Wisata susur Gua Pindul saat ini tengah naik daun sebagai destinasi wisata baru di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Keunikan wisata ini karena adanya sungai yang mengalir dari bawah gua. Keindahan Pindul sebagai destinasi wisata baru bermula dari kegigihan Subagya dan tiga rekan lainnya membersihkan sampah dari mulut gua.
Gua Pindul terletak di Desa Bejiharjo, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Di dalam gua mengalir sungai dan pemandangan indah berupa batuan stalaktit yang menjuntai dari langit-langit gua. Sayang, untuk menyaksikan keindahan gua, orang harus berjuang merangkak ke dalam. Tentu saja yang bisa masuk ke dalam hanya para pemberani yang sudah akrab dan tahu seluk beluk gua. Gua Pindul memiliki dua lubang utama yang masing-masing berdiameter 4 meter. Satu lubang sebagai mulut gua terletak di garis depan yang saat ini dikenal sebagai start wisata. Satu lagi berada beberapa meter sebelum garis finish. Kurang lebih panjang aliran sungai di dalam gua sekitar 350 meter.
Satu dekade lalu, Subagya dan ketiga temannya, Pramuji (petani), Tukijo (seniman), dan Suratmin (penjual bakso) nekat menyusuri Gua Pindul dan menghitung-hitung potensi wisata di dalamnya. Di benak mereka muncul ide untuk menjual keindahan gua itu pada wisatawan. Sebelum impian itu jadi kenyataan, Subagya lebih dulu mengajak 11 teman berhimpun dengan membentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) bernama Dewa Bejo, kependekan dari Desa Wisata Bejiharjo. Tanggal 30 Juni 2010 Dewa Bejo resmi lahir. Dari 11 teman, hanya Subagya dan ketiga rekannya tadi yang kemudian melakukan susur gua dan membersihkan sampah di dalamnya. Kerja bakti itu atas kemauan mereka sendiri. Mereka berempat sejak kecil memang sudah akrab dengan kehidupan gua. Subagya sendiri sehari-hari adalah peternak ikan, Jadi, sudah akrab dengan air. Karena itu ia yang menjadi pemimpin ketiga temannya untuk memasuki gua yang pengap dan gelap, plus penuh bau busuk sampah buangan warga sekitar gua. Kenekatan mereka dilandasi keinginan kuat untuk memamerkan keindahan dalam gua kepada masyarakat luas agar memiliki dampak positif berupa kemakmuran warga desa.
Sebelum menjadi tujuan wisata seperti sekarang, selama bertahun-tahun Gua Pindul hanya dimanfaatkan sebagai tempat mandi dan mencuci baju warga setempat, juga sarana BAB. Bahkan memandikan ternak sapi juga di sana. Sampah rumah tangga dan pecahan kaca pun dibuang di sana. Begitulah, aneka sampah menumpuk di dalam gua selama bertahun-tahun lamanya. Waktu itu Subagya berpikir, andai semua sampah dilenyapkan, tentu akan muncul kecantikan Gua Pindul. Lalu alam yang asri itu bisa dijual sebagai destinasi wisata. Subagya mengaku terinspirasi Gua Gong di Pacitan, Jawa Timur, yang pernah ia datangi.
Selama 4 bulan membersihkan gua, warga sekitar menganggap Subagya dan ketiga rekannya sudah gila atau stres. Banyak yang menganggap tidak ada yang bisa diharapkan dari gua yang sempit dan pengap. Sementara orang lain sibuk banting tulang ke ladang atau kantor mencari nafkah, mereka empat sekawan justru keluar masuk gua memunguti sampah. Tak cuma tetangga yang mencibir. Bahkan istri-istri mereka pun gemas lantaran pekerjaan utama mereka jadi terabaikan. Bahkan salah satu dari mereka sempat 'diusir' istrinya. Bantal dan kasur ditaruh di luar rumah saking kesalnya. Ada pula sebagian masyarakat Bejiharjo yang sempat melarang mereka membersihkan gua. Terlebih para sesepuh desa yang sulit diyakinkan lantaran gua tersebut selama ini dianggap ada 'penghuninya'. Namun mereka terus meyakinkan bahwa gua itu aman dan indah untuk ditelusuri wisatawan. Prinsipnya, kalau orang ramai datang ke gua, mahluk halusnya pasti juga pergi dengan sendirinya.
