Foto drh. Erni Suyanti Musambine yang sedang satu perahu dengan harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) sempat menjadi viral di laman Facebook. Pujian pun berdatangan dari para netizen. Pengabdiannya terhadap perlindungan satwa liar memang luar biasa. Hampir seluruh waktunya dihabiskan di berbagai pelosok hutan di Indonesia untuk memperhatikan kelangsungan hidup satwa liar. Dokter hewan lulusan Universitas Airlangga Surabaya ini bahkan berani bertaruh nyawa demi menyelamatkan satwa liar yang kian hari terancam punah.
Erni bercerita, harimau Sumatera yang terluka, yang fotonya sempat tersebar secara viral, ketika satu perahu dengannya itu, bernama Giring. Saat itu, Giring adalah harimau terakhir yang ia evakuasi dari konflik dengan manusia di Provinsi Bengkulu, karena diduga telah memangsa seorang warga di perkebunan karet di Area Peruntukan Lahan (APL) Talang Bukit Kumbang. Setelah dievakuasi, Giring mengalami banyak masalah kesehatan. Ada luka pada rongga mulut yang menyebabkan hypersalivasi, luka pada bagian wajah, bahu, tubuh bagian belakang dan telapak kaki. Selain itu, bulunya rontok hampir di seluruh bagian tubuh. Setelah pengobatan selama 4 bulan, akhirnya Giring sehat kembali. Namun masih ada satu penyakit bawaan dari liar yang perlu mendapat pengobatan yakni protozoa darah. Karena tergolong menular dan zoonosis. maka atas rekomendasi medis saat itu Giring harus diisolasi dan ditranslokasi ke TWA Seblat di Bengkulu Utara. Translokasi baru disetujui 8 bulan kemudian, yakni tanggal 28 Oktober 2015. Untuk menuju ke hutan tersebut memang tidak ada jalan darat. Satu-satunya akses hanya melalui Sungai Seblat, maka dia harus dibawa dengan perahu. Kebetulan, hanya Erni yang bersedia menemani Giring dalam satu perahu. Kebanyakan rekan yang lain takut, karena dia diduga memangsa manusia.
Waktu kecil Erni sebetulnya tidak ada keinginan menjadi dokter hewan. Saat SMP cita-citanya menjadi arsitek, karena ia suka menggambar sejak SD. Erni juga suka memanfaatkan apa saja yang ada di sekitar rumahnya untuk membuat desain rumah. Waktu SMA, ia suka mendesain taman. Erni baru memilih jurusan kedokteran hewan saat ujian masuk perguruan tinggi hanya karena rasa penasaran saja. Soal hewan peliharaan, Erni juga tidak punya banyak kenangan. Hanya neneknya yang mempuyai seekor anjing yang pintar dan terlatih bernama Comboy. Rumah keluarganya memang dikelilingi pohon-pohon besar yang merupakan tempat hidup banyak burung liar, bahkan ular liar pun juga ada. Mungkin, dengan kondisi lingkungan rumah yang seperti itulah secara tidak langsung orangtuanya mengajari bahwa satwa liar juga perlu dilindungi dan tidak boleh dibunuh. Orang-orang sekitar yang sering membawa senapan angin untuk menembak burung juga dilarang menembak burung-burung liar di tempat keluarganya. Selain itu, Erni juga suka menonton film dokumenter tentang satwa liar dari kecil hingga sekarang. Tanpa ia sadari, ternyata Erni memang sudah mencintai satwa liar sejak lama.
Sejak kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya, Erni pun mulai aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan satwa liar. Ia ikut organisasi mahasiswa Pencinta Alam Wanala Universitas Airlangga, yang salah satu kegiatan rutinnya adalah Kelompok Studi Penyu di beberapa taman nasional di Jawa Timur. Sejak itu, Erni mulai belajar tentang konservasi penyu. Ia juga aktif di organisasi luar kampus. Tak hanya dirinya, keluarganya pun juga aktif menjadi relawan di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang konservasi satwa liar yang berkantor pusat di Malang, Jawa Timur. Kegiatan yang sering Erni ikuti antara lain mengamati satwa liar di alam, melakukan edukasi tentang pentingnya upaya konservasi satwa liar ke sekolah-sekolah di Surabaya dan sekitarnya, membantu petugas menyita satwa liar dari perdagangan dan pemeliharaan ilegal di masyarakat, melakukan investigasi perdagangan satwa liar yang dilindungu di pasar-pasar, sampai mengkampanyekan perlindugan satwa liar yang terancam punah. Dari situ, ia mulai punya jaringan komunikasi dengan orang-orang yang bekerja untuk konservasi satwa liar di berbagai daerah di Indonesia maupun di luar negeri.
Erni sangat menyukai dan fokus membantu sawa liar di habitat alaminya. Menurutnya, satwa liar, terutama yang ada di habitat alam masih jauh dari priorotas untuk mendapatkan perhatian, meski statusnya sudah kritis dan hampir punah. Bahkan satwa liar seringkali dikorbankan untuk memenuhi kepentingan manusia. Hutan tempat hidupnya banyak dialihfungsikan untuk konsesi perusahaan perkebunan, pertambangan, pemukiman, yang pada akhirnya bersinggungan dengan aktivitas manusia dan berkonflik dengan manusia. Mereka sering jadi korban, terusir, banyak diburu, terbunuh, dan juga diambil dari habitat karena berbagai sebab. Erni menegaskan, satwa liar juga mahluk hidup yang punya hak untuk hidup, yang perlu mendapatkan perlindungan dan rasa aman, maka dari itu mereka perlu bantuan dari orang-orang yang peduli. Yang perlu dipahami juga, bahwa setiap mahluk hidup yang diciptakan sebagai penghuni bumi ini juga mempunyai fungsi khusus bagi keseimbangan ekosistem. Dan Erni pun bahagia bisa mengabdikan profesinya untuk menolong mereka.
