Tragedi Ambon
Berdarah di tahun 1998 telah mengubah hidup Ratna Prawira. Rumah habis
terbakar, bahkan ibunda tercinta meninggal terkena serangan jantung saat kerusuhan.
Akhirnya, berbekal baju melekat di badan dan SK sang suami, Ratna bersama kedua
anak dan suaminya mengadu nasib ke Yogyakarta. Hampir 12 tahun jatuh bangun
merintis usaha, titik terang datang saat ia menemukan pisang uter yang banyak
terbuang di dekat rumahnya. Dari tangan dinginnya, lahirlah berbagai olahan
pisang yang memberi penghasilan tambahan dan berbuah banyak penghargaan.
Semua
berawal ketika Ratna menerima pemberian pisang uter dari tetangganya. Pisang
uter adalah pisang yang di dalamnya banyak biji. Kebetulan pohon pisang ini
banyak tumbuh liar di desanya, Sendangtirto, Berbah, Sleman, DIY. Biasanya
hanya untuk pakan burung. Harganya murah. Setandan hanya Rp 2.500. Sayangnya,
keluarga Ratna tak ada yang doyan. Mau dibuang, Ratna takut ketahuan si pemberi
pisang. Lantas ia berpikir, bagaimana jika ia mengolah pisang itu menjadi bahan
makanan yang bermanfaat. Toh, harganya murah dan tanaman ini juga tak gampang
kena penyakit.
Kebetulan,
tahun 2009 Ratna membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Seruni dan didapuk
sebagai ketua. Singkat cerita, pisang uter itu ia sulap menjadi tepung pisang.
Setelah dikupas, lalu diparut, kemudian diblender. Ratna mengajari ilmu itu
pada anggota KWT Seruni yang jumlahnya 30 orang. Tapi ternyata, produk tersebut
tidak laku. Orang lebih memilih tepung terigu daripada tepung pisang. Hingga
suatu hari, Ratna datang ke sebuah hajatan pernikahan. Di sana, ia makan kering
tempe. Tiba-tiba, ia terinspirasi untuk membuat kering tempe dari pisang uter.
Pulang ke rumah, ia langsung mencobanya dan berhasil. Kemudian, ia mengajarkan
lagi temuannya itu pada anggota KWT dan produk tersebut pun laris manis di
pasaran.
Namun,
muncul kendala baru. Sampah kulit pisang menggunung. Ratna pun memutar otaknya.
Lalu muncul ide membuat kerupuk. Setelah tujuh kali percobaan, kerupuk kulit
pisang uter baru jadi. Dan lagi-lagi diminati masyarakat. Dari situ, ide-ide
olahan pisang pun bermunculan. Seluruh bagian pohon pisang bisa
dimanfaatkannya, mulai dari daun, batang, kulit, buah, jantung, hingga bonggol.
Ratna membuat es daun pisang, sirup daun pisang, nugget jantung pisang, stik jantung pisang, serundeng pisang,
sambal kulit pisang, abon batang pisang, semprong bonggol pisang, manisan
bonggol pisang, hingga kerupuk bonggol pisang.
Lucunya,
perempuan kelahiran Rizali, Kecamatan Sirimau, Ambon pada 6 Juli 1959 ini jadi
punya penyakit susah tidur karena setiap terpejam selalu kepikiran resep olahan
pisang yang baru. Bahkan, kalau diajak ngobrol oleh suaminya, ia sering tidak
nyambung, hingga suaminya mengatakan bahwa pisang itu adalah pacar barunya.
Sejak tahun 2011, seluruh anggota KWT Seruni sudah bisa memproduksi pisang
secara mandiri sebagai usaha rumahan. Semua menggunakan brand Seruni Snack.
Tak
puas berkreasi dengan pisang, tahun 2012 Ratna membentuk kelompok ABG (Aku
Butuh Gizi) untuk mewadahi anak-anak usia SD yang membuat olahan sayur dan
ikan. Tujuan utamanya, agar anak-anak terhindar dari konsumsi jajanan
berbahaya. Lahirlah saus papaya, puding bayam, puding kacang panjang, kolak
daun singkong, kolak bayam, hingga puding lele. Selain itu, Ratna juga membantu
petani membuat produk pasca panen, khususnya cabai. Ada bubuk cabai, pasta
cabai, abon cabai, dan cabai kering. Jadi ketika harga cabai turun, petani tak
menjerit. Dan di tahun 2014, Ratna membentuk KWT Pelangi yang fokus pada
produksi kerupuk sayur.
