Sabtu, 03 September 2016


Tak sia-sia puluhan tahun ia berjuang membantu pedagang kecil di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, terlepas dari jeratan rentenir. Berawal dari niat membantu pedagang kecil di pasar terbesar di Yogya itu, Mursida Rambe bersama dua temannya mulai membangun BMT (Baitul Mal Wat Tanwil) Beringharjo. Jatuh bangun merintis usaha, saat ini aset BMT yang dipimpinnya mencapai Rp 110 miliar, dari modal awal Rp 1 juta di tahun 1994. Sampai saat ini, Mursida masih menganggap pedagang kecil di Beringharjo dan pasar lainnya sebagai keluarga. Bahkan, ia mengaku akan lebih sakit hati jika tidak disapa buruh gendong pasar, dibanding tidak disapa Kepala Dinas Pasar.

Lahir 21 Oktober 1967 di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, Mursida masuk SMA di Yogya tahun 1985. Setamat SMA, ia masuk Fakultas Dakwah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Di luar urusan kuliah, ia juga tergabung di Korps Dakwah pedesaan tahun 1988. Tahun 1994, setahun setelah tamat kuliah, ia mencoba mengikuti pelatihan manajemen syariah, kemudian sempat magang di sebuah BMT. Selesai magang, ia mencoba membuat proposal, mengajukan pinjaman Rp 3 juta kepada Dompet Dhuafa untuk mendirikan BMT sendiri. Namun pinjaman yang disetujui hanya sebesar Rp 1 juta. Akhirnya, dengan uang pinjaman sebesar Rp 1 juta, di tahun 1994 itu juga ia mendirikan BMT. Meski Mursida akui, saat itu belum memiliki ilmu yang banyak, tapi karena tekat dan keyakinannya melebihi material yang dimiliki, ia nekat melakukannya.


Mursida bercerita, waktu pertama memulai, mesin ketik yang digunakan milik teman satu kosnya, yang ia pinjam gratis selama setahun. Sementara perabotan yang lain, ia bawa dari kamar kosnya sendiri, mulai dari pena, pensil, rautan, gunting, bahkan brankas pertamanya hanya menggunakan tempat sabun. Lalu untuk plang nama kantor, ia membuatnya sendiri di masjid dari bahan tripleks. Ia juga tidak mempedulikan masalah legalitas. Yang terpenting, saat itu di depan matanya banyak pedagang kecil yang sangat membutuhkan modal, tapi tidak mampu mendapat modal keuangan. Satu-satunya jalan cepat dan mudah adalah meminjam ke rentenir. Mursida mengaku, sangat terganggu oleh pemandangan pedagang kecil dan rentenir itu, dan ingin memberikan solusi.

Sejak kecil, Mursida memang sering diperlihatkan dengan kondisi pedagang kecil yang terjerat rentenir di kampungnya. Salah satu yang masih tersimpan di benaknya, adalah kisah Bik Senin, teman pengajian ibunya. Sehari-hari, Bik Senin berjualan ubi kayu, daun pisang, dan gori (nangka muda untuk gudeg). Dan ternyata Bik Senin punya pinjaman Rp 100.000 ke rentenir. Dari hutang yang hanya Rp 100.000 itu, kemudian terus berbunga, sampai berujung pada dieksekusinya rumah Bik Senin.

Selain ingin membantu melepaskan pedagangan kecil dari jeratan rentenir, ada idealisme dan keyakinan lain yang dipegang Mursida saat membangun BMT, yaitu memperkenalkan ekonomi syariah. Ia menginginkan ada satu alternatif pilihan lain yang tidak berhubungan dengan kapitalisme dan sosialis, serta transaksi bunga yang ia anggap riba. Dan dengan keyakinan itulah, ia mencoba terjun ke masyarakat berusaha meyakini bahwa apa yang ia perkenalkan akan membawa bekrah. Waktu itu, Mursida bergerak bersama teman satu kos dan satu tempat mengajinya, Najri Yeni dari Padang, dan Ninawati dari Palembang. Di antara mereka memang tidak ada yang berlatar ekonomi. Ia dan Yeni sama-sama kuliah di fakultas dakwah, sementara Nina mengambil kuliah hukum. Namun mereka bersyukur, dan berpikir seandainya dulu mengambil kuliah di Fakultas Ekonomi, tentu mereka tidak akan bisa mendirikan BMT. Karena pasti mereka hanya akan memikirkan besaran modal dan kapan BEP-nya.