Erni sama sekali tidak mempermasalahkan pekerjaannya yang lumayan beresiko. Karena ia memang menyukai tantangan dan sejak usia sekolah sudah terlibat di kegiatan alam bebas, seperti penjelajahan, berkemah, berkegiatan di hutan dan gunung. Jadi ketika bekerja di tempat-tempat seperti itu baginya tidak menjadi masalah, malah justru ia menyukainya, menikmatinya, dan tidak pernah menganggapnya sebagai beban. Kebetulan, ia juga mendapatkan dukungan penuh dari keluarga. Orangtuanya memang tidak pernah mengharuskan anak perempuannya untuk bekerja dekat dengan keluarga. Mereka memberi kebebasan pada semua anaknya untuk menentukan pekerjaan masing-masing tanpa campur tangan keluarga, asal bertanggung jawab.
Beruntungnya pula, Erni termasuk tipe orang yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan yang baru dan dengan orang-orang baru. Mungkin itu karena didasari hobinya traveling, terutama ke tempat-tempat terpencil, tempat dengan budaya, adat istiadat dan bahasa yang berbeda-beda, dan sering berinteraksi dengan berbagai macam orang dari berbagai suku. Erni sangat menikmati perbedaan itu. Kalau soal pekerjaan yang ia geluti saat ini, tentu ia tidak perlu beradaptasi, karena kegiatan dulunya pun di organisasi mahasiswa dan pekerjaan sebelumnya juga seperti itu.
Erni punya pengalaman yang tak bisa dilupakan saat bertugas, yakni di tahun 2007 saat ia menyelamatkan seekor harimau Sumatera dari jerat pemburu liar di areal HGU perusahaan karet dan kakao di Kabupaten Bengkulu Utara. Saat itu ia belum mempunyai peralatan medis yang memadai, sehingga pembiusan ia lakukan dengan suntik langsung (handinject). Ini tentu sangat berbahaya, tapi Erni saat itu memang tidak punya pilihan lain yang lebih aman. Karena itu pula, Erni juga sempat mendapat banyak kritikan akibat tindakannya yang sangat berbahaya itu. Tapi akhirnya, ia malah mendapat scholarship award mengikuti short course di Murdoch University, Western Australia tentang wildlife medicine. Ia juga mendapat kesempatan bekerja sambil belajar di Australia Zoo Wildlife Hospital serta bergabung dengan Australia Zoo Rescue Unit. Tahun 2008, Erni kembali mendapatkan scolarship award untuk belajar khusus tentang pembiusan satwa liar di Afrika. Ilmu itu sangat berguna untuk mendukung pekerjaannya saat ini.
Ada lagi pengalaman yang sangat berkesan. Di tahun 2014, ada penyelamatan seekor harimau korban jerat pemburu liar di areal HGU perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Kaur, Bengkulu. Saat itu, harimau berhasil melepaskan diri dari jerat, tetapi ada kawat sling yang masih terikat kuat di kakinya dan membuat kakinya membusuk. Harimau itu sembunyi di semak belukar, tak terlihat. Upaya penyelamatan sulit dilakukan dan sangat berbahaya. Namun, dalam waktu 15 menit saja akhirnya harimau itu berhasil dibius dan dievakuasi untuk perawatan medis. Erni pun terpaksa harus mengamputasi kaki depan harimau itu yang terjerat kawat sling pemburu liar. Dan, saat melakukan operasi amputasi itu, sebetulnya kondisi Erni sendiri juga sedang sakit dan mendapat perawatan di salah satu UGD rumah sakit di Bengkulu. Harimau itu lalu ia beri nama Elsa. Saat merawat Elsa, selain menguras tenaga, pikiran, dan air mata, Erni juga tidak mendapat dukungan dana dari pihak yang berwenang. Beruntung, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan individu-individu bersedia membantu. Namun, di saat ia tidak punya dana lagi dan tidak bisa memberinya makan, Erni hanya bisa menangis. Ia sering menangis di kandang Elsa tanpa ada orang yang tahu. Ia merasa sangat bersalah tidak bisa memenuhi kebutuhan Elsa.
Rencana ke depan, Erni masih ingin terus mempelajari segala hal yang mendukung profesinya. Saat ini ia sedang mengusulkan adanya pusat karantina dan rehabilitasi bagi harimau Sumatera di Provinsi Bengkulu untuk mendukung upaya konservasi harimau Sumatera. Saat ini fasilitas rehabilitasi harimau baru tersedia di Provinsi Lampung. Usulan ini, kata Erni, sudah mendapat respons positif dari pihak-pihak terkait. Ia berharap nantinya ada dukungan, tak hanya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tetapi juga pihak ketiga yang tertarik membantu.
0 komentar:
Posting Komentar