Karena seringnya dicibir, telinga mereka pun lama-lama jadi kebal. Cibiran dan menjadi objek candaan masyarakat hanya masuk telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri. Selama proses pembersihan gua, secara spiritual Subagya dan ketiga rekannya tidak mengalami gangguan apa pun. Kalau pun ada, mereka tidak mau mengeksposnya. Cukup mereka saja yang tahu. Yang jelas, mereka yakin, alam itu bila dibersihkan demi kepentingan banyak orang, tidak akan ada gangguan yang berarti. Ular kemungkinan besar tidak ada, lantaran di dalam gua banyak sekali kelelawar. Yang paling sulit selama proses pembersihan gua adalah menguras pecahan kaca hingga tuntas. Mereka harus menyelam air dan mengangkat pecahan kaca untuk dibawa ke darat. Meski keluar-masuk gua bukan hal baru bagi mereka, namun demikian sempat juga dihadang kesulitan. Terutama saat harus membersihkan langit-langit gua. Salah satunya, Tukijo yang bahkan pernah terjatuh dari bambu pijakan dan langsung pingsan. Palunya hilang ditelan air,
Setelah gua bersih dari sampah, mereka masih harus memastikan apakah gua sudah aman bagi wisatawan. Karena itu mereka lantas meminta komandan SAR Gunung Kidul untuk memeriksa ulang. Mereka ingin memastikan bagian-bagian mana saja yang rawan bila kelak didatangi wisatawan. Hal-hal apa saja yang akan timbul. Berbagai celah yang mungkin timbul harus diantisipasi sebelum didatangi wisatawan. Beruntung, komandan Rescue Gunung Kidul kala itu datang memenuhi permintaan mereka dengan membawa 150 pasukan SAR dari Mapala untuk menyusuri gua. Selama dua hari dua malam mereka mencari dan memastikan bahwa Gua Pindul aman dikunjungi wisatawan.
Setelah dinyatakan aman, barulah Pindul 'dijual'. Seperti menanti matahari terbit di pagi hari, mereka mulai melihat cahaya. Bulan Oktober 2010 adalah hari-hari yang mendebarkan, lantaran mereka harus berjuang meyakinkan para pejabat SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Kabupaten Gunung Kidul yang akan mengadakan Farm Tour agar mau mengunjungi Gua Pindul. Perjuangan itu membuahkan hasil. Pada tanggal 4 Oktober 2010 para pejabat Kabupaten yang dinanti tiba di Bejiharjo. Mereka pun menjadikan event itu sebagai ajang pembukaan wisata Gua Pindul. Kebahagiaan makin membuncah ketika Dinas Pariwisata menyatakan Pindul menjadi destinasi wisata baru di Gunung Kidul. Dinas Pariwisata bersedia memberi pendampingan dan pelatihan bagi pemandu wisata Pindul di bawah koordinasi Dewa Bejo.
Lega dan bangga rasanya ketika jerih payah Subagya dan teman-temannya terbayar sudah, Mereka terharu bisa mempersembahkan lokasi wisata baru bagi daerahnya. Apalagi yang membuka destinasi wisata Gua Pindul adalah Bupati Gunung Kidul sendiri kala itu, Ir, Sumpena Putra (alm). Mata warga Bejiharjo pun ikut terbuka bahwa di desanya kini ada tujuan wisata yang patut dibanggakan. Bahkan diharapkan bisa menjadi 'tambang emas' bagi kehidupan warga yang turut berpartisipasi di dalamnya.
Setelah dinyatakan sebagai destinasi wisata, bulan Oktober 2010 Subagya mengumpulkan kembali rekan-rekan yang tergabung dalam Dewa Bejo. Setelah berembuk, mereka sepakat merekrut banyak pemandu baru, yang semuanya harus warga Bejiharjo. Dan sesuai tujuan awal membentuk Pokdarwis, mereka akan mengoperasikan Gua Pindul dengan mengajak sebanyak mungkin warga desa. Dewa Bejo juga sepakat mengedukasi masyarakat setempat agar bisa berpartisipasi mendukung wisata Pindul sesuai keahliannya. Misalnya ada yang menjual suvenir, mengolah hasil pertanian agar tidak dijual mentah, melainkan mengolahnya menjadi makanan siap santap yang memiliki nilai jual lebih.
