Demi membebaskan anak-anak di kampungnya, Gampong Lambirah,-sekitar 40 km dari Banda Aceh, dari cengkeraman video games, Husnul Khatimah Adnan nekad mendirikan Taman Pendidikan Masyarakat (TPM). Kini, berkat ketulusan dan kerja keras, ia berhasil menyelamatkan masa depan anak-anak Gampong Lambirah. Gampong Lambirah hanyalah sebuah gampong (desa) kecil di lereng pegunungan Bukit Barisan. Selain terpencil, Lambirah juga termasuk desa terbelakang di Aceh Besar. Rata-rata mata pencaharian penduduk setempat adalah petani dan peternak. Tingkat pendidikan warga desa pun di bawah rata-rata. Namun, serbuan modernisasi telah membuat anak-anak di desa itu lebih memilih bermain video games ketimbang belajar, bahkan tak sedikit yang kecanduan. Untuk bermain video games di persewaan, anak-anak itu harus membayar Rp 3000 per jam. Terkadang, uang saku mereka tak cukup. Akibatnya, tak sedikit dari anak-anak itu yang kemudian mencuri demi mendapat uang untuk bermain video games.
Husnul pun sedih dan gelisah melihat dampak video games tersebut. Ia bercerita, suatu hari di tahun 2011 hatinya tercekat, manakala seorang tetangganya datang menawarkan mesin parut kelapa. Padahal, sehari-hari tetangganya itu bekerja sebagai seorang pemarut kelapa dan mesin parut itu adalah satu-satunya sumber penghasilan bagi keluarganya. Namun, si tetangga saat itu sangat butuh uang untuk mengganti barang yang dicuri anaknya. Menemui kenyataan ini, Husnul tentu tak ingin memelihara kesedihan terlalu lama dan hanya berpangku tangan. Wanita kelahiran Aceh Besar tahun 1992 ini, mulai memutar otak mencari cara untuk menghentikan kebiasaan anak-anak bermain video games. Menurut anak bungsu dari 9 bersaudara pasangan Adnan Hasyim dan Nasriah Musa ini, ia memang tidak bisa melarang mereka untuk meninggalkan kebiasaan buruk, kalau tidak bisa memberikan opsi kebiasaan positif.
Itulah awal Husnul mendirikan TPM Tanyoe, tepatnya 7 Agustus 2011. Tanyoe dalam bahasa Aceh berarti "kita". Pendirian TPM Tanyoe bisa dibilang sebuah langkah nekad. Bayangkan, Husnul waktu itu masih berusia 19 tahun, kuliah di semester 5 Pendidikan Bahasa Inggris IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Aceh Besar, dan belum punya penghasilan. Kebetulan ia diperbolehkan menggunakan satu bangunan di lahan SDN Lambirah yang kosong. Gedung itu yang kemudian direnovasi dan digunakan sebagai TPM Tanyoe. Waktu itu, Husnul juga sempat mengajak kawan-kawannya, tapi semuanya mengatakan "tak mungkin", karena membangun pustaka dan tempat belajar itu membutuhkan uang, gedung, atau minimal buku-buku.
Kebetulan, Husnul mendapat beasiswa bagi mahasiswi berprestasi dari keluarga kurang mampu, jumlahnya Rp 1,2 juta. Dengan uang itu, ia pun kembali mengajak kawan-kawannya, walau akhirnya ia tetap meminjam uang untuk merehab gedung itu. Husnul juga memfoto kegiatan di TPM dan mem-postingnya ke laman FB. Ternyata banyak yang mendukung langkahnya. Ada yang langsung mengiriminya uang, ada pula teman yang membuat kegiatan 1 Man 1 Book, atau satu orang mengumpulkan satu buku untuk TPM, sampai akhirnya terkumpul 314 buku. Itulah buku-buku pertama TPM Tanyoe. Husnul mengakui, sebenarnya aktivitas TPM Tanyoe cukup menyita waktunya. Pasalnya, di semester 5, ia sedang sibuk-sibuknya kuliah. Jadwal kuliahnya pun padat. Tapi karena sudah bulat tekad, ia tetap nekad melakukannya. Ia tak peduli, meski sempat 'diultimatum' ibunya.
Orangtuanya memang khawatir, aktivitasnya di TPM mengganggu kuliahnya. Apalagi, keluarganya memang bukan dari golongan berada. Ibunya sempat menyangsikan, Husnul yang belum punya apa-apa, tapi mau mengurusi orang lain. Jangan sampai karena terlalu sibuk mengurusi orang lain malah membuat kuliahnya gagal, dan berakhir menjadi sampah masyarakat. Akhirnya, diambillah jalan tengah. Husnul menjamin urusan kampus bisa ia selesaikan dengan baik, tetapi kegiatannya berbagi pada sesama tetap berlanjut. Karena menurut Husnul, kita tidak pernah tahu sampai berapa umur kita. Kalau menunggu sukses baru berbagi, belum tentu juga bisa. Husnul pun bersyukur, akhirnya bisa menyelesaikan kuliahnya dengan nilai bagus dan tepat waktu. Sekarang, orangtuanya sangat mendukung kegiatannya.
