Ibu tiga anak
ini memiliki tugas berat dan profesi yang jarang dilakoni perempuan pada
umumnya. Dialah Endang Istriningsih, Kepala Kantor Pemadam Kebakaran (Damkar)
Wonogiri. Hebatnya, perempuan kelahiran Surakarta 19 Desember 1958 ini justru
memajukan Damkar lewat hobi seninya. Tak ayal, banyak prestasi yang diraih atas
kesuksesannya menjadi pemimpin untuk menanggulangi bencana kebakaran di kota
Wonogiri.
Endang sendiri
mengaku sebenarnya tidak pernah membayangkan bisa bergabung dengan tim Damkar,
karena amat jauh sekali dengan minatnya di bidang seni dan tari. Tapi setelah
menjalani masa tugasnya di Damkar ini, ternyata ia merasa di sinilah pekerjaan
yang paling bisa dinikmati hingga nanti pensiun. Sebelumnya, Endang bertugas
selama 22 tahun di Kantor Pembangunan Desa. Kemudian dipindah ke Inspektorat
atau dulu yang dikenal sebagai Badang Pengawas selama 5 tahun, sejak 2003
hingga 2008. Selain itu ia juga pernah mencicipi kurang dari 2 tahun berada di
Dinas Olahraga dan Pariwisata Budaya. Di sini sebetulnya ia seperti mendapatkan
angin segar, karena mendapatkan beberapa kesempatan di bidang seni. Ia pernah
ikut main sinetron, bermain ketoprak, mengikuti lomba putri lurik, sampai
menjadi langganan sebagai juri dalam beberapa lomba seni dan budaya tingkat
kabupaten.
Namun, saat
sedang merasakan nikmatnya berada di dunia seni, ternyata ia diminta bertugas
di Kantor Damkar. Hal ini tentu membuatnya kaget, bahkan juga teman-temannya,
terutama yang tahu tentang prestasi di kegiatan seni dan tari yang ia tekuni.
Tapi setelah dijalani banyak hikmah yang ia dapatkan. Ternyata, kantor Damkar
pun juga butuh mendapatkan sentuhan seni melalui dirinya. Karena ia merasa,
dibutuhkan keterampilan juga untuk membuat tim Damkar agar menjadi karyawan
yang tangguh, cerdas, dan terampil. Tentu di awal tugas banyak sekali adaptasi
yang harus ia hadapi. Contohnya, melihat tim yang hanya aktif saat bencana
kebakaran terjadi, selebihnya mereka pasif. Di sinilah ia merasa butuh
memberikan inovasi dan membuat program penanggulangan bencana.
Tentu
prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak kondisi yang Endang
temui amat tidak mudah tetapi harus ia hadapi. Pertama, ia bagaikan berada di
sarang penyamun, karena memang menjadi perempuan satu-satunya yang berada di
Damkar. Ia yang dikenal cukup feminin, akrab dengan dunia seni tari yang lemah
gemulai, tiba-tiba harus berhadapan dengan para maskulin dan tangki air. Namun
hal ini tidak membuatnya gentar ataupun merasa lebih istimewa. Semuanya harus
ia jalani secara profesional. Endang lalu mulai membuat beberapa program inovasi
demi kemajuan tim Damkar. Salah satunya yang ia lakukan adalah mengajukan
program penanggulangan bencana. Agar berpayung hukum dan aman tentu ia juga
harus menyusun atau mengajukannya dalam peraturan daerah. Mulai mengajukan
tahun 2009, dan baru disahkan tahun 2013. Hasilnya pun tak sia-sia. Ia bisa
membuat banyak pelatihan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya
sadar bencana. Kemudian, ia juga membentuk satuan sukarelawan yang berjumlah
kurang lebih 250 orang untuk ditempatkan di 25 kecamatan dan 43 kelurahan.
Sebelumnya ada
pendekatan yang ia lakukan kepada tim Damkar. Pertama, ia harus mengenal semua
anggota tim terlebih dahulu, kemudian ia juga rutin mengadakan rapat tiap bulan
untuk mempresentasikan usulan-usulan kegiatan agar tim tidak jenuh di kantor.
Beruntungnya, tim memberikan respons yang sangat positif dan selalu semangat
saat melakukan aktivitas sosialisasi di luar kantor. Saat sosialisasi itulah
Endang bisa menemukan banyak hal yang harus ia benahi. Misalnya, ia sempat
setengah tak percaya saat berinteraksi dengan warga, ternyata banyak yang tidak
tahu nomor kontak darurat untuk menghubungi Damkar. Selain itu, ada juga di
antaranya yang masih takut dipungut biaya apabila menghubungi Damkar dan tidak
tahu kalau layanan itu gratis atau tak dipungut biaya. Lalu ia juga menemukan
bahwa tidak semua tim anggota Damkar memiliki mapping yang baik di 25 kecamatan. Bahkan ada yang sama sekali
belum pernah mengunjungi beberapa kecamatan dan tidak tahu letak sumber air.
Akhirnya Endang pun segera menjadwalkan mereka untuk mengenalkan diri ke 25
kecamatan secara bergantian dan keliling. Untungnya ia pernah berdinas selama
22 tahun di kantor Pembangunan Desa, sehingga 25 kecamatan itu ia tahu betul
bagaimana kondisi dan potensinya. Agar tim semakin solid, Endang lalu mengajak
mereka mengunjungi tempat wisata terdekat setelah sosialisasi dan memberikan
semangat agar tim semakin termotivasi untuk lebih mengenal daerah-daerah yang
ada.
Hingga saat
ini sosialiasi dan edukasi masyarakat sadar bencana masih terus ditingkatkan.
Dan hasilnya sudah banyak kemajuan. Kini masyarakat mau terlibat dalam
penanggulangan bencana kebakaran dengan menggunakan alat tradisional yang
mereka bisa manfaatkan sambil menunggu kedatangan para tim Damkar. Tak hanya
masyarakat yang akhirnya sadar akan bencana, perkantoran dan perusahaan hingga
rumah sakit pun ikut menjadi target sasaran sosialisasi. Hal ini juga sudah
tertuang di Perda. Di sana Damkar wajib mengawasi dan mengontrol tabung pemadam
yang ada apakah layak atau tidak, juga mengadakan pelatihan dan simulasi.
Sekarang ini permintaan untuk ikut pelatihan tersebut bahkan sudah antri agar
mendapatkan sertifikasi.
Selama
bertugas di Damkar, Endang bercerita tentu banyak menemukan pengalaman yang tak
bisa dilupakan. Misalnya ketika ada kebakaran di tengah kota dan api sudah
menyala di tiga rumah. Saat ia turun ke lapangan, tentu ada teknis dan
strategi, mana yang diprioritaskan agar api bisa cepat dipadamkan. Namun saat
itu semua korban justru heboh memintanya untuk mendahulukan rumahnya
masing-masing. Endang pun harus tetap tegas, karena bila tidak akan semakin
banyak korban kebakaran. Tentu saat itu ada yang marah-marah, tetapi ia
berusaha memahami bahwa mereka memang tengah panik dan kalut. Keesokan harinya,
Endang mendatangi para korban itu untuk memberikan penjelasan mengenai kondisi
dan strategi yang harus dilakukan. Kemudian ia juga memberikan dukungan dan
empati agar mereka tabah menghadapi bencana kebakaran yang tengah dialami.
Selama
bertugas di Damkar tentu banyak suka duka yang Endang alami. Dukanya adalah,
ketika di awal banyak yang meragukan kemampuannya karena dirinya seorang
perempuan. Apalagi Wonogiri memiliki tingkat rawan bencana kebakaran yang cukup
tinggi sehingga timnya harus terus standby.
Saat musim kekeringan dan kemarau panjang misalnya, dalam satu hari saja bisa
dua kali terjadi kebakaran hutan. Endang bahkan sampai terkena paru-paru basah
karena selalu bertemankan dengan asap dan debu, meski kini sudah masa pemulihan
dan tinggal kontrol saja. Sementara sukanya, di sini ia bisa berekspresi lewat
dunia yang jauh berbeda dari yang ia geluti sebelumnya. Di sini pula Endang
bisa mengejar prestasi dan melejit namanya karena semakin mudah dikenal. Dari
semua dinas yang ada yang pernah ia masuki, entah mengapa Endang mengaku
betul-betul bersyukur pernah berada di posisi yang sekarang karena bisa belajar
banyak. Apalagi pekerjaannya ini sifatnya bisa menyelamatkan hidup orang lain
dan menolong orang lain.
