Terlahir
dengan nama Sonta Leonarda boru Situmorang, asal Dusun Huta Raja, Desa Lumban
Suhi-suhi, Kecamatan Pangururan, Samosir, Sumatera Utara, perempuan kelahiran
15 April 1954 ini lebih suka disapa dengan Ompu Valentina (neneknya si Valentina)
boru Situmorang. Sejak belia, ia sudah mendedikasikan dirinya untuk tenun ulos.
Niat untuk mempertahankan salah satu kebudayaan Batak itu tak pernah padam,
hingga kini, meski ia mengaku sedang dilanda kegundahan.
Lugu dan
sederhana, nampak terlihat pada kehidupan janda dengan satu anak dan dua cucu
ini. Padahal, ia adalah ‘mutiara’. Sang Empu pembuat ulos yang kini kian langka
di Tanah Batak. Kegiatan menenun ulos dikenal Ompu Valentina secara turun
temurun dari ibunya, Mahanna boru Simarmata. Demi menenun ulos pula, ia harus
melepas keinginannya untuk mencicipi pendidikan yang lebih tinggi, dan
merelakan abangnya yang terus melanjutkan sekolah. Jadilah, Ompu Valentina
harus puas hanya mengecap pendidikan sampai kelas 1 SMP. Selanjutnya, sang ibu
membimbing Ompu Valentina menenun ulos sejak usia 15 tahun. Sang ibu pun tak
salah pilih. Ompu Valentina semakin mencintai pekerjaannya sebagai penenun
ulos, meski teman sepermainannya menjauh.
Menurut Ompu
Valentina, ulos adalah warisan orangtua dan ciri khas orang Batak yang
selayaknya dilestarikan hingga ke anak cucu. Ompu Valentina pun juga mahir
menjelaskan filosofi yang terkandung dalam setiap motif pada kain yang biasanya
dibuat dari benang tiga warna, yakni hitam, putih, dan merah itu. Ia juga
sangat paham kegunaan setiap ulos serta proses membuat sehelai ulos berikut
peralatannya yang dipakai. Ada 11 tipe ulos Batak. Semuanya sudah pernah ia
buat, di antaranya tipe Mangiring, Suri-suri Ganjang, Bintang Maratur,
Harangguan, Bolean, Ragi Idup, Sibolang, Sadum Angkola. Berbeda tipe ulos,
berbeda pula makna dan penggunaannya. Ulos tipe Mangiring, misalnya, diberikan
seorang kakek kepada cucunya yang menikah, dengan harapan agar segera punya
anak. Kain ulos itu pula yang nantinya akan dipakai untuk menggendong bayi yang
lahir. Romantis sekali dan sarat dengan ikatan kekeluargaan yang indah. Dan
dari semua jenis ulos yang tadi disebutkan, hanya tipe Ragi Idup yang paling
sukar pembuatannya. Proses menenunnya harus sampai tiga kali.
Ompu Valentina
bercerita, ia mempunyai kenangan manis sekaligus kebanggaan yang tidak
terlupakan selama hidupnya sebagai penenun ulos saat didatangi seorang pastor
yang memintanya untuk menenun sebuah ulos yang akan diberikan kepada Paus
Johannes Paulus II menjelang kunjungan kenegaraan ke Indonesia, Oktober 1989
silam. Tentu saat itu ia sangat senang, walau agak bingung menentukan ulos
seperti apa yang kira-kira pantas untuk Paus. Karena memang tidak bisa
sembarangan. Ia pun berdoa dulu sebelum menentukan tipe ulos. Akhirnya, ia
memilih Sadum Angkola, karena paling anggun dan pemakaiannya lebih umum dibanding
tipe ulos lainnya. Warnanya hitam dengan kombinasi merah hati.
Ulos sepanjang
3 m dan lebar 80 cm itu dikerjakannya selama dua bulan dan selesai dua minggu
sebelum kedatangan Paus di Indonesia. Bagi Ompu Valentina, karyanya itu
merupakan ulos terbaik yang pernah ia buat serta paling lama pengerjaannya.
Kegembiraannya memuncak saat menyaksikan sendiri Paus mengenakan ulos
bertuliskan Ad Multos Annos buatannya
saat memimpin Misa Agung di Medan, 13 Agustus 1989 silam. Ulos itu sekarang menjadi
koleksi Sri Paus, dan masih disimpan di Museum Vatikan.
Ompu Valentina
semakin menekuni tenun ulos sepeninggal sang suami, Kamis Naibaho, pada
pertengahan 1980-an. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia menggarap sebidang
tanah yang ditanami padi dan memelihara dua ekor kerbau. Memulai aktivitas
menenun ulos sejak pagi, ia baru berhenti menjelang tengah malam. Ompu
Valentina hanya berhenti menenun sejenak saat memasak, makan, hari Minggu, atau
membersihkan rumah. Perempuan yang juga aktif berorganisasi dan di gereja
sebagai pemimpin lagu ini pun masih menempati rumah Batak peninggalan
orangtuanya yang tak jarang dijadikan sebagi tempat pertemuan bersama 20
rekannya sesama penenun ulos tradisional di Lumban Suhi-suhi, yang tergabung
dalam Kelompok Penenun Ulos Santo Yosef. Mereka bisa saling berbagi cerita
susah dan senang, agar tetap ada yang mencintai budaya seperti menenun ulos.
Kalau mendapat pesanan ulos dalam jumlah besar, misalnya saat Vicky Sianipar
memesan 100 helai ulos, mereka membagi-bagi pekerjaannya.
Bagi Ompu
Valentina, upaya berkelompok ini, yang tadinya merupakan gagasan salah seorang
pastor di gerejanya, lambat laun menjadi obat untuk mengatasi kegundahan di
benaknya. Ompu Valentina mengaku cemas, ulos tak lagi sakral seperti
sebelumnya. Semakin banyak ulos yang dibuat dengan mesin sehingga ulos makin
mudah didapat. Bahkan, orang Batak sendiri semakin banyak yang meninggalkan
ulos, termasuk untuk menggendong anak. Kini, ulos digantikan alat gendong
buatan luar negeri. Ini juga membuat penghasilannya ikut menurun. Kalaupun ada
yang memesan ulos yang mahal, keuntungan bersihnya hanya setengah dari harga
ulos. Karena harga benang dan pewarna ulos memang sudah mahal. Alhasil, keuntungan
yang didapat merupakan upah kerja paling tidak selama 3 minggu. Dalam sebulan
praktis ia hanya mengerjakan satu ulos. Sementara harga ulos di Lumban
Suhi-suhi rata-rata berkisar Rp 5-7 juta, tergantung jenis dan tingkat
kesulitannya. Kenyataan itulah yang
membuat minat generasi muda di Lumban Suhi-suhi terhadap tenun ulos semakin
meredup. Mereka lebih suka pekerjaan yang cepat mendapatkan uang. Membuat ulos
pun asal jadi, tanpa memikirkan budaya. Itu membuat Ompu Valentina semakin
khawatir pada nasib ulos. Kegiatan menenun ulos secara tradisional bisa-bisa
tinggal cerita saja bagi anak cucu.
Kini, selain
berbagi dengan kelompoknya, Ompu Valentina menjalin kerja sama dengan desainer
Merdi Sihombing, mengajari kaum perempuan di Lumban Suhi-suhi cara berkreasi
membuat ulos. Hasilnya mulai sedikit melegakan Ompu Valentina. Kalau dulu ulos
dikenakan dalam bentuk selendang dan sarung, dan digunakan pada upacara adat
Batak, kini ulos banyak dijumpai dalam bentuk suvenir, ikat pinggang, tas,
dasi, gorden, dan taplak meja. Ompu Valentina juga tidak pernah bosan
menjelaskan setiap simbol dan warna ulos kepada kaum muda. Tujuannya agar
mereka tidak asal menenun ulos. Paham makna tentu akan mendorong mereka lebih
mencintai ulos dari sekadar mementingkan uang.
Ompu Valentina
kini juga sering tampil sebagai narasumber dalam seminar untuk menjelaskan
makna dan jenis ulos. Sepak terjangnya yang demikian gencar memasyarakatkan
ulos diam-diam dipantau oleh warga lain di Lumba Suhi-suhi. Rupanya, para warga
memperhatikan kehidupannya, yang cuma menenun ulos, tetapi bisa hidup layak. Sejak
saat itu, warga yang tadinya sudah enggan menenun, kini mulai menggelar alat
tenun dan menenun ulos di rumahnya masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar