Dua minggu
sekali, ibu tiga anak ini menaiki motor dari rumahnya di Blitar menuju Dusun
Brau, Batu, Malang, Jawa Timur. Tebing tinggi dan jalanan curam sama sekali tak
jadi penghalang mantan TKW ini untuk memberdayakan masyarakat Brau demi
menyelamatkan lingkungan. Wanita hebat ini adalah Yuli Sugihartati. Latar
belakang sebagai sarjana peternakan ia gunakan untuk mendidik warga mengolah
kotoran sapi perah menjadi biogas dan bio
slurry. Biogas bisa digunakan untuk memasak dan penerangan, sedangkan bio slurry, ampas kotoran yang keluar
dari reaktor, setelah diproses bisa dijadikan makanan ternak cacing serta pupuk
organik. Meski tidak dibayar, tapi ia sangat bahagia karena ilmunya bisa
berguna untuk sesama.
Aktivitasnya
bermula di akhir 2013 saat ia diminta LSM Yayasan Alam Bumi Lestari (Yabule)
yang bergerak di bidang konservasi alam serta pemberdayaan masyarakat untuk
mencari kawasan yang lingkungannya mulai rusak dengan jalan memberdayakan
masyarakat untuk melakukan penyelamatan. Dari sekian banyak lokasi akhirnya
dipilihlah Dusun Brau. Lokasinya cukup tinggi, sekitar 1400 mdpl, tepatnya di puncak
kota Batu. Dulunya Brau adalah kawasan yang sangat indah. Selain udaranya sejuk
dan kawasan hutannya cukup lebat, lahan pertanian kentang dan wortel juga cukup
luas. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Pasalnya, masyarakat setempat suka
memotong tanaman untuk dijadikan kayu bakar, baik untuk memasak maupun membuat
perapian penghangat tubuh.
Program
pemerintah dengan memberikan tabung gas kurang efektif mengingat memotong
tanaman sudah menjadi kebiasaan sejak lama. Maka, keadaan yang bisa dilihat
sekarang, kawasan Dusun Brau terlihat gersang dan gundul. Namun tak hanya
kerusakan hutan saja, tapi masih ada hal lain yang tak kalah merusak. Ketika
Yuli memasuki dusun ini, kotoran sapi yang berbau tak sedap berserakan begitu
saja di jalan-jalan. Karena kondisi alamnya bertebing, ketika hujan, kotoran
itu terbawa air dan meluber ke halaman rumah atau jalan di bawahnya. Kotoran
itu berceceran karena para peternak tidak memiliki penampungan, apalagi
pengolahan kotoran sapi. Mayoritas warga Brau memang peternak sapi perah dengan
populasi sangat tinggi. Warga Brau yang hanya terdiri 60 kelapa keluarga, namun
jumlah sapinya sudah mencapai 200 ekor lebih.
Yang perlu
diketahui adalah, kotoran ternak sapi itu memiliki dampak merusak lingkungan yang
sangat tinggi kalau tidak diolah. Gas metan sebagai perusak ozon yang keluar
dari kotoran sapi 60 kali lebih tinggi dari sisa pembakaran yang keluar dari
knalpot motor maupun pabrik. Karena itu, dulu tanah di Brau ini sangat subur. Aneka
tanaman sayur-sayuran mulai kentang, wortel, kol dan sebagainya tumbuh dengan
baik. Tapi setelah air sungai maupun tanahnya tercemar kotoran sapi, kondisinya
sekarang jadi rusak.
Bersama
Yabule, Yuli lalu melakukan pemetaan. Setelah mendapat izin dari aparat desa
setempat, kemudian ditemukan solusi agar masyarakat tidak menebang pohon lagi
sebagai kayu bakar. Caranya dengan mengajari mereka membuat biogas. Dengan
biogas, ada banyak manfaat yang didapat. Masyarakat juga tak perlu mencari kayu
ke hutan serta tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli gas elpiji. Itu
belum termasuk manfaat bio slurry
yang bisa dijadikan pupuk kompos.
Untuk membuat
biogas, tentu dibutuhkan reaktor. Karena reaktor itu sendiri harus dibeli, maka
untuk pengadaan pertama kalinya dicari bantuan dari berbagai pihak, termasuk
uang patungan dari teman-teman LSM. Setelah terkumpul, Februari 2014 barulah
dibeli satu reaktor yang ditempatkan di rumah salah satu warga. Begitu biogas
itu berhasil, masyarakat pun mulai melirik teknologi ini. Tapi, menurut Yuli,
sebenarnya untuk sampai tahap menerima memang tidak mudah. Sebab sebelumnya
sudah ada masyarakat yang membuat biogas tetapi gagal. Mereka kecewa, sudah
menghabiskan uang cukup banyak namun tidak berhasil. Maka yang terpenting
adalah, dengan terus memberikan pemahaman tentang peralihan dari pemakaian kayu
ke biogas demi menyelamatkan lingkungan.