Kegiatan di TPM sendiri bervariasi dan berganti-ganti. Yang tetap adalah taman bacaan. Karena sangat tergantung pada relawan, maka aktivitas pun disesuaikan dengan kapasitas relawan. Misalnya, kalau ada relawan yang punya kapasitas melatih menari, makan akan dimasukkan program menari, demikian pula untuk keterampilan lainnya. Peran TPM hanya sebagai volunteer. Dulu, sempat pula diberikan bimbingan mata pelajaran seperti di sekolah, karena masih ada kawan-kawan kampus yang mau menjadi relawan dan mengajar. Kegiatan TPM Tanyoe dilakukan setiap hari Jumat dan Minggu. Karena saat ini, kawan-kawan sebaya Husnul sudah lulus kuliah dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ia pun mulai mengajak adik-adik usia SMA dan yang sederajat, atau yang tidak melanjutkan kuliah, yang ada di sekitar TPM untuk membantunya.
Mereka difasilitasi untuk mengajar anak-anak SD. Meski dari segi kapasitas kurang dibanding teman-teman relawan dari kampus. Tetapi dari segi waktu, komitmen, dan kedekatan dengan anak-anak, menurut Husnul mereka lebih bagus. Husnul sendiri kini memilih menjadi pembina di TPM Tanyoe. Jumlah anak-anak yang bergabung di TPM Tanyoe fluktuatif. Pernah ada hampir 200 anak yang ikut. Sekarang, yang aktif sekitar 50-an anak, itu pun berganti-ganti. Tapi, bila dulu hanya satu desa, sekarang sudah mencakup satu kecamatan. Siapa pun yang ingin ikut, TPM Tanyoe sangat terbuka.
Latar belakang anak-anak tersebut beragam, sebagian besar anak-anak SD. Mereka sekolah sampai siang, sorenya ke TPM. Meski bersekolah, tetapi dibandingkan dengan anak-anak kota, mereka sangat jauh, baik dari segi semangat dan informasi yang mereka peroleh maupun dorongan keluarga. TPM Tanyoe berusaha menyediakan wadah bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, tapi punya semangat belajar tinggi. Minimal mereka punya tempat untuk mencurahkan hati saat mengalami kesusahan atau butuh motivasi. Bahkan, mereka juga dicarikan beasiswa. Dan saat ini sudah ada beberapa anak yang mendapatkan beasiswa.
Husnul kini bisa sedikit bernafas lega. Tujuan awalnya mendirikan TPM adalah untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari video games, dan itu sudah tercapai. Tiga bulan pertama TPM dibuka, warung video games tutup karena anak-anak tidak ada yang bermain. Husnul juga bersyukur, beberapa anak-anak TPM Tanyoe bisa mendapat beasiswa. Ini membuat anak-anak dan orangtua yang lain jadi terpacu. Dulu banyak yang merasa TPM ini tidak berguna karena kegiatannya lebih terlihat seperti bermain. Namun, ketika ada anak dari keluarga kurang mampu yang mendapat beasiswa, mereka merasa akan punya peluang yang sama bila ikut bergabung di TPM.
Husnul berharap TPM Tanyoe bisa bertahan dan mampu menciptakan regenerasi berikutnya, sehingga semangat berbagi yang ditularkan akan terus ada. Kalau TPM hanya bergantung pada Husnul, maka bila Husnul pergi, kegiatan TPM pun akan berhenti juga, dan hanya sampai di Lambirah saja. Tapi dengan regenerasi, meskipun Husnul sudah tidak ada lagi di Lambirah, TPM akan tetap bertahan, bahkan bisa diduplikasi ke daerah lain. Sekarang pun, menurut Husnul, sudah ada beberapa teman yang sedang dalam proses mendirikan TPM serupa di daerah lain. Kini, setelah TPM Tanyoe berdiri, Husnul juga melihat ada pola yang berubah di kampung Lambirah. Jika dulu yang menjadi ukuran adalah anak yang cantik atau ganteng, sekarang anak yang pintar dan berprestasi. Kampungnya pun sekarang juga lebih terbuka. Misalnya, pernah mendapat kunjungan mahasiswa dari Universitas Malaya, Malaysia, yang melakukan bakti sosial dan KKN karena ingin melihat TPM Tanyoe seperti apa.
PR terbesar yang Husnul hadapi sekarang adalah bagaimana membuat TPM Tanyoe bisa bertahan dan menyebar ke daerah lain. Sekarang sudah ada pengurus TPM yang mendapat beasiswa. Husnul pun berharap, adik-adik yang sekarang menjadi murid, kelak ingin juga mengajar di sini, karena berharap mendapat beasiswa. Husnul juga berharap pengurus TPM bisa mendapat semacam uang transpor atau uang pengganti pulsa. Kini, TPM Tanyoe juga melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga, bentuknya bisa berupa grant atau hibah, buku, kunjungan, dan sebagainya. Salah satunya dengan Regional English Language Office (RELO) dari Kedutaan Besar Amerika. Berkat kerja keras Husnul, TPM Tanyoe juga berhasil meraih berbagai penghargaan, salah satunya Juara Perpustakaan Desa Se-Aceh Besar. Sedangkan penghargaan untuk Husnul pribadi, antara lain Pelita Nusantara Award 2013 dam mengikuti Youth Leadership Camp ke Australia tahun 2012. Kesibukannya megurus TPM Tanyoe, juga tak membuat semangat Husnul menurun saat saat melanjutkan studi S2 di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Perempuan yang hobi traveling, membaca novel, dan bertemu dengan hal-hal atau orang baru ini mengaku, orangtua, khususnya sang ibu, adalah inspirasi hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar