Ibu tiga orang
anak ini menyebut dirinya sebagai ‘UGD 24 Jam’. Ia bukanlan perawat, apalagi
dokter. Namun kiprahnya tak kalah mulia dari dua profesi tadi. Yuli Supriati
merupakan relawan yang mendampingi pasien agar mendapat hak-hak dan fasilitas
kesehatan yang semestinya. Setiap hari ia harus selalu stand by. Begitu ada telepon masuk, ia langsung menuju ke rumah
sakit yang disebutkan. Telepon yang dimaksud adalah telepon dari orang-orang,
baik yang ia kenal maupun tidak, yang meminta pendampingan agar bisa mendapat
perawatan kesehatan di rumah sakit.
Kebanyakan
mereka butuh bantuan untuk dicarikan ruang ICU. Seringkali, pasien memang tidak
terlayani dengan baik, terutama di ruang UGD. Meski kondisinya kritis, tapi
terkadang tak bisa cepat ditangani dengan alasan ruang UGD penuh. Selain kasus
seperti itu, kebanyakan orang yang meneleponnya juga sedang dalam keadaan kalut
atau bingung. Mereka peserta BPJS, tapi saat di RS dikatakan bahwa
kepesertaannya tidak berlaku. Atau ada keluarga yang sakit, tapi mereka tak
punya uang, bingung harus bagaimana. Oleh karena itu, Yuli bertekad teleponnya
memang tidak boleh mati, harus stand by
terus, seperti halnya UGD 24 jam. Ia pun kerap dihubungi orang selepas tengah
malam. Ada yang telepon pukul 01.00-02.00 dinihari. Kadang ia yang baru tidur
15 menit, tiba-tiba ada telepon masuk dari orang yang melapor sedang berada di
RS, tapi tidak mendapatkan tempat di UGD, lalu minta tolong dicarikan tempat di
UGD RS lain. Biasanya Yuli akan menanyakan dokumen-dokumen, KTP, Kartu Keluarga
(KK) atau kalau ada, kartu BPJS. Kalau si penelepon tidak membawa, ia akan
meminta anggota keluarga yang lain untuk ambil ke rumah, sembari dirinya
meluncur ke RS tersebut.
Kemudian
semuanya Yuli yang mengurus, mulai administrasi, pendaftaran, sampai memastikan
pasien tertangani dengan baik di UGD. Kalau memang harus dirawat, ia juga
memastikan pasien mendapat kamar. Begitu pasien sudah dapat kamar, barulah Yuli
bisa pulang. Saat ini Yuli memiliki area kerja di seputar daerah Ciledug,
Tangerang, dekat dengan tempat tinggalnya. Tapi tidak menutup kemungkinan juga
ia harus ‘menyeberang’ ke Jakarta. Pasalnya, untuk kasus-kasus berat biasanya
harus dirujuk ke RSCM atau RS Dharmais.
Jiwa suka
menolong itu berawal dari sifat Yuli yang memang mudah penasaran dan selalu
ingin tahu. Misalnya, pernah ada pembantu tetangganya yang mencoba bunuh diri
dengan minum racun serangga. Bila orang lain hanya senang menonton saja, ia
tidak. Ia akan menerobos masuk ke kerumunan, dan mengatakan bahwa korban harus
dibawa ke dokter atau RS. Hal yang sama pun ia lakukan ketika mengetahui
tetangga di belakang rumahnya jatuh sakit. Meski sudah lama tergolek lemah,
namun tak kunjung dibawa berobat. Mungkin mereka memikirkan biayanya. Akhirnya,
Yuli mencoba menolong dengan membawanya ke RS. Tapi, karena waktu itu ia
bertindak sendiri, atas nama pribadi, ia sering kesulitan mencari ruang ICU.
Menurutnya, bila menggunakan BPJS, mencari ruang ICU di RS memang ibarat
mencari jarum dalam jerami, sangat sulit.
