Senin, 06 Maret 2017


Setiap manusia pasti menginginkan bentuk tubuh yang sempurna. Punya kaki untuk berjalan, punya tangan beserta jari-jari untuk melancarkan aktivitas. Tapi itu tidak dimiliki Ayu Tri Handayani. Warga Banyuanyar, Banjarsari, Solo, ini tak punya tangan kanan, sementara tangan kirinya mengecil hingga siku. Praktis, ia juga tidak punya jari-jari tangan. Tak ada alternatif lain, ia pun harus menggunakan kakinya untuk memperlancar aktivitas, menggantikan jari-jari tangan. Namun, meski dengan kondisi yang seperti itu, Ayu tetap berusaha tegar dan bersemangat melanjutkan hidupnya.

Ayu sudah terlahir dalam kondisi difabel seperti itu. Entah apa penyebabnya. Yang pasti, kedua orangtuanya tidak memiliki kelainan. Pun dengan kakak dan dua adiknya, mereka lahir dan tumbuh normal. Tapi, Ayu bersyukur kedua orangtuanya tetap mendidiknya dengan sepenuh kasih, dan sama seperti kakak dan adik-adiknya yang lain. Walau difabel, orangtua mendidik Ayu untuk tetap menjadi pribadi yang kuat. Mereka mengajarinya mandiri dengan melakukan segala aktivitas keseharian sendiri. Makan, naik sepeda, menulis, mandi pun Ayu lakoni sendiri. Semuanya ia lakukan dengan jari-jari kaki.

Selain dengan jari-jari kaki, Ayu juga menggunakan lengan kirinya yang mengecil. Misalnya untuk naik sepeda, ia akan mengapit setang dengan lengan kirinya itu. Begitupun aktivitas lainnya. Jadi, Ayu masih kembali bersyukur, meski lengan kirinya mengecil, tapi sangat membantu dalam melakoni kegiatannya sehari-hari. Hanya ada dua aktivitas yang tidak bisa ia lakukan sendiri, yakni memasang kancing baju dan mengaitkan hak celana atau rok. Bila harus melakukan aktivitas itu, maka Ayu akan berteriak memanggil kakak, adik, atau ibunya untuk membantu.


Meski memiliki kekurangan, Ayu mengaku tak pernah kehilangan masa kecil. Walau terkadang ada yang menyindir kondisinya, tapi ia tak peduli. Sang bapak dan ibu serta keluarganyalah yang menjadi penyemangatnya. Kasih sayang mereka membuat Ayu kuat menjalani hidup. Oleh orangtuanya, Ayu disekolahkan di YPAC di Jalan Slamet Riyadi, Solo. Ia bersekolah di sana sejak memasuki bangku TK tahun 1997. Menurut cerita sang ibu, Ayu bisa disekolahkan di sana karena info dari tetangga yang kebetulan menjabat sebagai pengurus YPAC.

Saat duduk di bangku TK, sang bapak selalu mengantar dan menunggunya sampai selesai sekolah. Kemudian ketika SD hingga SMP, sang ibulah, kadang bergantian dengan sang nenek, yang menunggu Ayu hingga pulang sekolah. Tetapi sejak masuk SMA, Ayu berangkat sekolah kadang diantar bapaknya, lalu pulangnya naik angkot. Di YPAC, Ayu masuk kelas Sekolah Luar Biasa Daksa (SLB D), Ia masuk ke kelas tersebut karena, berdasar aturan akademik, ia hanya berkekurangan untuk urusan fisik. Untuk IQ, ia sama sekali tidak masalah alias normal.

Ayu lulus SMP tahun 2008. Setelah itu ia sempat berhenti sekolah selama setahun karena saat itu kebetulan belum ada jenjang SMA untuk SLB D YPAC. Namun, tanpa diduga, ia mendapatkan telepon dari YPAC dan diminta untuk mengikuti pelatihan membatik. Awalnya, Ayu sama sekali tidak berminat membatik. Karena bila ia melihat di televisi, sepertinya membatik itu sangat rumit. Lagipula, pikir Ayu, saat membatik ia juga harus menggunakan jari kaki. Tidak mungkin membatik dengan lengan kirinya yang tanpa jari.


