Bekerja di perusahaan ternama dengan gaji besar tak membuat Denok Marty Astuti terlena. Di tengah kemapanan, justru dia banting setir dan menekuni profesi 'aneh', yaitu mengelola sampah mandiri. Lulusan D3 Poltek Undip ini mengajari masyarakat untuk mencintai lingkungan dan memanfaatkan limbah untuk tujuan ekonomis dengan memberi pelatihan pada anak jalanan, penghuni LP, sampai ibu-ibu di kelurahan dan para ekspatriat. Menurut bungsu dari tujuh bersaudara yang sekarang tinggal di Solo ini, urusan sampah tidak bisa dianggap sepele, karena selain alasan kesehatan serta lingkungan, ternyata sampah juga memiliki nilai ekonomis.
Sebelum terjun di bidang lingkungan dengan cara mengolah sampah, Denok adalah karyawan accounting di sebuah perusahaan otomotif raksasa di Jakarta. Kalau ditotal, 12 tahun ia bekerja di sana dan baru resign pada tahun 2014. Alasannya putar haluan dari seorang accounting kemudian mengelola sampah mandiri adalah, karena didasari rasa sangat prihatin melihat kondisi lingkungan persampahan di Indonesia, khususnya di Jakarta. Sebagai penduduk Jakarta kala itu, Denok bisa membayangkan sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir di Bantar Gebang bisa mencapai ratusan ton. Tahun 2009, Denok sudah mengawalinya dengan mencari cara bagaimana sampah itu tidak dibuang sembarangan, tetapi bisa dijadikan kerajinan yang memiliki nilai jual supaya lebih bermanfaat, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Kemudian ia mencoba melakukan pendekatan serta mengajari anak-anak jalanan di rumah singgah, juga pada ibu-ibu di panti jompo serta panti asuhan. Untuk anak jalanan, Denok mengajari mereka dengan harapan hasil kerajinan bisa menjadi sumber penghidupan, sehingga mereka tidak lagi mengais uang di jalanan, dan supaya tidak makin ruwet juga di jalanan.
Kegiatan itu Denok lakukan pada hari Sabtu dan Minggu. Ia cukup duduk lesehan dengan anak-anak jalanan di bawah jembatan layang di kawasan Sunter. Denok mengajari anak-anak pengemis, waria, juga pengamen membuat berbagai keterampilan berbahan sampah mulai dari kardus, kertas koran, plastik, bekas wadah kopi, minuman sachet, dan kantong plastik. Kebetulan, sejak kecil Denok memang hobi membuat craft. Ibunya, Suyati, di Solo punya jasa rias pengantin, termasuk menerima pembuatan suvenir. Jadi sejak SD sampai SMA sehari-hari, ia suka membuat berbagai pernak-pernik kerajinan pesanan orang hajatan. Dan itu menjadi kebiasaan sampai ia dewasa. Di rumah atau di tempat kos, Denok selalu tidak bisa diam. Ada saja ide membuat berbagai kerajinan. Aktifitas bersama anak jalanan itu berlangsung sekitar setahun, baru setelah itu Denok bertemu dengan komunitas Gerakan Orang Muda Peduli Sampah dan Lingkungan Hidup (Grophes). Ternyata, teman-teman di Grophes mengamati kegiatannya selama ini di jalanan yang ia lakukan sendirian. Oleh karena itu, mereka kemudian mengajak Denok untuk bergabung. Bedanya, kalau teman-teman di Grophes pendekatannya lebih ke soal pengolahan sampah, sementara Denok lebih ke pembuatan kerajinan dari sampah. Setelah bergabung, Denok dan teman-teman di Grophes pun saling sharing. Dan saat ini, untuk masalah teknis materi membuat kerajinan dari sampah, Denok yang pegang.