Pilihannya untuk membantu pedagang pasar Beringharjo pun berdasarkan rekomendasi dari pelatihnya. Karena menurut sang pelatih, bila ingin mendirikan BMT memang harus dekat dengan masjid dan pasar. Sebenarnya selain di Beringharjo, Mursida dan dua rekannya juga bergerilya ke lokasi lain, sampai ke Gunungkidul. Namun kembali ke hukum ekonomi, ternyata yang paling banyak terjadi proses transaksi memang di daerah yang dekat dengan masjid dan di pasar yang besar. Kebetulan, takmir masjid Muttaqien, Beringharjo, adalah guru sekolahnya sendiri. Dan beliau memang punya keinginan ada lembaga keuangan yang hadir di sana. Kebetulan, ada ruangan di masjid yang bisa dipakai, dan disanalah tempat yang dijadikan kantor pertama BMT.

Dari uang pinjaman sebesar Rp 1 juta, setengahnya Mursida pakai untuk publikasi berupa spanduk, brosur, kartu nama. Sementara sisa uang Rp 500.000 ia berikan kepada pedagang sangat kecil. Sosialisasi ia lakukan sehabis sholat Dhuhur dan Ashar kepada pedagang-pedagang itu. Ia memang tidak berani masuk secara vulgar ke pasar Beringharjo, karena di sana sudah ada juragan, sistem, dan sebagainya yang sudah berjalan lama. Dari mulut ke mulut usahanya pun mulai berkembang. Tahun 1997, BMT mulai dilegalkan, dan pada 1999, sudah berani membuat rekrutmen terbuka, hingga mendapatkan tiga orang karyawan. BMT-nya juga mulai merambah semua lantai di pasar Beringharjo dan Jalan Malioboro. Di tahun 2000, Mursida membuka cabang pertama BMT di Kauman, dan tahun 2008, membuka lagi di lingkar barat ringroad Gamping. Sekarang sudah ada 16 cabang yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI dan DIY. Cabang paling banyak terdapat di Jawa Timur, sebanyak 9 buah. Anggota pertama yang bergabung dalam BMT-nya adalah, Bu Mursiyem, penjual pisau, cobek,  dan sutil. Saat itu Bu Mursiyem meminjam sebesar Rp 25.000, yang diangsur setiap hari sebesar Rp 1000.

Di tahun pertama jumlah anggota BMT berjumlah 20 orang, termasuk tukang jaga sepeda di masjid, tukang bersih-bersih kamar mandi, dan tukang jaga WC. Memang karena modalnya saat mendirikan BMT sangat sedikit, tentu yang menjadi anggotanya adalah kaum masyarakat paling bawah. Sebab, tidak mungkin orang yang memiliki banyak uang percaya padanya. Sebelum menjadi anggota, terjadi obrolan yang panjang terlebih dahulu. Mursida ingin menjadikan anggota BMT sebagai keluarganya. Baik saat sakit atau senang, BMT harus hadir. Jadi, BMT-nya ini memang murni berawal dari sosial.

Ternyata pertumbuhan BMT sepanjang tahun 2001-2005 di luar prediksi semua orang, mencapai 400%. Dari Rp 1 miliar menjadi Rp 4 miliar. Menurut Mursida, penyebabnya mungkin karena legalitasnya yang sudah ada, dan banyak media yang mulai menulis tentang BMT Beringharjo. Orang lalu mulai melihat konsistensi yang dilakukan Mursida dan kedua temannya. Sekarang jumlah anggota BMT Beringharjo yang masih aktif atau hidup sekitar 4-5 ribu orang, dengan jumlah karyawan sebanyak 135 orang. Untuk menjadi anggota syaratnya hanya cukup memiliki KTP, membayar simpanan pokok Rp 25.000, dan simpanan wajib Rp 10.000, yang bisa dibayarkan selama setahun. Semua yang bertransaksi di BMT harus menjadi anggota. Sifat BMT berdasarkan pada koperasi, jadi hasilnya dari dan untuk anggota.