Cara yang Yuli
lakukan adalah dengan melakukan pendekatan langsung ke masyarakat. Ia sering ngopi sambil ngobrol dengan bapak-bapak
di pinggir jalan desa sampai jam 12 malam. Saat itulah ia mulai melakukan
edukasi kepada para bapak-bapak itu. Tentu pendekatannya dengan ‘gaya warung
kopi’ alias tidak formal. Semua itu ia lakukan secara pelan-pelan, hingga akhirnya
bisa diterima. Saat ini di Brau sudah ada 9 reaktor berukuran 6 m3 dan satu
lainnya berukuran 12 m3. Sekarang pun warga sudah mulai sadar sehingga banyak
sekali yang mengajukan dibuatkan reaktor. Bahkan warga rela meski harus
membayar dengan cara mengangsur. Justru kini Yuli dan teman-teman di Yabule
yang kewalahan sebab mereka pun masih berusaha mencari dana bantuan agar
masyarakat tidak terlalu berat. Selama ini masyarakat memang hanya menanggung
setengahnya, sisanya pihak Yabule yang mencarikan dari berbagai lembaga
termasuk BUMN Jasa Tirta yang pernah menyumbang tiga reaktor, dan juga patungan
dari sesama teman-teman Yabule.
Reaktor itu
sendiri memang bukan buatan Yabule. Untuk satu reaktor berukuran 6 m3 harga
sekaligus pemasangannya sekitar Rp 10 juta, dan bisa digunakan untuk dua rumah,
di mana masing-masing rumah bisa memakai pagi-siang-sore/malam selama 3 jam. Setiap
pagi, peternak mengumpulkan kotoran sapi kemudian memasukkannya ke dalam lubang
mirip sumur kecil. Kotoran tersebut lalu dicampur dengan air dengan
perbandingan 1 banding 1. Di atas sumur tersebut ada semacam pengaduk yang
fungsinya mirip seperti mixer untuk
mengaduk kotoran sapi supaya benar-benar hancur. Setelah itu, melalui saluran
yang sudah ada, kotoran dimasukkan ke dalam reaktor yang berupa bejana atau
tabung yang ditanam dalam tanah. Tabung tersebut hampa udara dan ada mikro organisme
yang fungsinya mengubah gas metan menjadi energi. Dari bejana itu ada saluran
pipa menuju dapur dan langsung disambungkan ke kompor masing-masing rumah. Sedang
ampasnya (bio slurry) yang sudah
tidak mengandung gas metan akan keluar dengan sendirinya di saluran yang
berbeda. Sejak berdiri sampai sekarang, berarti Yabule sudah menyelamatkan
ribuan kubik kotoran sapi yang berpotensi merusak lingkungan karena
mengeluarkan gas metan.
Meski
melakukan aktivitasnya di Brau, Yuli sendiri sebetulnya tidak tinggal di situ.
Ia tinggal di Desa Ngaringan, Gandusari, Blitar, Jawa Timur. Jaraknya sekitar
50 kilometer dari Brau. Minimal dua kali seminggu ia ke Brau menggunakan motor.
Kalau tidak ada kegiatan khusus atau sekedar mendampingi warga, biasanya ia
berangkat pagi pulang sore. Tetapi, kalau ada acara yang mengharuskannya menginap,
ia pun terpaksa menginap.
Yuli adalah
tamatan Universitas Brawijaya, Malang. Saat menjadi mahasiswa, ia aktif di
Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (Impala) Universitas Brawijaya. Setelah tamat,
menikah dan punya seorang anak, ia sempat terbentur keadaan ekonomi sehingga terpaksa
menjadi TKW ke Taiwan. Sepulang dari Taiwan, ia hamil lagi dan melahirkan anak
kedua. Setelah itu kembali lagi ke Taiwan dan pulang lagi kemudian menyusul hamil
anak ketiga. Setelah itu, ia pun masih harus kembali bekerja di luar negeri,
tapi kali ini ke Hong Kong. Jadi bila ditotal, ia menjadi TKW selama 13 tahun
dan baru pulang pada tahun 2013 lalu. Setelah di rumah, teman-teman di Impala
lalu memintanya agar ia tak kembali lagi ke Hong Kong dan menawarkan untuk
bergabung dengan Yabule. Setelah sepakat akhirnya Yuli pun bersedia hingga
akhirnya menemukan Dusun Brau sebagai salah satu lokasi konservasinya.
Menempuh
perjalanan mondar-mandir Blitar-Malang dengan melewati medan yang cukup
menantang memang cukup berat. Namun Yuli tetap melakukannya dengan penuh
semangat. Di awal-awal memang ada materi yang ia dapatkan dari sana, tapi
sekarang sudah tidak ada lagi. Ia benar-benar menjadi relawan. Namun dengan
jujur Yuli mengakui, meski tidak mendapatkan materi, ia sangat bahagia karena
bisa berbagi pengetahuan dengan masyarakat tentang bagaimana cara menjaga
lingkungan. Lagipula, tambahnya, masyarakat Brau juga begitu baik menerimanya,
jadi secara batin mereka sudah sangat dekat. Bila Yuli tidak datang karena
sakit misalnya, bapak-bapak warga Dusun Brau bisa berbondong-bondong naik motor
menjenguknya ke rumah di Blitar. Demikian pula bila tahu bahwa ia tidak bisa
pulang atau harus menginap di Brau. Biasanya para bapak-bapak itu akan langsung
kumpul ramai-ramai di rumah kepala desa, tempatnya menginap. Di sana mereka
bisa bebas ngobrol sambil ngopi membahas banyak hal. Dari situlah juga Yuli
bisa menggali apa saja yang menjadi keinginan mereka yang kira-kira bisa diwujudkan.
Dan bagi Yuli momen seperti itu membahagiakan sekali.
Sementara
untuk memenuhi kebutuhan keluarga, saat ini Yuli punya usaha kecil-kecilan. Di
halaman rumahnya yang cukup luas, ia beternak lele. Sang suami, Supardiono Eko
Budoyo, yang menjalankannya. Bila mengulik tentang masa lalunya yang pernah
meninggalkan anak-anak saat menjadi TKW, Yuli mengaku tentu ada masa-masa di
mana hatinya benar-benar terasa pedih. Apalagi saat itu anak-anaknya masih
sangat butuh pelukan ibunya. Namun, semua itu memang harus ia lakukan karena
keadaan. Maka sekarang ini, ia pun berusaha memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin
untuk keluarga demi menebus masa-masa di mana ia pernah berpisah dengan mereka.
Anak
pertamanya, Rilly Putri Wantati, dulu sempat menjadi pramugari di sebuah
maskapai tetapi sekarang alih profesi menjadi entertainer di Jakarta. Sedang anak kedua dan ketiga, Agung Rahmadya
dan Elvira Bekti Kirana, masih duduk di bangku sekolah. Yuli sendiri tidak bisa
menentukan sampai kapan ia akan mendampingi masyarakat Dusun Brau, karena ia
memang sudah terlanjur cinta dengan daerah dan masyarakat di sana.
Saya ingin berbagi cerita kepada anda bahwa dulunya saya ini cuma seorang.
BalasHapuspenjual es kuter kelilin tiap malam. pendapatannya tidak seberapa dan.
tidak pernah cukup dalam kebutuhan keluarga saya,, suatu hari saya dapat.
informasi dari teman bahwa AKY GENDENG bisa memberikan angka ritual/goib.100% tembus.
akhirnya saya ikuti 4D nya dan alhamdulillah memanG bener-bener terbukti tembus.
saya sangat berterimakasih banyak kpd AKY GENDENG.atas bantuan AKY saya sekarang.
sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya bahkan saya juga sudah buka.
usaha matrial dan butik pakaian muslim.
Jika anda mau buktikan
silahkan bergabun sama AKY GENDENG
Di:
No: tlp.0853-1089--8585
Saya sudah buktikan benar2 tembus 3x permainan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerima kasih sudah memuat informasi tentang Dusun Brau dan program pembangunan Biogasnya, informasi terbaru dari Brau saat ini sedang membangun program Ekowisata, Wisata Alam berbasis Masyarakat.
BalasHapusPuncak Pandawa, bukit di ketinggian 1000 mdpl yang lokasinya tidak jauh dari dusun Brau, dari puncaknya pemandangan kota Batu dan gunung terlihat elok menawan baik saat malam hari atau waktu favorit saat terbit matahari atau sunrise.
Mari berkunjung ke dusun Brau, belajar bersama warga tentang Biogas, pengolahan Susu Sapi sekaligus berwisata alam. detail info bisa dilihat di lestari dot org