Bulan November 2010, aktivitas wisata untuk umum dimulai, kendati besaran harga tiket masuk belum ditentukan, alias masih suka rela. Wisatawan bebas memasukkan uang jasa wisata ke kotak kas seikhlasnya. Maka wajar bila di akhir bulan pendapatannya masih sedikit. Masa itu, menurut Subagya, tercatat sebagai kenangan 'pahit'. Betapa tidak, sebagai ketua Pokdarwis yang mengelola wisata Gua Pindul, ia harus menerima gaji Rp 17.500. Hingga akhir 2010 tercatat hanya ada 98 pengunjung yang datang ke Gua Pindul.
Karena itulah, tahun 2011 mulai dibuat paket wisata. Bukan hanya wisata susur Gua Pindul, melainkan juga outbond dan body rafting ke Kali Oya. Tiket per orang Rp25.000. Dewa Bejo belajar mengelola paket wisata secara profesional. Setiap pengunjung, selain akan dipandu masuk gua, juga memperoleh semangkuk bakso dan segelas air teh rosella. Karena Subagya berpikir, wisatawan jangan sampai kosong perutnya saat masuk gua. Kecuali itu, juga sebagai sarana promosi bakso milik temannya, Suratmin. Paket itu rupanya menarik banyak wisatawan. Angka kunjungan wisatawan terus menanjak, sampai membuat pedagang baksonya kewalahan. Maka wisata berbonus bakso pun akhirnya ditiadakan.
Keseruan wisata susur Gua Pindul beredar begitu cepat. Pindul semakin unggul menyusul ketenaran pesona pantai Gunung Kidul yang alami. Tak pelak, setiap akhir pekan, jalan utama dari Yogyakarta menuju Gunung Kidul macet padat bagai jalur Jakarta-Puncak. Sebenarnya, sejak 2012 Dewa Bejo sudah kewalahan melayani wisatawan. Bagaimana tidak, lebih dari 4 orang harus disertai 3 pemandu untuk mengawal di depan, tengah, dan belakang. Karena itu Dewa Bejo terus merekrut pemuda setempat untuk dilatih menjadi pemandu susur gua. Tahun 2012 Dewa Bejo tak bisa lagi menjadi operator tunggal. Pertama lantaran tidak mampu lagi melayani wisatawan yang datang, kendati sudah mempekerjakan 120 orang. Di sisi lain mulai bermunculannya operator lain yang mendatangkan wisatawan ke Pindul.
Semua operator yang menjual Pindul merasa gua tersebut adalah anugerah Sang Pencipta kepada Bejiharjo, jadi semua merasa berhak memanfaatkan 'lahan basah' tersebut. Di sisi lain Dewa Bejo juga sadar tidak punya hak memonopoli sebagai operator. Mereka tak pernah sama sekali berniat memonopoli Gua Pindul. Justru sebaliknya ingin mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa. Lantaran semua operator membawa wisatawan, khususnya di akhir pekan, maka terjadilah kepadatan di dalam dan di luar gua. Wisatawan harus bersabar antre dan menahan diri untuk mendapat giliran masuk gua mengingat lahannya terbatas. Karena semua merasa berhak membawa wisatawan masuk gua, pelan tapi pasti, berbagai konflik kepentingan pun mulai muncul. Sempat muncul wacana penutupan Pindul untuk colling down agar ke depan bisa 'dijual' tanpa ada sengketa apa pun.
Sayangnya, saat tengah mengenyam 'bulan madu' mengelola Gua Pindul, muncul masalah. Subagya dibelit kasus hukum hingga 6 kali nyaris bersamaan. Kasus hukumnya mulai dari penggunaan lahan tanpa izin, korupsi menguasai tanah dan air, hingga dituduh membuat ancaman kepada masyarakat setempat. Bahkan Pokdarwisnya yang sudah meraih kejuaraan juga dipersoalkan dengan tuduhan menyalahi aturan Perda. Anehnya, dari empat sekawan yang merintis membuka Gua Pindul sebagai destinasi wisata, hanya Subagya yang dijadikan tersangka. Tiga rekannya yang lain tidak. Bahkan operator lain yang ikut-ikutan menangguk untung dari mendatangkan wisatawan ke Pindul pun tak disentuh hukum. Tak terima dirinya terancam hukuman penjara, tiga rekannya pun pasang badan.Tiap kali Subagya diperiksa polisi, ketiga temannya menunggui hingga pemberkasan selesai. Komitmen mereka, satu masuk penjara, tiga lainnya akan turut serta.
