Sabtu, 09 Juli 2016


Tragedi Ambon Berdarah di tahun 1998 telah mengubah hidup Ratna Prawira. Rumah habis terbakar, bahkan ibunda tercinta meninggal terkena serangan jantung saat kerusuhan. Akhirnya, berbekal baju melekat di badan dan SK sang suami, Ratna bersama kedua anak dan suaminya mengadu nasib ke Yogyakarta. Hampir 12 tahun jatuh bangun merintis usaha, titik terang datang saat ia menemukan pisang uter yang banyak terbuang di dekat rumahnya. Dari tangan dinginnya, lahirlah berbagai olahan pisang yang memberi penghasilan tambahan dan berbuah banyak penghargaan.

Semua berawal ketika Ratna menerima pemberian pisang uter dari tetangganya. Pisang uter adalah pisang yang di dalamnya banyak biji. Kebetulan pohon pisang ini banyak tumbuh liar di desanya, Sendangtirto, Berbah, Sleman, DIY. Biasanya hanya untuk pakan burung. Harganya murah. Setandan hanya Rp 2.500. Sayangnya, keluarga Ratna tak ada yang doyan. Mau dibuang, Ratna takut ketahuan si pemberi pisang. Lantas ia berpikir, bagaimana jika ia mengolah pisang itu menjadi bahan makanan yang bermanfaat. Toh, harganya murah dan tanaman ini juga tak gampang kena penyakit.

Kebetulan, tahun 2009 Ratna membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Seruni dan didapuk sebagai ketua. Singkat cerita, pisang uter itu ia sulap menjadi tepung pisang. Setelah dikupas, lalu diparut, kemudian diblender. Ratna mengajari ilmu itu pada anggota KWT Seruni yang jumlahnya 30 orang. Tapi ternyata, produk tersebut tidak laku. Orang lebih memilih tepung terigu daripada tepung pisang. Hingga suatu hari, Ratna datang ke sebuah hajatan pernikahan. Di sana, ia makan kering tempe. Tiba-tiba, ia terinspirasi untuk membuat kering tempe dari pisang uter. Pulang ke rumah, ia langsung mencobanya dan berhasil. Kemudian, ia mengajarkan lagi temuannya itu pada anggota KWT dan produk tersebut pun laris manis di pasaran.

Namun, muncul kendala baru. Sampah kulit pisang menggunung. Ratna pun memutar otaknya. Lalu muncul ide membuat kerupuk. Setelah tujuh kali percobaan, kerupuk kulit pisang uter baru jadi. Dan lagi-lagi diminati masyarakat. Dari situ, ide-ide olahan pisang pun bermunculan. Seluruh bagian pohon pisang bisa dimanfaatkannya, mulai dari daun, batang, kulit, buah, jantung, hingga bonggol. Ratna membuat es daun pisang, sirup daun pisang, nugget jantung pisang, stik jantung pisang, serundeng pisang, sambal kulit pisang, abon batang pisang, semprong bonggol pisang, manisan bonggol pisang, hingga kerupuk bonggol pisang.


Lucunya, perempuan kelahiran Rizali, Kecamatan Sirimau, Ambon pada 6 Juli 1959 ini jadi punya penyakit susah tidur karena setiap terpejam selalu kepikiran resep olahan pisang yang baru. Bahkan, kalau diajak ngobrol oleh suaminya, ia sering tidak nyambung, hingga suaminya mengatakan bahwa pisang itu adalah pacar barunya. Sejak tahun 2011, seluruh anggota KWT Seruni sudah bisa memproduksi pisang secara mandiri sebagai usaha rumahan. Semua menggunakan brand Seruni Snack.

Tak puas berkreasi dengan pisang, tahun 2012 Ratna membentuk kelompok ABG (Aku Butuh Gizi) untuk mewadahi anak-anak usia SD yang membuat olahan sayur dan ikan. Tujuan utamanya, agar anak-anak terhindar dari konsumsi jajanan berbahaya. Lahirlah saus papaya, puding bayam, puding kacang panjang, kolak daun singkong, kolak bayam, hingga puding lele. Selain itu, Ratna juga membantu petani membuat produk pasca panen, khususnya cabai. Ada bubuk cabai, pasta cabai, abon cabai, dan cabai kering. Jadi ketika harga cabai turun, petani tak menjerit. Dan di tahun 2014, Ratna membentuk KWT Pelangi yang fokus pada produksi kerupuk sayur.