Dua hari mencari
ruang ICU di seluruh RS di Tangerang, Yuli tak kunjung berhasil. Akhirnya, ia
dikenalkan dengan Dewan Kesehatan Rakyat, organisasi yang isinya para relawan
dan bisa mencarikan ruang ICU. Dari situlah, Yuli langsung tertarik bergabung.
Hal ini sangat bagus baginya, dan Yuli ibaratkan seperti panci yang bertemu
penutupnya. Yuli yang memang suka menolong pasien, akhirnya menemukan wadah
yang tepat untuk melakukan misinya, dengan masuk ke DKR. Di sana ia juga
mencoba beraudiensi dengan pihak-pihak terkait seperti dinas kesehatan, Pemkot
Tangerang, dan sosialisasi ke masyarakat. Perempuan yang pernah berdemo di
depan kantor BPJS Pusat ini menjelaskan, DKR adalah lembaga masyarakat nasional
yang dibentuk Menteri Kesehatan era Presiden SBY, Siti Fadilah Supari. DKR
bertujuan agar kalau kita sakit, untuk biaya berobatnya tidak usah harus sampai
menjual rumah atau kendaraan. Karena pemerintah punya anggaran untuk biaya
kesehatan masyarakat, tapi memang hanya di RS tertentu. Sayangnya, informasi
itu tidak sampai ke masyarakat. Kadang, pihak Puskesmas juga tidak memberi
tahu. Dan orang jarang pula yang tahu bahwa sebenarnya mereka punya hak di situ
karena membayar pajak.
Masuk DKR
bukan berarti perjuangan Yuli jadi mudah. Ia justru menemukan banyak kasus yang
rumit. Ia pernah menangani seorang ibu yang sakit kanker paru-paru namun
ditolak oleh tiga RS di Jakarta Timur. Ibu tersebut kemudian diterima di RS
Persahabatan, tetapi harus masuk ruang ICU. Sementara pihak RS mengatakan bahwa
ICU-nya sedang penuh. Hal seperti itu sudah sangat sering Yuli jumpai. Setelah
mencari sana-sini, dapatlah ICU di sebuah RS di kawasan Kuningan, Jakarta
Selatan. Ibu itu lalu dirawat di sana selama 10 hari, dan menghabiskan biaya Rp
120 juta. Sedangkan si ibu juga harus dioperasi. Untuk membiayai operasi di RS
itu tidak memiliki uang, karena perawatannya saja sudah mahal. Anak lelaki ibu
itu lalu menghubungi Yuli. Yuli pun mengakui bahwa kasus seperti ini sangat
sulit, apalagi untuk penyakit berat. Tapi anak itu terus memohon sambil menangis,
sampai-sampai Yuli pun ikutan menangis. Segera Yuli menghubungi Dinkes DKI
Jakarta. Ketua DKR pun juga mengirimkan SMS ke Gubernur DKI, Basuki Tjahaya
Purnama, agar pasien itu dibantu. Yang jelas, Yuli ingin agar ibu itu bisa
cepat diterima di RS pertama yang menerima BPJS. Esoknya, pasien pun pindah ke
RS Persahabatan dan langsung dioperasi. Biaya perawatan sebesar Rp 120 juta di
RS tadi juga dicover BPJS karena itu
memang sudah haknya.