Masih ada
beberapa program yang ingin terus Endang lakukan di Damkar ini. Saat ini ia
masih terus menyasar teman-temannya di Dinas Kehutanan dan Babinsa supaya bisa
ikut terlibat dan membantu tim Damkar. Agar semua pihak bisa saling bersinergi
dan tidak hanya menunggu petugas pemadam kebakaran saat terjadi musibah, maka
tentu lebih baik apabila semua elemen bisa ikut membantu. Itulah mengapa
sosialisasi itu sangat penting bagi Endang. Masyarakat memang harus dilibatkan,
karena ia dan timnya mungkin tidak bisa naik ke hutan, tetapi masyarakat yang
akrab dengan hutan dapat membantu. Sementara untuk kebutuhan alatnya, biar jadi
tugas tim Damkar yang menunjukkan dan mengajarkan. Endang pun juga harus mengejar
SPM (Standar Pelayanan Minimal) yang memiliki rumus. Misalnya, untuk
mendapatkan jumlah mobil pemadam, dimulai dengan menghitung jumlah penduduk
dibagi 30 ribu. Dan untuk mendapatkan jumlah petugas pemadam yang dibutuhkan,
rumus menghitungnya adalah jumlah penduduk dibagi 5 ribu jiwa. Semua itu masih
terus ia kejar. Endang juga masih berharap Damkar ke depannya sudah tidak
berupa UPT dan di bawah Dinas PU lagi. Bahkan kalau bisa punya kantor sendiri,
dan punya UPT-UPT sendiri, jadi tidak hanya punya pos wilayah saja, supaya
geraknya bisa lebih luas. Namun ini memang masih terkait dengan kebijakan
daerah dan otonomi daerah.
Endang juga
bersyukur pekerjaannya ini mendapatkan dukungan dari keluarganya. Ketiga anaknya
sudah paham dengan aktifitas ibunya yang memang dikenal tidak bisa diam, dan
mereka pun siap menjadi teman diskusi untuk Endang kapan saja. Saat ini Endang
hanya tinggal satu kota dengan anak keduanya, Yoanna Dewi Listria Sari, sehingga
mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sementara anak pertamanya, Ayiep Doni
Listria Sakti, berada di Bandung dan biasanya mereka bergantian untuk saling
mengunjungi. Lalu yang bungsu, Hengki Listria Adi, saat ini tinggal di
Surabaya.
Di luar pekerjaannya
di Damkar, Endang juga menekuni beberapa bisnis. Karena menurutnya sebagai
seorang perempuan juga harus produktif, mandiri, dan bisa membantu ekonomi
keluarga. Sejak tahun 2003 ia menekuni bisnis salon dan rias pengantin. Ini
karena dulu ibunya memang seorang perias, maka tak heran bila sejak kecil ia
pun sudah akrab bermain dengan makeup.
Saat ini ia hanya bisa mengekspresikan passion-nya
untuk merias hanya di hari Sabtu dan Minggu saja. Kemudian ia juga punya bisnis
konveksi yang baru ditekuni sejak 2013. Menurutnya lagi, berbisnis itu tidak
hanya untuk diri sendiri, maka dengan membuka usaha konveksi ini ia bisa
memberikan lapangan pekerjaan kepada orang lain. Saat ini Endang sudah memiliki
kontrak dengan beberapa sekolah dan dipercaya untuk mengerjakan seragam
sekolah. Untungnya di bisnis ini semuanya sudah terstruktur dan ada bagiannya,
jadi ia tidak terlalu repot dan hanya memantau saja. Sedangkan untuk usaha rias
pengantin, memang harus ia sendiri yang turun tangan. Dan kini Endang juga
sedang berminat untuk mendirikan bisnis EO.
Endang sadar,
masa tugasnya di Damkar hampir habis, maka ia ingin meninggalkan kesan dan program
yang tentunya bisa dilanjutkan oleh penerusnya. Impian ke depannya, bila sudah
purna tugas, sepertinya ia akan lebih banyak menghabiskan waktu di salon dan lebih
banyak merias. Karena ini memang hobi yang sudah sejak kecil ia minati. Selain
itu ia juga jadi bisa lebih fokus mengembangkan bisnis konveksi dan EO yang
akan dirintis. Prinsipnya, di manapun dirinya berpijak, ia hanya ingin bisa
terus produktif dan mengekspresikan kemampuan diri tanpa ada batasan umur. Dan
tentu saja, ia juga ingin bisa menikmati waktu bersama keluarga lebih banyak.
0 komentar:
Posting Komentar