Impian menjadi
sarjana dan guru tertanam kuat di benak perempuan hebat kelahiran Ciamis, 2 Mei 1987 ini. Masa kecilnya yang
serba kekurangan ia jadikan mesiu untuk merawat cita-citanya mengenyam
pendidikan, bahkan hingga ke jenjang tertinggi. Istri dari Aditia Ginantaka ini
memilih menjadi TKI demi menabung uang untuk biaya kuliah. Lulus cum laude dari Saint Mary’s University,
Hongkong, Heni Sri Sundani, yang akrab dipanggil Jala Dara, pun kembali ke kampung
halamannya dan mendirikan Gerakan #AnakPetaniCerdas.
Heni
bercerita, sejak kecil ia memang selalu bilang kepada neneknya yang biasa ia
panggil Emak ingin menjadi guru. Namun ia ingin menjadi guru yang tidak perlu
dibayar agar orangtua muridnya tidak perlu bersedih karena harus menjual beras
dan hasil kebun untuk membayar sekolah dan buku-buku yang mahal. Hal seperti
itu mengingatkan Heni pada masa kecilnya. Saat SD, Heni kecil harus menempuh 1
jam berjalan kaki untuk mencapai sekolah. Melewati empang, sawah, dan
perkebunan karet yang gelap. Heni hanyalah anak buruh tani miskin. Sang ibu
memilih bekerja di Bekasi usai berpisah dengan sang suami. Heni kecil kemudian
dititipkan ke Dodoh, sang nenek, tinggal di desa Cikadu, Rancatapen, Ciamis.
Tak ada jalan
aspal mulus, dan tak ada listrik di desa terpencil itu. Setiap malam, Heni
belajar dan mengerjakan PR di bawah temaram cahaya lampu minyak. Di sampingnya,
Emak setia menjaga lampu minyak itu dengan kedua tangannya supaya tidak mati
tertiup angin yang menyeruak masuk dari celah-celah dinding bambu rumah.
Pagi-pagi, Heni harus membersihkan mukanya yang hitam karena jelaga lampu
teplok, sebelum berangkat ke sekolah. Maka dari itu, Heni akan merasa paling
sedih ketika sampai di sekolah, ternyata gurunya tidak datang, entah karena
sakit atau karena urusan lain. Atau bila gurunya hadir, tapi lupa kalau memberi
PR. Sejak itu, Heni berjanji pada dirinya sendiri, ia harus menjadi guru. Tapi
guru yang baik, yang tak pernah menyia-nyiakan semangat belajar murid-muridnya.
Lulus SD
dengan nilai ujian nasional tertinggi di sekolahnya, Heni melanjutkan ke SMP.
Pilihan yang tidak biasa bagi anak miskin di kampungnya saat itu. Tetangganya
pun mencibir. Berbekal uang pesangon ibunya, Heni akhirnya diterima di SMP yang
jaraknya 2 km berjalan kaki dari rumah. Karena tak punya uang saku, setiap hari
ia membawa bekal seadanya, nasi garam berbungkus daun pisang. Di SMP, Heni
berhasil mendapat beasiswa. Di SMP itu pula, hobi membaca Heni tertanam. Ia
mendapat penghargaan sebagai siswa yang membaca buku paling banyak. Ia biasa
menghabiskan waktu istirahat sekolah di gudang tua bekas perpustakaan sekolah
yang menyimpan banyak buku. Meski kondisi bukunya sering sudah tak utuh, di
gudang tua itu ia berkeliling dunia melalui buku. Heni pun mengaku hingga SMK, seragam
sekolahnya tak pernah lebih dari satu. Jadi kalau saat kehujanan, ia buru-buru
menggantung seragam yang basah di atas tungku, agar besoknya bisa dipakai lagi.
Selepas SMP,
Heni mendapat beasiswa melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan dan berhasil
menyelesaikannya dengan baik. Namun, pendidikan 9 tahun yang sudah ia lalui
masih jauh dari cita-citanya. Ia harus melanjutkan sekolah setidaknya 4 tahun
lagi supaya bisa menjadi sarjana dan guru. Akhirnya, Heni memutuskan berangkat
menjadi TKI ke luar negeri demi memperoleh biaya untuk melanjutkan kuliah. Ia
mendapat pekerjaan di Hong Kong. Di sana, sambil bekerja, ia kuliah IT dengan
metode jarak jauh tanpa sepengetahuan majikan. Ia juga mampu membeli laptop
dari hasil tabungan selama bekerja. Heni yang suka menulis juga sering
mengirimkan tulisan ke berbagai koran dan majalah berbahasa Indonesia di Hong
Kong. Ia juga rajin mengikuti lomba penulisan, aktif berorganisasi, baik
organisasi kepenulisan maupun advokasi buruh migran.