Kasus lainnya,
Yuli menyebutnya dengan istilah ‘kecebur’. Pasien dengan kartu BPJS harus
dirawat disebuah RS mewah lantaran tak mendapat perlakuan yang layak dari RS
Kabupaten. Ceritanya, pasien itu sudah mendapat tanggal operasi pengangkatan
mioma di rahimnya. Tapi ketika mau dioperasi, mendadak badannya demam. Seharusnya,
demam itu diobati dulu baru dioperasi. Tapi pasien itu malah disuruh pulang
dulu. Dan tentu saja, bila harus pulang dulu maka ia harus memulainya dari awal
lagi, mulai mendaftar, antre dan segala macam. Sampai di rumah pasien ini
semakin parah kondisinya. Karena bingung dan panik, sang suami membawanya ke RS
elit. Saat itu dia hanya punya uang Rp 5 juta, tapi dengan nekat uang itu
dibayarkan untuk DP. Total semua biayanya Rp 30 juta. Suaminya pun kaget dan
menangis saat bercerita kepada Yuli. Suami pasien itu mengatakan bahwa hanya
punya angkot satu-satunya, yang demi kesembuhan istrinya, ia merelakan akan
menjual angkot itu. Yuli pun berusaha menenangkan si suami tadi. Harga angkot
pun pasti belum cukup untuk menutup biaya perawatan di RS elit itu, yang bisa
Rp 100 juta lebih. Akhirnya, Yuli memberanikan diri menghadap direktur RS itu
meminta keringanan biaya. Kemudian pasien itu ia pindahkan lagi ke RS
Kabupaten. Suaminya pun langsung menangis terharu. Menurut perempuan kelahiran
Jakarta, 21 Juli 1970 ini, momen itu adalah salah satu yang paling
membahagiakannya. Rasanya luar biasa. Ia bercerita, kadang ada orang yang
usianya lebih tua darinya, tapi sampai mau mencium tangannya, atau memeluknya.
Mereka sangat berterima kasih karena merasa terbantu. Dan menurut Yuli,
ternyata memang tidak perlu menjadi seperti artis di tayangan TV, yang bisa
dipeluk setelah membantu orang lain.
Meski
menghadapi berbagai masalah di UGD dan rumah sakit, Yuli mengaku senang
melakukannya. Ia dan rekan-rekannya di DKR memiliki moto, pantang pulang
sebelum sembuh, atau kalau pulang harus sudah tinggal nama. Jadi, bila membawa
pasien, sesulit apa pun, harus ia tembus untuk mendapatkan hak-haknya. Kendati
demikian, Yuli merasa usahanya akan sia-sia jika pemerintah tak segera berbenah
diri. Contohnya, soal sosialisasi UU Rumah Sakit yang masih belum banyak
diketahui oleh masyarakat. Misalnya, bayi yang lahir dengan cacat bawaan,
praktis semua biaya ditanggung pemerintah. Dan orang banyak yang belum tahu
soal itu. Belum lagi, perihal penanganan pasien di UGD yang selama ini tak
sesuai dengan UU RS. Jika sesuai dengan UU, di UGD kita punya waktu 8 jam untuk
ditangani tanpa ditanya mau membayar pakai apa ? Karena memang tidak boleh
bicara soal uang di UGD. Yuli membayangkan UGD di Amerika Serikat, yang
menurutnya sangat keren sekali. Saat pasien didorong, semua dokter akan
mengerubuti dan menangani. Sementara di sini, tidak begitu. Begitu masuk UGD,
diminta daftar dulu, lalu ditanya soal mau membayarnya pakai apa ?
Yuli juga
mengaku iri jika mendengar berita tentang rumah sakit yang didirikan tim
Indonesia di daerah berkonflik di luar negeri. Di jalur Gaza, Indonesia
mempunyai RS yang begitu besar. Di Nepal, tim rescue Indonesia berada di nomor dua terbesar setelah Inggris. Itu
tentu dengan dukungan tim medis dan obat-obatan yang luar biasa komplet. Jadi,
miris sekali bila kita bisa berkembang sebegitu besarnya di dunia, tapi di
dalam negeri sendiri, masih ada pasien yang tidak diurusi. Umur memang ditangan
Tuhan, tapi paling tidak, ia sudah maksimal mengusahakan, dan memanusiakan
pasien. Yuli juga tidak ingin, jangan karena mentang-mentang kondisinya sudah
seperti ini, maka akan terus begini-begini saja. Ia memberikan semangat untuk
mau berubah. Oleh karena itu ia sering menghimbau agar aparat pemerintah mau
turun melihat ke UGD-UGD, agar tahu apa yang mesti dibenahi. Yuli yang selalu
menggunakan sepeda motor untuk mobilitasnya ini pun, senang karena kiprahnya
selama ini mendapat dukungan penuh oleh suami dan anak-anaknya.
0 komentar:
Posting Komentar