Minggu, 17 Juli 2016



Kehidupan Irma Suryati bak drama sinetron. Kisah hidupnya diwarnai cerita mengharu biru. Hebatnya, perempuan kelahiran 1 Januari 1975 ini mampu menunjukkan bahwa menjadi difabel tak membatasinya untuk berkarya dan produktif. Kegigihan dan keuletannya membuahkan prestasi yang mengangkat namanya menjadi salah satu difabel sukses di Tanah Air. Sebanyak 59 ribu orang, 3 ribu di antaranya difabel di berbagai daerah, kini menjadi mitra Irma untuk memproduksi kerajinan keset perca bermerek Mutiara Handycraft.

Terlahir dengan nama Endang Sity Sukenny, namanya kemudian diganti menjadi Irma Suryati karena ia sering sakit dan dianggap ‘keberatan’ nama. Lahir normal dan sehat, sampai akhirnya di usia 4 tahun Irma mengalami cidera berat di bagian kaki yang membuatnya tak bisa lagi menggerakkan kaki. Irma pun mengalami cacat fisik permanen. Namun, menjadi difabel justru melecut Irma untuk terus berprestasi. Ia ingin menunjukkan bahwa cacat bukanlah halangan. Kebetulan, Irma sering melihat ibunya membuat taplak dari kain perca. Hasilnya pun cantik. Irma lantas jadi tertarik dan mulai membuat kerajinan dari kain perca sejak duduk di bangku SMA. Ia juga berlatih beberapa keterampilan lain seperti menjahit.


Lulus SMA, Irma lolos tes di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tapi tidak mendaftar ulang karena tidak punya biaya. Ia pun banting setir mencari pekerjaan berbekal ijazah SMA. Namun, karena kondisi fisiknya, tak satu pun perusahaan yang tertarik mempekerjakannya. Irma kemudian kembali membuat kerajinan perca sebagai obat kekecewaan. Hasilnya, ia jual ke tetangga dan siapa saja yang berminat. Bahan kain perca ia peroleh dari sisa kain di pabrik garmen. Tahun 1994, Irma hijrah ke Solo, mengikuti program di RC (Rehabilitasions Centrum). Lulus dari RC tahun 1995, ia menikah dengan Agus Priyanto, kakak kelasnya di RC.

Bersamaan dengan itu, kerajinan keset perca buatannya ternyata makin diminati banyak tetangga. Melihat respons pasar yang bagus, Irma mengajak suaminya berekspansi ke pusat-pusat perkulakan dengan mengendarai motor modifikasi roda tiga. Tahun 1997, usaha Irma maju pesat. Order keset perca sudah masuk ke semua pasar lokal Jawa Tengah, swalayan, dan pesanan luar Jawa. Puncaknya tahun 2000, ia bisa meraih omzet Rp 850 juta dengan 50 karyawan yang terdiri dari 30 penjahit, 3 manajer, dan 15 sales. Aset yang ia miliki saat itu berupa rumah, dua kios di Pasar Karangjati, dan empat unit mobil.


Namun, Tuhan memberikan cobaan. Semua harta miliknya habis terbakar, bahkan uang sepeser pun ia tak punya. Tapi Irma dan suami meyakini bahwa semua yang mereka miliki itu adalah titipan dari Tuhan dan mereka tak punya kuasa ketika Tuhan sudah berencana. Irma dan sang suami akhirnya pulang ke kampong halamannya di Kebumen, Jawa Tengah, tahun 2002. Di sana Irma memutuskan mengontrak dan berusaha mandiri lagi. Ia juga mengontak relasi lama untuk membeli limbah perca di Semarang. Tak ketinggalan, ia juga mengajak 300 teman-teman difabel untuk membuat kerajinan perca. Namun, saat itu ia sama sekali belum mendapatkan omzet, karena belum punya pasar di Kebumen. Irma hanya bisa titip jual ke pasar atau ke pedagang. Untuk satu keset perca saat itu harganya dari Rp 3000 hingga Rp 5000.

Irma kemudian mendatangi pasar-pasar di Jakarta menawarkan produk keset perca. Di ibukota, bersama suaminya ia harus naik turun bus dan angkot. Perjuangan yang tak akan pernah ia lupakan itu berlangsung hampir tiga-empat tahun Irma lakukan. Sampai akhirnya ia menemukan Pasar Tanah Abang. Untuk membuat keset perca semakin menarik, Irma memberikan sentuhan inovasi. Bentuk-bentuk keset perca tak hanya oval, bulat ataupun kotak seperti umumnya, tapi sudah berbentuk karakter. Mulai dari binatang sampai tokoh kartun, untuk menarik pembeli. Keset perca karakter ini akhirnya laris manis di Jakarta.


Selain memasarkan produk di dalam negeri, Irma juga memasarkannya ke luar negeri, yakni Australia, Jerman, Jepang, dan Turki. Untuk menjaga kualitas produknya, Irma mengadakan pertemuan tiap tiga bulan sekali yang diikuti koordinator tiap kecamatan. Selain membicarakan kualitas produk, ia juga memperkenalkan inovasi baru kerajinan tangan. Menurut Irma, menjalankan bisnis memang tidaklah mudah, tetapi ia yakin, dengan niat dan kerja keras pasti jalan akan terbuka. Dan dengan menjadi sosiopreuner juga memberinya bonus khusus, yaitu melihat keberhasilan orang lain. Itu sungguh kepuasan dan kebanggaan tersendiri.


0 komentar:

Posting Komentar