Berbeda dengan
majikan pertama, majikan kedua Heni sangat baik. Mereka memberi semangat,
membantu, dan menginspirasi Heni untuk menyelesaikan kuliah. Mereka pun
menganggap Heni sebagai keluarga. Heni kemudian mengambil kuliah Bisnis di
Jurusan Manajemen Wirausaha Saint Mary’s University, Hong Kong. Selain
menyelesaikan tugas-tugas kuliah, Heni juga makin produktif menulis. Selama 6
tahun di Hong Kong, ia menulis lebih dari 17 buku dan puluhan tulisan lain yang
dipublikasikan di berbagai media, baik di Hong Kong maupun Indonesia. Heni juga
mengisi waktu liburnya dengan mengajari teman-teman TKI lainnya. Ia rutin
membawa koper buku ke tempat kumpul teman-teman sesama TKI. Heni mengajak teman-teman
TKI itu untuk membaca buku agar mindset
mereka berubah. Ia selalu mengatakan, jangan mau menjadi TKI seumur hidup, tapi
harus punya cita-cita yang lebih besar. Karena tanpa cita-cita dan impian,
seseorang akan menua dengan sia-sia.
Akhirnya, Heni
berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cum laude. Tibalah saatnya ia memenuhi permintaan neneknya dan panggilan
jiwanya menjadi guru. Sebelumnya, Heni sempat bekerja di sebuah bank di Hong
Kong dengan gaji yang besar. Namun, panggilan jiwa untuk kembali ke kampung halaman
ternyata jauh lebih kuat. Sebelum pulang ke kampung halaman, Heni sempat
mengikuti Festival Sastra Internasional di Ubud, Bali. Tulisannya berjudul Surat Berdarah Untuk Presiden mendapat
banyak apresiasi dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Setiba di kampung
halaman, Heni tercekat. Ia menangis sedih. Ternyata kampungnya tidak berubah.
Jalanan tanah gundul yang ia lewati sejak SD pun masih sama. Teman-teman
bermainnya telah menua, punya banyak anak, dan kehidupannya tak lebih baik dari
orangtuanya. Heni lantas berinisiatif membuka perpustakaan di rumah orangtuanya
di kampung. Singkat cerita, setelah dipersunting Aditia Ginantaka, Heni pindah
ke Bogor. Belakangan, ia baru tahu bahwa di sekitar perumahan yang ia tinggali,
ternyata banyak warga yang hidup jauh dari layak. Banyak di antara mereka yang
tinggal di rumah-rumah reyot yang dihuni 2 hingga 3 keluarga. Padahal, satu
keluarga paling sedikit punya 3 anak.
Anak-anak kampung
itu bermain, berlarian bertelanjang kaki dengan baju lusuh bahkan sobek. Kalau
hujan mereka masih memakai payung daun talas. Mereka mengingatkan Heni pada
masa kecilnya. Dan Heni merasa harus melakukan sesuatu. Bersama sang suami,
kemudian ia menggagas Gerakan #AnakPetaniCerdas, sebuah langkah untuk mendidik
dan memberikan pendampingan belajar kepada anak-anak petani miskin. Ia
menerapkan pendidikan fun learning by
doing, sehingga anak-anak petani miskin itu bisa mendapat pengalaman
belajar yang menyenangkan dan memahami kenapa belajar itu penting. Heni selalu
menanamkan bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk memutus mata
rantai kemiskinan.
Gerakan
#AnakPetaniCerdas yang awalnya membantu 70 anak dari 2 kampung, kini telah berkembang
di 7 kampung dengan lebih dari 800 anak. Tak hanya anak petani, tetapi juga
anak asisten rumah tangga, anak TKI, tukang ojek, bahkan anak-anak pemulung. Background kemampuan menulis yang Heni
miliki juga sangat membantu. Heni mulai sharing
gerakan itu di media sosial yang kemudian menggerakkan banyak orang. Banyak
yang datang menjadi relawan, donatur pun kini juga tersebar di 5 benua. Jadi,
sebetulnya menurut Heni, orang baik itu banyak tapi terkadang mereka tidak tahu
bagaimana menyalurkan kebaikan mereka. Dari para donatur itulah, Heni mendapat
bantuan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang ia lakukan. Kini, tak hanya
pendidikan yang menjadi area aktivitas Heni. Ia juga melakukan puluhan
aktivitas sosial lain dan sudah menjangkau ke berbagai kota antara lain Bogor,
Ciamis, Bandung, Banjar, Tasikmalaya, Majenang, Indramayu, Cirebon, Bekasi, dan
Pekalongan.
Heni tak
pernah melupakan jasa Emak, orang yang sangat ia cintai dan kini telah tiada.
Dari beliaulah Heni belajar banyak. Emak orang yang terus mendorongnya untuk
menjadi manusia yang tulus mencintai dan membantu. Emak juga selalu
mendorongnya untuk sekolah dan mengaji, apa pun yang terjadi. Secara tidak sadar,
Emak telah menanamkan pendidikan karakter yang sangat baik. Dari Emak, Heni
menemukan bahwa cinta adalah ratusan, bahkan jutaan hal kecil sederhana yang
terus menerus kita lakukan dan berikan untuk orang-orang yang kita sayangi.
Heni juga belajar bahwa ia tak boleh menyerah dan harus terus sekolah.
Seandainya ia menyerah ketika SD, mungkin ia sekarang sudah menjadi buruh tani
dengan banyak anak. Heni memilih jalan terus bersekolah karena ia tahu jalan itu
ujungnya indah.
sangat inspiratif sekali... :)
BalasHapusPemberdayaan masyarakat desa