Yang paling nikmat dalam mengelola BMT ini, menurut Mursida, adalah karena selalu berhubungan dengan orang-orang baik. Orang baik yang ia maksud adalah minimal selalu mengerjakan sholat lima waktu, dan sangat takut bila tidak menepati janji. Mursida pun sampai sekarang masih tak menyangka BMT-nya akan mempunyai banyak staf seperti sekarang. Padahal tujuan utamanya membangun BMT hanya ingin membantu para korban rentenir. Ia sama sekali tidak membayangkan bakal memperoleh penghasilan. Waktu awal memulai, ia dan kedua temannya menggaji sendiri, masing-masing Rp 20.000. Pada Desember 2015, aset BMT sudah sekitar Rp 110 miliar, ditambah bangunan kantor. Mursida amat meyakini, pencapaiannya sekarang berawal dari kesungguhan. Ia ingat pesan orangtuanya saat dirinya berangkat ke Yogya, yaitu harus menjaga sholatnya, selalu berniat baik, sungguh-sungguh, dan berdoa.

Ada pun yang menjadi kendala dalam mengelola BMT adalah persaingan yang begitu ketat, mulai dari kebijakan pemerintah dengan bunga KUR yang sangat rendah. Sementara yang perlu diantisipasi ke depan adalah MEA (Masyarakat Ekonomi Asia) di mana jasa, uang, orang, dan barang dari luar Indonesia bisa masuk dengan bebasnya. Ini tentu menjadi warning bagi Mursida untuk terus meningkatkan pelayanan. Tapi ia sama sekali tidak takut, karena yakin rezeki tidak akan tertukar. Apalagi, saat memulai BMT-nya, ia juga tidak tiba-tiba datang ke Beringharjo. Proses pendekatan yang ia lakukan secara bertahap, hingga hubungannya dengan pedagang kini bukan hanya antara debitur dan kreditur saja, tetapi sudah bagian dari saudara dan sahabat, sehingga ia percaya ikatan emosi yang telah terbangun tidak akan selesai dalam waktu sekejap.


Kini sistem di BMT sudah dilakukan secara online. Tahun 2016 seluruh transaksi juga sudah memakai Electronic Data System. Petugas BMT juga selalu melakukan jemput bola. Jadi meski sudah ada kantor, kebanyakan anggota tidak datang ke sana. Yang datang ke kantor hanyalah officer marketing. Itulah yang membedakan BMT Beringharjo dengan lembaga keuangan lain. Sistem jemput bola ini pun, diakui Mursida, belajar dari rentenir. Karena sebelum membangun BMT, ia melihat langsung seperti apa aktivitas rentenir itu. Dan sekarang, bank pun juga melakukan hal yang sama. Yang menjadi tantangan adalah, seberapa besar bunga yang diberikan pihak luar itu.

Mursida bercerita, tahun 2009, ia sempat melakukan ibadah haji bersama suami dan adik perempuan ayahnya, yang berusia 85 tahun. Pada perjalanan ibadah haji itu, Mursida merasakan betapa pertolongan Allah sangat dekat. Ia jadi merasa, ternyata tidak perlu terlalu mengejar kehidupan. Dalam artian tidak perlu ngoyo, karena sekaya apa pun seseorang toh akan kembali ke Allah juga. Oleh karena itu, meski sudah memiliki usaha dengan omzet miliaran, Mursida tetap selalu mementingkan kesederhanaan. Baginya, tidaklah penting mengutamakan penampilan, karena tidak akan mendapat esensi apa-apa selain hanya masalah kulit luar. Secara pribadi, Mursida juga tidak ingin orang menghormatinya karena kedudukan. Itulah mengapa, bila berada di pasar, ia lebih sedih ketika tidak disapa oleh buruh gendong daripada oleh kepala dinas.


Mursida juga bersyukur, suaminya sangat mendukung kegiatannya, dan membebaskannya pergi ke mana saja. Ia juga ingin, ketiga anaknya, Tarikah Falah Prabandaru, Naufal Safik Pandu Tama,  dan Fatimah Ulfa Prameswari, tumbuh menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, apa pun pekerjaannya. Kini, selain sibuk mengurus BMT, Mursida juga masih sempat melakukan hobinya, yaitu jalan-jalan dan bersilaturahmi. Karena ia percaya, silaturahmi itu bisa memperpanjang usia, menambah rezeki, dan bisa banyak bersyukur.

1 komentar:

  1. Sambal Roa Judes, salah satu kekayaan kuliner nusantara, Sambal yang dibuat dari campuran Ikan Roa ini selalu sukses menggoda lidah para penggemar pedas. Bahkan bagi mereka yang tidak pernah memilih ikan sebagai menu makanan mereka pun, selalu berakhir dengan mengakui kehebatan rasa Sambel Roa JuDes ini.. Anda penasaran ingin menikmatinya ? Hubungi layanan Delivery Sambal Roa Judes di 085695138867,

    BalasHapus