Suati hari, Maylia Erna Santoso pernah membaca, bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang budaya literasi masyarakatnya tinggi. Saat itu juga, ia pun merasa prihatin terhadap rendahnya budaya baca dan menulis pada anak-anak di Indonesia. Atas dasar itulah, ibu 3 anak berwajah elok ini lalu mendirikan Indonesia Writing Edu Centre (IWEC) pada tahun 2014. IWEC adalah sebuah lembaga yang mendidik anak-anak untuk menulis sekaligus mencetak buku hasil karya mereka. Cibiran banyak orang yang menyebut usahanya sebagai 'bunuh diri' karena budaya literasi di Indonesia yang masih rendah tak menyurutkan semangatnya. Maylia pun justru memimpikan IWEC bisa melahirkan penulis-penulis anak yang andal.
Maylia mengawalinya di tahun 2013 ketika diminta mengajar di sebuah lembaga semacam kursus yang mengajari anak-anak menulis. Namun, ia merasa kurang pas, karena perannya di sana tidak ubahnya hanya seperti mengoreksi karangan atau karya tulis anak. Tidak ada bimbingan bagaimana anak bisa membuat sebuah karya tulis yang bagus, detail, dan terstruktur. Kebetulan pula, tak lama kemudian lembaga tersebut tutup. Dari sanalah, Maylia lalu berpikir mengapa tidak mendirikan sendiri saja lembaga serupa dengan kurikulum yang lebih bagus. Setelah berdiskusi dengan suami, Nurdin Razak, mereka pun sepakat mendirikan IWEC.
Di IWEC anak tidak sekedar diajari soal tulis menulis tetapi sekaligus sampai mencetak buku dan publikasinya. Tak hanya itu, anak juga diberi materi soal public speaking. Peserta yang bergabung di IWEC adalah anak-anak dengan rentang usia 7-15 tahun. Untuk efektivitas, setiap kelas diisi maksimal 6 anak dengan satu pengajar. Sesuai dengan kurikulum yang telah dibuat, anak-anak itu akan diberi materi mulai dari pengenalan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kosa kata, diksi, membuat alur cerita, teknik wawancara, dan banyak lagi. Total semuanya ada 12 item. Pelajaran ini diberikan seminggu sekali selama 2,5 jam.
Tentu saja Maylia tidak mengajar semuanya sendirian. Sehari-hari ia dibantu oleh lima pengajar. Total lama kursus adalah 18 bulan. Rinciannya, enam bulan pertama teori, ditambah delapan bulan proses teknik pembuatan cerpen, dan ditambah empat bulan lagi untuk materi pelajaran public speaking. Yang juga perlu dicatat, kegiatan belajar juga tak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi sebulan sekali anak-anak tersebut diajak keluar seperti mengunjungi supermarket, pasar tradisional, atau ke tempat yang bisa memperkaya khasanah pengetahuan mereka. Sehingga ketika mereka menulis tidak sekedar berimajinasi, tetapi juga relevan sebab mereka tahu detailnya. Misalnya, ketika anak-anak menulis tentang pasar tradisional, kalau mereka sendiri tidak pernah tahu bagaimana suasana di dalam pasar tradisional, tentu tulisannya akan jadi hambar, tidak ada rohnya.
Setelah selesai mengikuti materi selama 18 bulan, kepada masing-masing orangtua ditawarkan untuk membuat buku hasil karya anak mereka, dengan difasilitasi oleh IWEC. Mulai dari mengarahkan pemilihan topik, mengedit ringan, membuat desain buku termasuk gambar pendukung, sampai naik ke percetakan, dan menjualnya di toko buku yang memang sudah ada kerjasama dengan IWEC.
Maylia menambahkan, kelas public speaking turut diadakan di IWEC, karena sesuai dengan kebutuhan. Pertama, bahwa berbicara di depan umum itu sangat penting. Untuk menyampaikan gagasan atau menjelaskan sebuah persoalan itu dibutuhkan komunikasi verbal yang bagus. Dan ini bukan hanya untuk seorang penulis saja, tetapi di setiap bidang ilmu pun juga demikian. Khusus berkaitan dengan siswa IWEC, public speaking diberikan karena nanti setelah siswa tamat dan membuat buku, maka pada saat pra launching buku tersebut, dia akan didatangkan wartawan untuk wawancara sekaigus berbicara di depan audiens. Di depan wartawan tersebutlah, anak harus bisa menjelaskan banyak hal tentang bukunya, termasuk ketika mendapat pertanyaan dari pengunjung saat launching.
Jadi para pengarang cilik ini akan diperlakukan layaknya para pengarang profesional. Mereka akan diberi panggung seluas-luasnya untuk menunjukkan kemampuan di depan banyak orang. Bukan hanya kemampuan sebagai penulis, tetapi juga ketika melontarkan gagasan-gagasannya sampai lahirnya buku karya mereka. Untuk kelas public speaking ini IWEC akan mendatangkan pengajar teman-teman penyiar radio yang memiliki kemampuan berbicara dengan bagus.
Sampai saat ini, sudah empat buku yang dilahirkan oleh anak-anak IWEC dalam bentuk antologi atau kumpulan karangan. Antologi sengaja dipilih karena kalau anak-anak tersebut harus membuat satu buku cerpen sendiri dengan ratusan halaman, tentu butuh waktu yang sangat lama. Padahal, IWEC membatasi waktu enam bulan harus kelar. Dan akhirnya diambil jalan tengah, tiga sampai enam anak digabung untuk membuat satu buku. Buku-buku yang sudah launching dipasaran di antaranya Romansa Persahabatan, yang bercerita tentang persahabatan antara makluk hidup yang ditulis oleh enam orang anak. Buku kedua berjudul Hexagon, yang isinya campuran dari enam anak penulis. Dari keenamnya itu ada yang menulis tentang trafficking, petualangan remaja, sampai soal budaya. Buku ketiga berjudul Adventure Time, berkisah tentang petualangan dan ditulis oleh empat anak, sedang buku keempat yang berjudul Conveito, bercerita tentang keluarga dan persahabatan yang ditulis empat anak.
Biaya untuk mengikuti kursus di IWEC sebesar Rp 500.000 per bulan ditambah Rp 100.000 untuk mencetak dua eksemplar buku karya mereka di akhir kursus. Tetapi, begitu dicetak dan dipasarkan ke toko buku memang akan ada perhitungan baru lagi. Untuk percetakan dan toko buku sendiri, IWEC sudah mempunyai relasi. Tapi, pada umumnya begitu sang anak berhasil membuat buku, orangtuanya pun sangat bangga sekali.
Selain dari mulut ke mulut, Maylia memperkenalkan IWEC juga dari mengikuti pameran. Menurutnya, usaha seperti ini memang baru akan kelihatan hasilnya setelah 10 tahun. Jadi baginya, tidak masalah kalau sekarang harus berjuang kerasa dan 'berdarah-darah' dahulu. Maylia sendiri saat ini memiliki tiga anak yang juga suka menulis, masing-masing Fairuza Hanun Razak, Ashalina Gina Razak, dan Nizzar Emir Razak. Anaknya yang pertama dan kedua sudah mempuyai karya buku. Bahkan, Hanun sudah menelurkan satu novel berbahasa Inggris, satu cerpen, dan satu buku ensiklopedi tentang kucing berjudul Domestic Cat. Asha pun juga sudah pernah menghasilkan satu buku cerpen. Jadi, menurut Maylia, IWEC selain menjadi lembaga yang ia impikan, sekaligus juga bisa menjadi kendaraan bagi anak-anaknya untuk menuangkan karya-karya mereka.
Bisa memiliki anak yang sudah mempunyai kemampuan menulis yang begitu bagus di usia yang sangat dini, Maylia menjelaskan, sebenarnya dia biasa saja dalam mendidik anak-anaknya. Hanya saja ia memang mendidik ketiga anaknya dengan metode home schooling. Karena ia memang kurang sepaham dengan model pembelajaran konvensional atau sekolah pada umumnya. Maylia berpikir, teknik pengajaran di sekolah perannya bisa diambil oleh orangtua. Dengan home schooling, anak justru akan lebih fokus dan itu Maylia terapkan ke ketiga anaknya.
Dengan home schooling, sejak kecil Maylia sudah tahu ke mana arah anak-anaknya. Anaknya yang bernama Hanun memang punya kecenderungan kuat di bidang bahasa serta biologi dan lingkungan. Oleh karena itu, Maylia dan sang suami terus mendorongnya untuk fokus ke sana. Salah satu karya yang sudah bisa dihasilkan Hanun adalah ensiklopedi dalam bahasa Inggris tentang kucing yang memang menjadi binatang yang disukainya. Ke depan, Maylia dan suami juga akan fokuskan anaknya itu untuk terjun di dunia eco tourism. Kebetulan suaminya selain menjadi dosen pariwisata di Universitas Airlangga, Surabaya, fotografer wild life, juga mempunyai usaha di bidang eco tourism di Desa Wonorejo, besebelahan dengan Taman Nasional Baluran.
Jadi, sejak balita Hanun sudah diajak blusukan masuk Taman Nasional Baluran, bahkan ketika usia sembilan tahun dia sudah bisa memandu turis asing masuk ke Taman Nasional Baluran. Hanun pun juga mendapat kesempatan berbicara soal lingkungan di depan para walikota atau utusan dari berbagai negara di acara UN Habitat yang diadakan di Surabaya, Agustus 2016. Sementara anaknya yang bernama Asha memiliki kekuatan di bidang keterampilan, sedangkan si bungsu Nazar meski belum kelihatan jelas minatnya, tetapi kata Maylia, sepertinya dia menyukai segala hal yang berbau teknik. Untuk masalah bahasa Inggris, sejak kecil ketiga anaknya memang sudah Maylia ajari secara aktif.
Maylia sendiri dulunya kuliah di jurusan akutansi, tetapi memang sudah suka tulis menulis sejak remaja. Ia juga memiliki kecenderungan di bidang psikologi, oleh karena itu di awal 2017 ia me-launching novel berjudul Perempuan, yang berkisah tentang psikologi seorang perempuan single parent dengan anak gadisnya. Liku-liku perceraian dan hubungan yang kurang baik dengan ayah yang akhirnya memiliki dampak buruk pada anak gadisnya. Harapan ke depan, Maylia akan terus mengembangkan IWEC sekuat tenaga. Seperti yang disampaikan Andrea Hirata dalam sebuah kesempatan bertemu di Jakarta, IWEC harus teus maju. Bahkan, seharunya lembaga seperti IWEC ini harus ada di setiap daerah di Indonesia sehingga anak-anak yang memiliki talenta dalam dunia literasi bisa terwadahi.
Sambal Roa Judes, salah satu kekayaan kuliner nusantara, Sambal yang dibuat dari campuran Ikan Roa ini selalu sukses menggoda lidah para penggemar pedas. Bahkan bagi mereka yang tidak pernah memilih ikan sebagai menu makanan mereka pun, selalu berakhir dengan mengakui kehebatan rasa Sambel Roa JuDes ini.. Anda penasaran ingin menikmatinya ? Hubungi layanan Delivery Sambal Roa Judes di 085695138867. BBM : 5F3EF4E3
BalasHapus