Akan tetapi, karena memang tidak ada tawaran mengikuti pelatihan keterampilan yang lain, Ayu terpaksa mengikuti pelatihan membatik yang ditawarkan itu. Padahal, ia awalnya ingin mendapat keterampilan meronce monte. Dalam pandangannya, meronce monte itu lebih muda dilakoni sesuai dengan kondisi tubuhnya. Namun, biarpun ia mengikuti kursus dengan terpaksa, Ayu masih punya dorongan untuk belajat membatik. Mungkin, menurut Ayu, inilah yang bisa disebut rahasia Tuhan.

Ayu mengikuti pelatihan dua kali seminggu. Mentornya waktu itu dari Yogyakarta. Pesertanya berjumlah ratusan. Setelah pelatihan, Ayu dan ratusan siswa lainnya diseleksi lebih lanjut untuk mengetahui peserta yang benar-benar memiliki bakat membatik. Tangan Tuhan kembali hadir saat Ayu terpilih dan dinyatakan memiliki bakat membatik. Hasilnya, empat peserta dinyatakan lulus membatik, dan Ayu adalah salah seorang di antaranya. Tentu saja Ayu sempat kaget saat itu. Ia masih ingat betul, bagaimana dirinya secara asal-asalan mengikuti pelatihan membatik. Waktu itu Ayu lebih sering membatik motif bunga. Tapi, lantaran sudah disaring, Ayu kemudian mengikuti pelatihan membatik selama setahun.

Pepatah lama berkata, cinta muncul karena terbiasa. Rupanya seperti itu juga yang terjadi pada Ayu. Lama-kelamaan, ia jatuh cinta pada seni membatik. Ia dapat merasakan bagaimana membatik bisa membantunya untuk menjadi lebih sabar dan teliti. Sembari mengikuti pelatihan membatik, Ayu juga akhirnya melanjutkan sekolah ke jenjang SMA yang sempat tertunda. Kebetulan, tahun itu juga YPAC mulai membuka SMA SLB-D. Saat itu, instruktur membatiknya berganti, dari orang Yogya, diganti dengan orang Solo, yang berasal dari Batik Puspa Kencana, Solo.


Pelatihan mulai lagi di tahun 2011. Tak disadari, talenta membatik Ayu kian terlihat. Menurut Ayu, butuh waktu dua tahun supaya ia lancar membatik. Ayu pun merasakan bagaimana membatik dengan kaki itu sungguh tidak gampang. Dengan kaki kanannya, Ayu menyalakan batang korek api. Sementara jari kakinya memegang lidi untuk menyulut sumbu kompor. Kompor kemudian dinyalakan. Ayu lalu mengambil malam dan diletakkan di atas wajan untuk dipanaskan. Dengan kaki juga, Ayu kemudian membentangkan kain. Setelah malam cair, Ayu pun segera membatik. Posisinya duduk dan mengapit canting menggunakan jari-jari kaki.

Proses untuk lancar membatik dilalui Ayu dengan penuh kesabaran. Pada masa awal-awal membatik, terkena cairan malam yang panas menjadi 'makanan' sehari-harinya. Tak hanya itu, malam tumpah atau berceceran di kain juga sudah biasa. Ayu mengaku, meskipun saat ini relatif sudah lancar membatik, masih ada saja kesulitan yang selalu ia temui. Salah satunya ia juga masih kesulitan untuk mengisi motif titik. Kepiawaian Ayu membatik dengan kaki membuatnya punya pengalaman yang mungkin tidak akan dialami banyak orang. Ayu sering mengikuti pameran. Saat sedang mengikuti pameran itulah Ayu selalu berusaha unjuk kemampuan membatik dengan kaki. Hasilnya, tak sedikit orang yang takjub. Di situlah Ayu baru merasakan, bagaimana orang yang berkekurangan sepertinya ini ternyata masih bisa berkarya lewat membatik dengan kaki.

Ayu pertama kali mengikuti pameran saat acara peresmian purna pugar cagar budaya Lawang Sewu, Semarang, Juli 2011. Ia masih ingat betul, cara membatiknya yang menggunakan kaki itu sempat menarik perhatian istri Gubernur Jawa Tengah saat itu, Sri Hastuti Bibit Waluyo. Kala itu istri Pak Gubernur membeli dua lembar kain batik karyanya dengan harga sekitar Rp 15 juta. Dan, Tuhan pun punya cara lain untuk semakin menguatkan Ayu supaya terus membatik. Tuhan mempertemukannya dengan salah seorang pengusaha batik asal Solo, Abu Bakar. Pak Abu, begitu panggilannya, adalah tetangga sekampung keluarga Ayu. Kebetulan, Pak Abu sering memperbaiki sepeda motornya di bengkel milik bapak Ayu. Pak Abu memiliki label batik sendiri yakni Batik Anak Negeri.


Suatu waktu, bapaknya bercerita pada Pak Abu, bahwa Ayu bisa membatik. Karena penasaran, Pak Abu langsung memintanya untuk menunjukkan hasil karyanya. Karena tertarik, Pak Abu pun menyanggupi untuk mengembangkan kemampuan membatik Ayu dengan kaki. Berawal dari situ, Ayu dan Pak Abu pun kemudian menjadi partner kerja. Pak Abu sering memberikannya kain pola untuk dibatik. Karena sebagai partner kerja, Ayu tidak diharuskan membatik di tempat produksi Pak Abu di Tegalsari RT 02/ RW 7, Sondakan, Purwosari. Selain itu dengan membatik di rumah, Ayu lebih nyaman dan tidak terganggu saat mengerjakannya.

Ayu mengaku biasanya membatik lima lembar kain dalam sebulan, terkadang lebih. Setelah hasil karyanya lebih halus, bersama Pak Abu, Ayu terus mengikuti pameran untuk mempromosikan dan menjual karya batiknya. Pameran pertamanya bersama Pak Abu adalah Inacraft di JCC, tahun 2011. Walau, waktu itu tidak ada yang membeli karya batiknya, tapi justru banyak kamera yang meliput Ayu. Kemampuan membatiknya dengan kaki itu pun menarik minat Presiden SBY dan Ibu Ani Yudhoyono untuk melihatnya dari dekat. Peristiwa itu mendatangkan kebanggaan tersendiri bagi Ayu. Ternyata, ia pun bisa melakukan hal-hal seperti orang normal lainnya, meski harus menggunakan jari-jari kaki.

Hasil karya Ayu juga menarik minat banyak pesohor untuk membeli, seperti Dipo Alam, Ginandjar Kartasasmita, Darwina Sutowo (istri Ponco Sutowo). Saat itu, harga batik buatan Ayu dibanderol Rp 3 juta-Rp 10 juta. Setelah lulus SMA tahun 2013, Ayu tetap menekuni batik. Ayu pun bersyukur mulai tahun itu juga pesanan membatik makin banyak. Ia biasanya membanderol batik tulis karyanya mulai Rp 5 juta. Semuanya tergantung kerumitan motif. Beberapa motif yang pernah Ayu buat adalah motif Wahyu Tumurun, Pisang Bali, dan Burung Cendrawasih.


Di tengah-tengah rutinitas membatik itu, Ayu juga bersyukur bisa mendapatkan anugerah dari Undip Awards dalam Kategori Kemanusiaan, Kreativitas, dan Inovasi tahun 2014. Ia juga mendapat penghargaan Batikology Kategori Inspiring Woman dari Indosat tahun 2015. Sejak 2015, Ayu mengaku pesanan mulai menyusut lantaran ia mulai jarang mengikuti pameran. Meski demikian, Ayu akan tetap terus membatik. Terlepas dari menurunnya jumlah pesanan, ia selalu mengucap syukur. Pasalnya, dari kemahiran membatik dengan kaki itu Ayu kini sudah mulai bisa hidup mandiri. Dari hasil membatik ini Ayu bisa membeli segala kebutuhan pribadi. Satu cita-citanya yang besar dan belum kesampaian adalah membawa batik karyanya go international dan punya galeri batik sendiri.


1 komentar:

  1. Sambal Roa Judes, salah satu kekayaan kuliner nusantara, Sambal yang dibuat dari campuran Ikan Roa ini selalu sukses menggoda lidah para penggemar pedas. Bahkan bagi mereka yang tidak pernah memilih ikan sebagai menu makanan mereka pun, selalu berakhir dengan mengakui kehebatan rasa Sambel Roa JuDes ini.. Anda penasaran ingin menikmatinya ? Hubungi layanan Delivery Sambal Roa Judes di 085695138867. BBM : 5F3EF4E3

    BalasHapus