Mengajari anak jalanan, menurut Denok, memang bukan pekerjaan yang mudah karena mereka pada dasarnya sudah asyik dengan dunianya sendiri dan tidak susah mencari uang. Bayangkan, hanya bermodalkan kecrekan dari tutup botol, mereka mengamen dan belum genap satu lagu pun sudah bisa mendapatkan uang. Jadi, sambil mengajari mereka kerajinan, Denok juga mengajak ngobrol serta memberi masukan-masukan untuk kehidupan yang lebih baik. Denok pun melihat, banyak anak jalanan yang ternyata cukup pintar. Karya mereka, misalnya rompi dari pembungkus kopi sachet yang dianyam atau tas berbahan anyaman plastik kresek, kemudian diupload oleh ketua kelompoknya di Facebook lalu dijual. Kadang-kadang Denok juga mengajak mereka ikut pameran yang diadakan oleh Disperindag. Tapi, selain aktivitas tersebut, hampir setiap minggu Denok menggalang dana dari teman-teman di kantor untuk membantu menyisihkan uang. Uang itu kemudian Denok belikan kebutuhan anak-anak jalanan, mulai tas, buku dan alat tulis, bahkan pernah pula ada yang ia belikan mesin jahit. Yang pasti, Denok tidak pernah memberikan uang tunai.
Denok mengakui, kalau dilihat dari gaji dan jabatannya sebagai Sup Dept Head Accounting di perusahaan, keputusannya untuk resign dan menekuni profesi sebagai pengolah sampah memang rasanya sangat aneh. Tapi Denok merasakan bahwa realita kehidupan ketika di dalam kantor dengan keadaan di luar jauh berbeda. Di dalam kantor ia mendapati suasana yang sangat nyaman, tempat kerja selalu bersih, mewah, dan sejuk. Tapi, begitu keluar selangkah dari pagar kantor, keadaannya begitu mencolok berbeda sekali. Tukang ojek di pinggir jalan bertebaran, jalan agak jauh sedikit sudah ada anak-anak pengamen jalanan, dan masih banyak lagi. Dari sanalah, Denok mulai kepikiran ingin membantu mereka dengan caranya. Secara kebetulan ia memiliki passion yang tinggi di bidang craft. Langkah pertama, ia minta izin ibunya untuk resign dari perusahaan itu. Denok beruntung memiliki ibu yang sangat demokratis dan berpikir positif. Sang ibu intinya mengizinkannya keluar dari zona mapan di perusahaan demi kebaikan banyak orang. Legalah hati Denok manakala sang ibu merestui, meski keenam kakaknya sebenarnya kurang setuju dengan keputusannya yang mereka anggap nekat tersebut.
Denok pun juga sempat ditolak empat kali oleh pimpinannya ketika meminta resign. Tapi ia berdalih bahwa sudah 12 tahun dirinya dipandaikan oleh perusahaan, maka saatnya sekarang ia ingin memandaikan orang lain. Akhirnya, pimpinannya merelakan Denok keluar di tahun 2014 lalu. Kendati demikian hubungan dengan tempat kerjanya itu masih terjalin sangat baik. Bahkan, kalau pihak perusahaan mencari lokasi binaan dalam bidang lingkungan, Denoklah yang diminta mencarikan, karena kebetulan saat masih aktif di kantor dulu, ia ditunjuk sebagai duta CSR di bidang lingkungan hidup. Ketika bekerja di perusahaan tersebut Denok sempat terpilih mewakili Indonesia bersama seorang temannya lagi mengikuti International Asociation of Traffic and Safety Scientes (IAATS) di Jepang selama dua bulan. Acara itu dikuti peserta dari berbagai negara. Denok berhasil masuk setelah lolos seleksi yang diikuti 200 peserta. Selama di Jepang, Denok mendapat pelatihan sosial ekonomi, anak dan perempuan, serta pendidikan lingkungan hidup. Dan gagasannya soal pengelolaan sampah itu akhirnya diadopsi oleh peserta dari Laos dan Myanmar, karena di negara mereka persoalan sampah juga cukup parah.
Setelah keluar dari pekerjaan, Denok memutuskan pindah ke Solo. Begitu sampai di sana, yang pertama kali ia lakukan adalah 'menjual diri' ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Solo. Ia menyampaikan kepada Kalapas di sana bahwa sisa makanan 600 orang napi dan sampah dapur yang dibuang sebanyak 3 bak pick up sehari itu potensial untuk dijadikan pupuk sepanjang bisa mengolahnya. Kalapas kemudian sepakat dan memintanya mengajari para napi mengolah sampah kompos yang kemudian diberi nama Biorutani. Saat ini Biorutani sudah dijual bebas setelah melalui uji laboratorium. Setelah berhasil membuat kompos, Denok mulai mengajari membuat craft lainnya dari berbagai bahan sampah. Saat ini ada sekitar 60 sampai 80 napi laki-laki dan perempuan yang aktif membuat kerajinan. Padahal, dulu sebelum Denok memberi pelatihan, di bengkel yang ada di Lapas itu hanya ada enam napi yang bekerja dan membuat pesanan teralis, kanopi, serta pagar. Sekarang para napi membuat berbagai macam kerajinan, mulai keranjang buah berbahan kertas koran sampai miniatur kapal-kapalan dari bambu, dan masih banyak lagi macam ragamnya. Hasil kerajinan itu selain Denok yang menjualkan, juga dipajang di galeri yang dulunya garasi Lapas, agar orang luar dengan mudah melihat-lihat. Selain dipajang di galeri, napi sendiri juga kadang memajang kerajinannya di dekat ruang besuk tahanan. Hasil penjualan lalu dibagi, 30 persen untuk napi, 70 persen untuk Lapas yang menyediakan bahannya. Selain itu Denok juga ikut memasarkan di berbagai kegiatan di luar rutan, mulai dari car free day, pameran yang diadakan Disperindag, serta penjualan online. Pesanan yang datang dari seluruh Indonesia maupun dari berbagai negara. Ketika kembali ke Solo, Denok juga ditunjuk sebagai ketua Grophes Solo Raya, dan mengembangkan pelatihan mulai dari Solo, Delanggu, Klaten, Karanganyar, dan sebagainya. Selain itu ia juga membuka PT Karya Cipta Mandiri (KCM).
Memang, pekerjaan yang Denok lakukan ini adalah pekerjaan sosial yang tidak mendapatkan keuntungan. Untuk mencari uang, Denok menjalin kerja sama dengan Balai Lingkungan Hidup (BLH) kota Solo. Di BLH ini Denok ditugaskan sebagai tenaga praktisi ahli lingkungan. Oleh BLH Solo, Denok kemudian direkrut untuk memberi pelatihan kepada para ibu untuk mengelola sampah rumahan menjadi kompos, sisanya yang memiliki nilai ekonomis bisa dijual. Saat ini, Denok sudah memberi pelatihan di 13 kelurahan dari 51 kelurahan yang ada di Solo. Ibu-ibu yang sudah mendapat pelatihan juga sudah sangat pandai. Kampung-kampung yang sudah bagus pengelolaan sampahnya lalu disebut dengan kampung daur ulang.
Dari Solo, langkah Denok pun akhirnya kembali ke Jakarta. Saat ini ia bersama teman-temannya melakukan kerja sama dengan Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPKK) Jakarta untuk membantu mengelola sampah di sana. Ke depannya wilayah PPKK seluas 450 hektar meliputi apartemen, perkantoran, perumahan di kawasan Kemayoran, harus nol sampah. Artinya, sampah tidak boleh dibuang keluar lagi, tetapi semuanya dikelola sendiri. Semula Denok dan teman-temannya menduga akan mengalami kesulitan, terutama bagi para ekspatriat. Tapi dugaannya ternyata meleset. Justru warga asing yang ada di apartemen dengan senang hati menerima kedatangan Denok dan teman-teman. Para ekspatriat itu mengatakan, bahwa mengelola sampah sudah menjadi budaya di negara mereka, yang mana di Indonesia justru mereka tidak menemukan hal itu. Karena itu, ketika diajak terlibat mengolah sampah, mereka senang. Dan dari kegiatannya ini, di tahun 2015 Denok berhasil mendapatkan penghargaan dari Junior Chamber International, sebuah lembaga di bawah naungan PBB. Ia masuk kategori Tenoutstanding Young Person.
0 komentar:
Posting Komentar