Salah satu kasus yang menonjol dan belum ada titik temu hingga kini adalah sengketa tanah di atas gua. Tanah di atas Gua Pindul sejak tahun 1999 dibeli warga Bejiharjo bernama Atik Damayanti. Lantaran Dewa Bejo memanfaatkan gua ini sebagai destinasi wisata sejak tahun 2010, maka Atik merasa keberatan lantaran tidak turut menikmati hasilnya. Maunya Atik, sebagai pemilik lahan di atas gua, ia mendapat bagian yang pantas. Karena tidak ada titik temu, akhirnya Subagya dilaporkan ke polisi atas tuduhan mengelola lahan milik Atik tanpa izin. Kini, dari enam kasus hukum, lima di antaranya sudah SP3. Sengketa dengan Atik belum kelar dan masih diusahakan berdamai secara musyawarah.
Secara ekonomi, laris-manisnya 'menjual' Pindul tidak berdampak banyak untuk kemakmuran anggota Dewa Bejo secara pribadi. Pengelolaan keuangan Dewa Bejo dilakukan secara transparan dan semua anggota bisa melihat pembukuannya yang masih tercatat manual. Hasil pendapatan per bulan dibagi untuk menggaji para pemandu, membayar asuransi wisatawan, juga membagikannya untuk kas Desa sebesar Rp 25 juta per tahun. Ada pula yang disumbangkan untuk beberapa warga yang lahannya terlewati wisatawan. Untuk menggaji pengurus hanya 25 persen dari pendapatan per bulannya. Selain mengelola Dewa Bejo, Subagya sendiri dan ketiga rekannya juga masih bertani, berjualan bakso, beternak, dan berkesenian.
Sembari menghadapi masalah, Subagya terus mengelola wisata Pindul. Tak lupa administrasi Pokdarwis juga ia benahi. Kini, sejumlah penghargaan berhasil diraih Dewa Bejo, antara lain LOS Awards 2014 dari Lembaga Ombudsman Swasta DIY sebagai Desa Wisata Terbaik dalam Pengelolaan Desa Wisata yang Beretika dan Berkelanjutan se-DIY, Penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Perekonomian Kreatif, Citra Pesona Wisata Cipta Awards 2012 sebagai finalis Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alam Berwawasan Lingkungan Tingkat Nasional, Penghargaan sebagai Juara I Lomba Pokdarwis dari Dinas Pariwisata DIY TAHUN 2014.
Semua wisatawan juga Subagya asuransikan. Semua pemandu wajib mendapat pelatihan dan tersertifikasi. Semua demi peningkatan pelayanan wisatawan. Namun, sejak dirinya terbelit kasus hukum, operator Pindul yang lain pun makin berkembang. Mereka gencar melakukan promosi. Dewa Bejo kini kalah promosi dan kalau diranking hanya ada di urutan keempat dari sekian puluh operator. Pindul sendiri kini sudah dilengkapi wisata gua lain, seperti Gua Gelatik dan Gua burung Sriti. Banyaknya destinasi wisata gua membuat home stay di Bejiharjo bermunculan.
Namun, terlalu banyaknya wisatawan yang masuk ke gua secara bersamaan juga membuat Subagya cemas. Pasalnya, itu bisa berdampak buruk pada dinding gua. Pengaruh buruk lainnya adalah terhadap keberadaan satwa dan suhu udara di dalam gua. Kelelawar amat menyukai kepengapan udara. Sementara suhu tubuh manusia yang berlebihan banyaknya akan berpengaruh terhadap suhu gua. Karena itu, Subagya menekankan perlunya pengelolaan Pindul yang satu garis manajemen dan mengerti betul mengenai karakter gua. Sangat disayangkan jika Pindul sebagai aset daerah hanya dikeruk manisnya sekejap, lalu rusak, dan sesudah itu keindahannya tiada lagi. Alam telah memberi keindahan dan kemanfaatan secara ekonomi, tinggal bagaimana kita mampu mengelolanya secara arif.
0 komentar:
Posting Komentar