Tahun
2015, dengan modal sendiri Ratna membangun Pusat Pelatihan Petani Swadaya di
sepetak tanah dekat rumahnya. Suatu hari, ia ingin semua petani dari pelosok
Nusantara bisa belajar di situ. Ia akan mengajarkan semua olahan yang ia bisa.
Ia ingin mendampingi masyarakat pedesaan hingga suatu saat mereka dapat sejajar
dengan masyarakat perkotaan, terutama perempuannya. Tak mustahil memang.
Seperti halnya ia yang bisa menjadi pengusaha sukses hanya dengan modal Rp
25.000 plus satu pohon pisang.
Bicara
soal keahlian memasak, Ratna berkisah dulu ia justru seorang perempuan manja
yang pantang masuk dapur. Bayangkan, setahun setelah menikah barulah ia bisa
memasak nasi. Tahun 1998, konflik berdarah di Ambon mengubah jalan hidupnya.
Semua harta bendanya ludes terbakar. Bersama dua anak dan suami, ia pindah ke kampung
halaman suami di Klaten, DIY, hanya dengan sisa sedikit tabungan, SK suami, dan
baju yang melekat di badan.
Hari-hari
kelabu ia jalani sebagai pengangguran. Sementara, sang suami yang sebelumnya
tercatat sebagai PNS di Dinas Pertanian Ambon, harus ikhlas berbulan-bulan tak
bergaji. Ratna berkisah, pernah pada suatu titik, di rumah kontrakannya di
Yogya, keluarganya benar-benar tak punya apa-apa untuk makan besok. Akhirnya,
Ratna harus menjual tabung gas untuk membeli beras. Kesulitan hidup itu sempat
membuatnya depresi. Hingga suatu hari di tahun 2000, saat ia tengah duduk di
rumah tetangganya, ia melihat ada sebuah tabloid wanita bekas, yang di dalamnya
ada resep sponge cake. Saat pulang ia
pun mencoba membuatnya. Ternyata kuenya jadi dan rasanya enak. Di situ ia
berpikir, mungkin ini adalah jalannya untuk bangkit dan memulai usaha.
Ratna
lalu memberanikan diri meminjam uang di BPD untuk membuka toko sponge cake. Ternyata, kuenya laris
manis. Hari pertama buka, langsung laku 8 buah seharga Rp 10.000 per buahnya.
Sejak itu, Toko Kue Rendy miliknya makin dikenal orang. Ratna lalu mulai
berlangganan tabloid wanita yang banyak menampilkan resep-resep kue, untuk
menambah beberapa variasi kue yang semua resepnya bisa ia dapat dari tabloid itu.
Seperti jajanan pasar, butter cake, chocolate cake, dan sebagainya. Toko kue
itu berjalan sukses hingga 3 tahun. Di tahun 2003, sedikit demi sedikit
kentungan toko kue digunakan Ratna untuk membeli rumah yang ia tempati hingga
sekarang. Agar lebih praktis, toko kuenya pun berpindah ke dekat rumah.
Ternyata, Ratna salah perhitungan.
Pelanggan
makin berkurang, karena lokasinya jauh dari jalan utama. Di situlah ia mulai
terpuruk kembali. Toko kue lalu ia ganti menjadi toko bahan kue. Tapi tetap
saja gagal. Ratna lalu mencoba berjualan vas bunga, dan gagal lagi setelah
berjalan setahun. Membuka usaha rumah makan pun juga gagal. Membuka kafe, tak
bertahan. Berdagang pakaian malah ditipu orang. Berjualan anthurium, hanya
mengecap sukses sesaat. Hampir 12 tahun Ratna jatuh bangun. Ia hilang tenaga
dan putus asa. Hingga suatu saat setelah selesai shalat, ia terkulai lemas.
Saat mengangkat sajadah, tergelatak sebuah kunci kecil di bawahnya entah dari
mana. Saat itu, seperti ada kekuatan yang menyadarkan Ratna. Ia tiba-tiba berpikir,
kunci itu adalah untuk membuka pintu. Berarti ia masih punya pintu rezeki yang
harus ia cari lagi.
Dan
percaya atau tidak, mulai saat itu tumbuh kesadaran Ratna untuk bangkit
membangun bisnisnya kembali. Ujian hidup selama 12 tahun telah mengubah Ratna
sekuat akar pohon pisang yang mencengkeram perut bumi. Jadi, Ratna berpesan,
untuk perempuan Indonesia janganlah mengatakan tidak bisa. Karena semua orang
dilahirkan dengan potensi masing-masing, serta punya rezeki masing-masing. Di antara
seribu pintu rezeki, pasti ada pintu milik kita. Jangan menyerah !
Pingin beli sirupnya. Dmn ya alamatnya dan brp nopenya
BalasHapus