Tahun 2015, dengan modal sendiri Ratna membangun Pusat Pelatihan Petani Swadaya di sepetak tanah dekat rumahnya. Suatu hari, ia ingin semua petani dari pelosok Nusantara bisa belajar di situ. Ia akan mengajarkan semua olahan yang ia bisa. Ia ingin mendampingi masyarakat pedesaan hingga suatu saat mereka dapat sejajar dengan masyarakat perkotaan, terutama perempuannya. Tak mustahil memang. Seperti halnya ia yang bisa menjadi pengusaha sukses hanya dengan modal Rp 25.000 plus satu pohon pisang.

Bicara soal keahlian memasak, Ratna berkisah dulu ia justru seorang perempuan manja yang pantang masuk dapur. Bayangkan, setahun setelah menikah barulah ia bisa memasak nasi. Tahun 1998, konflik berdarah di Ambon mengubah jalan hidupnya. Semua harta bendanya ludes terbakar. Bersama dua anak dan suami, ia pindah ke kampung halaman suami di Klaten, DIY, hanya dengan sisa sedikit tabungan, SK suami, dan baju yang melekat di badan.

Hari-hari kelabu ia jalani sebagai pengangguran. Sementara, sang suami yang sebelumnya tercatat sebagai PNS di Dinas Pertanian Ambon, harus ikhlas berbulan-bulan tak bergaji. Ratna berkisah, pernah pada suatu titik, di rumah kontrakannya di Yogya, keluarganya benar-benar tak punya apa-apa untuk makan besok. Akhirnya, Ratna harus menjual tabung gas untuk membeli beras. Kesulitan hidup itu sempat membuatnya depresi. Hingga suatu hari di tahun 2000, saat ia tengah duduk di rumah tetangganya, ia melihat ada sebuah tabloid wanita bekas, yang di dalamnya ada resep sponge cake. Saat pulang ia pun mencoba membuatnya. Ternyata kuenya jadi dan rasanya enak. Di situ ia berpikir, mungkin ini adalah jalannya untuk bangkit dan memulai usaha.

Ratna lalu memberanikan diri meminjam uang di BPD untuk membuka toko sponge cake. Ternyata, kuenya laris manis. Hari pertama buka, langsung laku 8 buah seharga Rp 10.000 per buahnya. Sejak itu, Toko Kue Rendy miliknya makin dikenal orang. Ratna lalu mulai berlangganan tabloid wanita yang banyak menampilkan resep-resep kue, untuk menambah beberapa variasi kue yang semua resepnya bisa ia dapat dari tabloid itu. Seperti jajanan pasar, butter cake, chocolate cake, dan sebagainya. Toko kue itu berjalan sukses hingga 3 tahun. Di tahun 2003, sedikit demi sedikit kentungan toko kue digunakan Ratna untuk membeli rumah yang ia tempati hingga sekarang. Agar lebih praktis, toko kuenya pun berpindah ke dekat rumah. Ternyata, Ratna salah perhitungan.

Pelanggan makin berkurang, karena lokasinya jauh dari jalan utama. Di situlah ia mulai terpuruk kembali. Toko kue lalu ia ganti menjadi toko bahan kue. Tapi tetap saja gagal. Ratna lalu mencoba berjualan vas bunga, dan gagal lagi setelah berjalan setahun. Membuka usaha rumah makan pun juga gagal. Membuka kafe, tak bertahan. Berdagang pakaian malah ditipu orang. Berjualan anthurium, hanya mengecap sukses sesaat. Hampir 12 tahun Ratna jatuh bangun. Ia hilang tenaga dan putus asa. Hingga suatu saat setelah selesai shalat, ia terkulai lemas. Saat mengangkat sajadah, tergelatak sebuah kunci kecil di bawahnya entah dari mana. Saat itu, seperti ada kekuatan yang menyadarkan Ratna. Ia tiba-tiba berpikir, kunci itu adalah untuk membuka pintu. Berarti ia masih punya pintu rezeki yang harus ia cari lagi.

Dan percaya atau tidak, mulai saat itu tumbuh kesadaran Ratna untuk bangkit membangun bisnisnya kembali. Ujian hidup selama 12 tahun telah mengubah Ratna sekuat akar pohon pisang yang mencengkeram perut bumi. Jadi, Ratna berpesan, untuk perempuan Indonesia janganlah mengatakan tidak bisa. Karena semua orang dilahirkan dengan potensi masing-masing, serta punya rezeki masing-masing. Di antara seribu pintu rezeki, pasti ada pintu milik kita. Jangan menyerah !  

1 komentar: