Sabtu, 16 April 2016



Bidan desa kelahiran Nganjuk 6 Agustus 1972 ini sempat mendapatkan beberapa penghargaan. Sejak tahun 1992, dia memang sudah mengabdi dan bertugas di Poliklinik Desa (Polindes) Ploso, Kecamatan Tegalombo, Pacitan, Jawa Timur. Di sana sehari-hari ia melayani warga desa yang butuh pertolongan kesehatan. Selain itu Siti juga membuka klinik di rumahnya. Jadi bisa dibilang ia selalu siap standby 24 jam untuk melayani warga. Kebetulan lokasi Polindes dekat dengan pasar, jadi selalu ramai di kunjungi saat hari pasaran Wage dan Legi. Di Polindes itu pula ada beberapa kegiatan yang juga ia lakukan, seperti Posyandu untuk lima dusun, Posyandu lansia, dan juga kelas hamil.

Siti mengaku punya banyak motivasi untuk menjadi seorang bidan. Yang pertama, berdasarkan pengalaman buruk yang pernah dialami ibunya. Siti adalah anak ke 4 dari 8 bersaudara dari keluarga petani yang kurang mampu. Saat ibunya hamil, beliau hanya mampu meminta pertolongan seorang dukun. Karena itulah empat kali ibunya sempat mengalami keguguran, bahkan sempat pula mengalami pendarahan hebat dan hampir kehabisan darah sampai akhirnya dirujuk ke rumah sakit di Surabaya. Itu terjadi saat Siti masih duduk di bangku SMP. Siti mengingat betul, saat itu untuk melahirkan saja ibunya harus susah payah mencari ayahnya ke tempat judi. Dari pengalamannya yang cukup ngenes dan memprihatinkan itulah, Siti bertekad untuk menjadi seorang bidan, agar tidak semua wanita bernasib seperti ibunya.


Menjadi bidan sepertinya juga sudah nasib dan garis tangannya. Meski kondisi keuangan keluarganya tidak mendukung, tetapi ternyata jalan Siti untuk menjadi bidan dimudahkan. Setelah lulus SMA, ia sempat bingung mau meneruskan sekolah atau tidak. Untungnya, saat itu sedang banyak program bantuan dari Bank Dunia dan promosi sekolah keperawatan. Siti pun memilih untuk mencoba tes di SPK Celaket, Malang. Dari 7 orang teman yang berangkat bersama naik bus, hanya ia yang lulus tes dan akhirnya bisa sekolah di SPK itu tahun 1989. Untungnya itu adalah sekolah negeri jadi tidak banyak uang yang harus dikeluarkan. Selama sekolah di sana, Siti hanya mendapat uang saku ala kadarnya, namun baginya tak masalah asalkan ia bisa terus sekolah dan lulus.

Selama tiga tahun sekolah, Siti terus termotivasi untuk bisa menjadi orang yang sukses dan mampu mengangkat derajat orangtuanya. Setelah lulus tahun 1991, ia mendengar pengumuman bahwa pemerintah tengah menggalakkan program bidan masuk desa. Siti ingat betul, saat itu ia dan teman-teman sekolahnya dikumpulkan di aula, lalu ada pihak pemerintah yang datang dan menjanjikan akan memberikan beasiswa untuk meneruskan sekolah bidan, dan setelah lulus akan langsung ditempatkan di desa pelosok sebagai pegawai negeri. Siti pun langsung mengikuti tes agar bisa kembali melanjutkan Program Pendidikan Bidan (P2B). Dan ternyata dua tahun kemudian ia bisa lulus dengan predikat lulusan terbaik. Lulus dari program P2B, ia sempat magang di rumah sakit umum Celaket selama 4 bulan dan mendapatkan orientasi selama 3 bulan. Setelah SK-nya turun, ia langsung mendapat penempatan.

Sebelumnya ia mendapat surat panggilan dari Departemen Kesehatan Provinsi agar seluruh lulusan P2B berkumpul untuk diundi menentukan di mana akan ditempatkan, di daerah pelosok Jawa Timur. Karena lahir dan besar di Nganjuk, tentu Siti ingin bisa bekerja di luar Nganjuk. Tapi ia juga tak ingin jauh-jauh dari Nganjuk agar bisa tetap membantu ibu dan adik-adiknya. Harapannya saat itu ia bisa ditempatkan di Madiun atau Ponorogo. Siti mengaku saat itu sempat gelisah karena takut akan ditempatkan jauh dari keluarganya. Ia lalu mendengar info bahwa kepala kantor departemen kesehatan (alm) Dr Bagyo, adalah orang asli Nganjuk. Ia pun memberanikan diri untuk menemui dan meminta saran. Saat itu ia ceritakan pula keadaan keluarganya. Dan, berkat pertolongan Tuhan, almarhum ternyata iba dan membantunya memilihkan lokasi desa yang terhitung cukup dekat. Dan benar saja, akhirnya ia dapat ditempatkan di Desa Ploso, yang berada di ujung Pacitan, berdekatan dengan Ponorogo. Dan sejak tahun 1992 Siti pun mulai mengabdikan diri di desa itu.

Karena sejak awal memang sudah dibekali bakal ditempatkan di daerah pelosok yang belum memiliki tenaga medis, jadi ia sudah tahu risiko yang akan dihadapi. Misalnya lokasi yang terpencil, terisolir, akses jalan yang tidak mudah, warga yang belum kenal dengan tenaga medis, dan harus berhadapan langsung dengan para dukun sebagai alternatif pengobatan tradisional. Desa Ploso ini memiliki 5 dusun yang daerahnya cukup menantang. Berbukit dan bahkan rata-rata rumah wargnya berada di puncak gunung. Dulu kendaraan sepeda pun jarang ditemui, apalagi motor. Maka kemana-mana harus berjalan kaki. Jadi, di 10 tahun pertama, setiap usai membantu warga yang melahirkan ia harus menginap. Dan itu pun ia juga masih harus berhadapan dengan para dukun dan dukun bayi yang biasanya sudah datang terlebih dahulu. Pernah pula, Siti harus berkumpul bersama dukun ketika harus membantu melahirkan. Saat itu ia hanya menekankan, tidak boleh ada ibu atau bayi yang meninggal saat melahirkan. Tapi, ada satu pengalaman yang tidak bisa Siti lupakan dan akhirnya mampu mengubah cara warga memandangnya sebagai tenaga kesehatan.

Sebelumnya, warga terbiasa baru memanggilnya kalau keadaan sudah gawat. Misalnya, ibu yang mau melahirkan pingsan, sesak napas, atau pendarahan hebat. Tahun 1993, ia sempat dipanggil untuk membantu salah satu warga yang akan melahirkan anak kembar, namun saat itu si ibu mengalami pendarahan hebat. Dukun yang berkumpul saat itu sudah banyak tetapi semuanya menyerah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Siti pun segera memberikan pertolongan. Dan syukurnya berhasil. Ibu dan bayinya selamat, dan si ibu juga tidak perlu dirujuk ke rumah sakit terdekat. Sejak saat itu banyak yang mulai membicarakannya. Perlahan Siti pun mulai melakukan pendekatan kepada warga supaya bisa dekat ke tenaga medis dan mengenal kesehatan.

Memang karena termasuk orang baru, ia tidak langsung mendapat kepercayaan dari warga. Siti mulai melakukan pendekatan dengan langkah yang sederhana, misalnya bila menemui warga yang menderita batuk atau pilek, yang sebelumnya hanya mengandalkan suwuk-suwuk, ia mulai perkenalkan dengan obat. Ibu hamil pun diajak rutin memeriksakan diri. Intinya, ia terus berkeliling dan melakukan pendekatan secara personal kepada warga. Ia juga mengedukasi warga bahwa ibu melahirkan itu memiliki hak untuk hidup dan nilai sosial. Jadi tidak hanya dibiarkan terus melahirkan begitu saja. Ibu hamil juga harus dicarikan tenaga kesehatan, diperlakukan dan ditangani dengan baik. Sampai sekarang pun peran bidan masih menjadi ujung tombak kematian ibu dan anak. Mau ada banyak resiko apa pun, tangan bidan itulah yang akan membantu ibu dan anak.

Namun Siti juga tidak begitu saja menolak kehadiran dukun dan dukun bayi. Justru ia ajak para dukun dan dukun bayi itu untuk bekerja sama. Pelan-pelan, ia berikan mereka pengertian bahwa dirinya pun sebetulnya juga dukun tetapi statusnya dukun milik negara yang harus memastikan keselamatan ibu dan anak. Bedanya, kalau terjadi apa-apa dengan ibu yang melahirkan, ia akan menghadapi tuntutan penjara dan mempertanggung jawabkannya kepada negara, sedangkan para dukun itu tidak. Siti juga sering membagikan informasi kepada dukun dan dukun bayi, misalnya kalau ibu habis melahirkan jangan langsung disuruh mandi, atau kalau mengalami pendarahan jangan disuruh berdiri. Pernah, agar bisa bekerja sama dengan para dukun dan dukun bayi, mereka dikumpulkan dalam satu acara. Saat itulah, ia menyampaikan bahwa sebagai bidan ia tidak bisa setiap hari datang untuk memandikan bayi. Jadi kehadirkan para dukun itu tetap dibutuhkan. Sementara bagian membantu proses melahirkan biarlah bidan yang menangani. Untungnya, waktu itu sekitar 25 dukun dan dukun bayi yang hadir sepakat dan mau bekerja sama.

Awal 2010, Siti mencoba mencari cara untuk menekan kematian ibu dan bayi. Rata-rata kasus yang ia temui, para calon ibu ini masih berumur 15 atau 16 tahun, hamil di luar nikah, dan sebagainya. Ia lalu terpikir untuk memberikan edukasi lewat kelas hamil. Inisiatif ini terlempar saat ada pertemuan dengan Pak Lurah serta tokoh masyarakat. Pada kesempatan itu, Siti menyampaikan keinginannya agar semua ibu hamil datang setiap Selasa Pahing ke Polindes untuk memeriksakan kehamilan dan mendapat semua informasi tentang kehamilan. Ia pun juga bisa terus memantau perkembangan kesehatan mereka. Sengaja ia pilih hari Selasa Pahing untuk menyesuaikan dengan jadwal pasar tutup dan mereka tidak berjualan, agar bisa lebih fokus. Dan, saat akhirnya mereka datang, mereka pun juga tidak perlu membayar, malah ia menyediakan camilan sehat dan diberikan ilmu bagaimana menjaga kehamilan. Akhirnya, makin lama makin banyak yang rutin datang.


Setelah berjalan lima tahun, hampir semua ibu hamil sudah tahu kelas hamil. Para suami juga rutin mengantarkan untuk kontrol dan ikut menjaga kehamilan sang istri. Kegiatan lain di Polindes pun juga bertambah banyak. Mulai menonton video senam hamil, praktik, atau menonton informasi penting lainnya. Hal itu juga berkat bantuan sponsor yang tidak sengaja ia dapatkan. Suatu ketika di tahun 2011, Siti bertemu salah satu sales perusahaan farmasi dan diberitahu tentang sebuah kompetisi program. Ia lalu coba mengikuti dan mengirimkan proposal kegiatan kelas hamil yang sudah ada sejak awal tahun 2010. Ia sampaikan bahwa melalui kelas hamil ia ingin menekan angka kematian ibu dan bayi serta memberikan edukasi kepada warga. Beruntung, ia berhasil menang dan mendapat dana Rp 10 juta. Dana itu lalu ia belikan perlengkapan untuk kelas hamil seperti teve, video, hingga konsumsi bagi peserta kelas hamil.

Sejak memenangi kompetisi tersebut, banyak yang datang melihat program kelas hamil yang ia lakukan. Bahkan, sampai sekarang kelas hamilnya menjadi percontohan bagi tempat lain. Dari program inilah, Siti kembali mendapatkan penghargaan Srikandi Award tahun 2012. Dari sini, namanya pun semakin dikenal oleh media dan beberapa kali diwawancarai media nasional. Ia juga mendapat penghargaan Bidan Teladan dari Dinas Kesehatan Pemkab Pacitan tahun 2014 dan Piagam Penghargaan dari Bupati Pacitan sebagai Juara 1 Bidan Teladan Kabupaten Pacitan 2014.


Siti juga beruntung memiliki suami yang sangat mendukung aktivitasnya. Sejak menikah tahun 1993, Suhardiyanto, suaminya, terus memberikan dukungan. Ia juga bersyukur dikaruniai tiga anak yang patuh-patuh, Chandra Ardiansyah, Rizal Nurdiansyah, dan Amelia Ardiana. Semua anaknya ia bebaskan untuk menjadi apa saja, asal bisa bermanfaat bagi orang banyak. Ketiga anaknya pun tidak pernah menuntutnya untuk memberikan waktu lebih banyak karena sudah tahu 24 jam waktu ibunya milik warga untuk membantu melayani kesehatan.

Saat ini Siti juga tengah fokus melakukan pengkaderan bidan-bidan baru. Ia menerima dengan tangan terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar menjadi bidan. Kliniknya terbuka untuk praktik. Ia ingin warga semakin sadar tentang pentingnya menjaga kesehatan dan paham akan kesehatan reproduksi supaya tidak ada lagi kasus ibu hamil di usia dini.



1 komentar:

  1. Saya ingin berbagi cerita kepada anda bahwa dulunya saya ini cuma seorang.
    penjual es kuter kelilin tiap malam. pendapatannya tidak seberapa dan.
    tidak pernah cukup dalam kebutuhan keluarga saya,, suatu hari saya dapat.
    informasi dari teman bahwa AKY GENDENG bisa memberikan angka ritual/goib.100% tembus.
    akhirnya saya ikuti 4D nya dan alhamdulillah memanG bener-bener terbukti tembus.
    saya sangat berterimakasih banyak kpd AKY GENDENG.atas bantuan AKY saya sekarang.
    sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya bahkan saya juga sudah buka.
    usaha matrial dan butik pakaian muslim.
    Jika anda mau buktikan
    silahkan bergabun sama AKY GENDENG
    Di:
    No: tlp.0853-1089--8585
    Saya sudah buktikan benar2 tembus 3x permainan

    BalasHapus