dari berbagai latar belakang. Jadi, para anggota juga diajari tentang surat menyurat melalui email, sampai memasukkan kerajinannya di blog, instagram, atau medsos lainnya. Manfaat lain, pertemuan setiap hari Rabu itu, selain diajari bahasa Inggris oleh para relawan, dijelaskan juga bagaimana profit sharingnya, berapa harga dari konsumen, setelah dipotong bahan, nanti akan ditemukan berapa ongkos untuk perajin dan berapa hasil yang diperoleh Yanti sendiri. Bahkan, di antara mereka terjadi saling tawar menawar. Yanti memang menerapkan manajemen terbuka sehingga para anggota merasa nyaman karena dilibatkan.
Awalnya, usaha Pelangi Craft memang murni milik Yanti pribadi. Jadi, untung dan ruginya ia tanggung sendiri. Tetapi sejak 2012, Yanti menggantinya dengan Pelangi Nusantara (Pelanusa) dengan sistem pengelolaan milik bersama. Pelanusa ini langsung diketuai oleh Yanti, namun bidang-bidang yang lainnya 80 persen pegurusnya adalah para anggota sendiri. Karena dianggap berhasil mengelola lembaga, Yanti pun memenangkan kompetisi kewirausahaan sosial berbasis komunitas yang diadakan British Council. Banyak yang dikompetisikan, selain berbasis komunitas juga ada basis pendidikan, basis pesantren, dan lain-lain. Sebagai hadiah, Yanti pun diberangkatkan mengikuti study visit selama seminggu di Inggris bersama lima pemenang lainnya. Oleh British Council lembaga Pelanusa yang ia kelola ini diberi badan hukum dalam bentuk koperasi, masuk dalam kategori lembaga bisnis yang tetap memiliki impact sosial kepada masyarakat dengan pendekatan keterampilan.
Bagi pedagang yang lain, mungkin berpandangan bila semakin melibatkan banyak anggota, akan makin rugi karena hasilnya harus dibagi dengan banyak orang. Namun Yanti tidak berpikiran seperti itu. Justru baginya, dengan melibatkan banyak orang akan menjadi sebuah sebuah kekuatan. Salah satu contoh, kalau perajin lain tiba-tiba mendapat pesanan dari luar negeri satu container dompet dengan waktu sebulan, sangat yakin mereka tidak akan bisa memenuhi. Tapi bagi Yanti itu tidak masalah, karena ia memiliki banyak anggota, jadi semuanya tinggal dikerjakan bersama-sama.
Bila sedang tidak ada pesanan, masing-masing anggota kelompok membuat sendiri-sendiri di rumahnya. Kalau lolos quality control akan langsung Yanti beli, tetapi kalau sedikit kurang rapi, ia perbolehkan untuk dititipkan di tempatnya dan akan ia jual di pameran-pameran. Selama ini yang membeli produk kerajinannya adalah orang yang datang ke workshop Pelanusa di Jl. Wijaya Barat, Singosari, Malang, juga ke tempat pameran yang Yanti ikuti. Ada juga produknya yang untuk diekspor, misalnya yang rutin setiap tahun, ke Jepang. Selain itu Pelanusa juga menerima pesanan untuk suvenir.
Ada dua kategori kerajinan yang dibuat oleh para anggota Pelanusa, yakni kategori home decoration yang terdiri dari sarung bantal kursi, sarung bantal lantai, taplak meja makan, alas lantai, runner, tutup kulkas dan galon air mineral, bad cover dan lain-lain. Kategori kedua adalah aksesori mulai dari tas, dompet, tas anak sekolah, tas perempuan, ransel, dan lain-lain.
Yanti bercerita, setelah Pelanusa diliput oleh salah satu stasiun televisi, ada telepon yang masuk dari sebuah lembaga pelatihan handycraft di Jakarta. Mereka akan datang untuk mengajari para anggota Pelanusa selama beberapa hari secara cuma-cuma. Ada juga lembaga seperti Dompet Dhuafa yang tiba-tiba datang melakukan pendampingan soal biaya. Jadi, selama setahun kebutuhan peningkatan kualitas para anggota akan dibiayai secara penuh. Demikian pula dari 21 kelompok, 10 kelompok yang ada di Kabupaten Malang mendapat bantuan dari Pemkab Malang, masing-masing satu set mesin yang terdiri dari mesin jahit, obras, dan bordir.
Kini penghasilan rata-rata para anggota bisa minimal Rp 500 ribu sampai Rp 2 juta bersih setiap bulan, tergantung tingkat kerajinan mereka. Anggota Pelanusa saat ini tersebar di Malang, Trenggalek, Jember, Tuban, dan Palangkaraya. Khusus untuk Palangkaraya yang diproduksi bukan craft, melainkan makanan. Hasil nanas di Palangkaraya sangat bagus. Jadi saat ini, Yanti mencoba membuat toko oleh-oleh khas Palangkaraya berbahan buah nanas. Nanas itu bisa diolah menjadi keripik sampai selai, bahkan ke depannya Yanti akan mencoba untuk memanfaatkan serat nanas untuk kain. Kebetulan suaminya, Sugeng Budiono, sudah pindah pekerjaan di bidang komputer di kota Palangkaraya. Yanti bersama kedua anaknya, Achmad Fadjrul dan Hulam Najmudin, tetap berada di Malang. Jadi ia dan suami akan bergantian bolak-balik Malang-Palangkaraya.
Terimakasih sudah menulis ttg pelangi nusantara
BalasHapus