Kehidupan Irma
Suryati bak drama sinetron. Kisah hidupnya diwarnai cerita mengharu biru.
Hebatnya, perempuan kelahiran 1 Januari 1975 ini mampu menunjukkan bahwa
menjadi difabel tak membatasinya untuk berkarya dan produktif. Kegigihan dan
keuletannya membuahkan prestasi yang mengangkat namanya menjadi salah satu
difabel sukses di Tanah Air. Sebanyak 59 ribu orang, 3 ribu di antaranya
difabel di berbagai daerah, kini menjadi mitra Irma untuk memproduksi kerajinan
keset perca bermerek Mutiara Handycraft.
Terlahir
dengan nama Endang Sity Sukenny, namanya kemudian diganti menjadi Irma Suryati
karena ia sering sakit dan dianggap ‘keberatan’ nama. Lahir normal dan sehat, sampai
akhirnya di usia 4 tahun Irma mengalami cidera berat di bagian kaki yang
membuatnya tak bisa lagi menggerakkan kaki. Irma pun mengalami cacat fisik
permanen. Namun, menjadi difabel justru melecut Irma untuk terus berprestasi.
Ia ingin menunjukkan bahwa cacat bukanlah halangan. Kebetulan, Irma sering
melihat ibunya membuat taplak dari kain perca. Hasilnya pun cantik. Irma lantas
jadi tertarik dan mulai membuat kerajinan dari kain perca sejak duduk di bangku
SMA. Ia juga berlatih beberapa keterampilan lain seperti menjahit.
Lulus SMA,
Irma lolos tes di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tapi tidak mendaftar
ulang karena tidak punya biaya. Ia pun banting setir mencari pekerjaan berbekal
ijazah SMA. Namun, karena kondisi fisiknya, tak satu pun perusahaan yang
tertarik mempekerjakannya. Irma kemudian kembali membuat kerajinan perca
sebagai obat kekecewaan. Hasilnya, ia jual ke tetangga dan siapa saja yang
berminat. Bahan kain perca ia peroleh dari sisa kain di pabrik garmen. Tahun
1994, Irma hijrah ke Solo, mengikuti program di RC (Rehabilitasions Centrum).
Lulus dari RC tahun 1995, ia menikah dengan Agus Priyanto, kakak kelasnya di
RC.
Bersamaan
dengan itu, kerajinan keset perca buatannya ternyata makin diminati banyak
tetangga. Melihat respons pasar yang bagus, Irma mengajak suaminya berekspansi
ke pusat-pusat perkulakan dengan mengendarai motor modifikasi roda tiga. Tahun
1997, usaha Irma maju pesat. Order keset perca sudah masuk ke semua pasar lokal
Jawa Tengah, swalayan, dan pesanan luar Jawa. Puncaknya tahun 2000, ia bisa
meraih omzet Rp 850 juta dengan 50 karyawan yang terdiri dari 30 penjahit, 3
manajer, dan 15 sales. Aset yang ia miliki saat itu berupa rumah, dua kios di
Pasar Karangjati, dan empat unit mobil.
Namun, Tuhan
memberikan cobaan. Semua harta miliknya habis terbakar, bahkan uang sepeser pun
ia tak punya. Tapi Irma dan suami meyakini bahwa semua yang mereka miliki itu
adalah titipan dari Tuhan dan mereka tak punya kuasa ketika Tuhan sudah
berencana. Irma dan sang suami akhirnya pulang ke kampong halamannya di
Kebumen, Jawa Tengah, tahun 2002. Di sana Irma memutuskan mengontrak dan
berusaha mandiri lagi. Ia juga mengontak relasi lama untuk membeli limbah perca
di Semarang. Tak ketinggalan, ia juga mengajak 300 teman-teman difabel untuk
membuat kerajinan perca. Namun, saat itu ia sama sekali belum mendapatkan
omzet, karena belum punya pasar di Kebumen. Irma hanya bisa titip jual ke pasar
atau ke pedagang. Untuk satu keset perca saat itu harganya dari Rp 3000 hingga
Rp 5000.
Irma kemudian
mendatangi pasar-pasar di Jakarta menawarkan produk keset perca. Di ibukota,
bersama suaminya ia harus naik turun bus dan angkot. Perjuangan yang tak akan
pernah ia lupakan itu berlangsung hampir tiga-empat tahun Irma lakukan. Sampai
akhirnya ia menemukan Pasar Tanah Abang. Untuk membuat keset perca semakin
menarik, Irma memberikan sentuhan inovasi. Bentuk-bentuk keset perca tak hanya
oval, bulat ataupun kotak seperti umumnya, tapi sudah berbentuk karakter. Mulai
dari binatang sampai tokoh kartun, untuk menarik pembeli. Keset perca karakter
ini akhirnya laris manis di Jakarta.
Selain
memasarkan produk di dalam negeri, Irma juga memasarkannya ke luar negeri,
yakni Australia, Jerman, Jepang, dan Turki. Untuk menjaga kualitas produknya,
Irma mengadakan pertemuan tiap tiga bulan sekali yang diikuti koordinator tiap
kecamatan. Selain membicarakan kualitas produk, ia juga memperkenalkan inovasi
baru kerajinan tangan. Menurut Irma, menjalankan bisnis memang tidaklah mudah,
tetapi ia yakin, dengan niat dan kerja keras pasti jalan akan terbuka. Dan dengan
menjadi sosiopreuner juga memberinya
bonus khusus, yaitu melihat keberhasilan orang lain. Itu sungguh kepuasan dan
kebanggaan tersendiri.
0 komentar:
Posting Komentar