Perempuan satu ini tak pernah bisa berdiam diri. Bagi Winarsih, perempuan penyandang disabilitas yang dilahirkan tanpa kaki, tak ada kamus menyerah dalam hidupnya. Perempuan kelahiran Wonogiri, 23 Maret 1975, yang akrab disapa Wiwin ini menegaskan bahwa kekurangan bukan akhir segalanya. Dengan ketekunan dan keteguhan hatinya, Wiwin sukses berwirausaha dan membawa produk olahannya diekspor hingga ke Australia dan Jepang. Selain sukses berbisnis handycraft, istri dari Budi Santosa ini juga aktif sebagai motivator. Jabatan sebagai ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia perwakilan Yogyakarta ia jalani selama dua periode. Semua dilakukan Wiwin sebagai aktualisasi diri dan pembuktian bahwa ia pun memiliki kesempatan yang sama seperti perempuan lain.
Wiwin memulai
usahanya sendiri dengan nama Wiens Collections tahun 2001. Sebelumnya ia
mendapatkan pelatihan di YAKKUM dan menjadi pengrajin selama 5 tahun. Selain
itu ia juga pernah 2 tahun ikut kursus menjahit di Wonogiri. Jadi, ia memang
sudah memiliki keahlian. Setelah 5 tahun bekerja di YAKKUM, Wiwin merasa
sepertinya hidupnya terlalu monoton, jadi ia berpikir perlu melakukan
perubahan. Akhirnya, ia memulai membuka usaha kecil-kecilan dari nol, dan
mencoba membuat handycraft. Saat itu
ia benar-benar memulainya tanpa modal. Hanya mengandalkan tenaga dan
keterampilan saja. Bahkan ia diperbolehkan menggunakan mesin pemerintah karena
kebetulan ia membantu memantau penyandang disabilitas yang mendapat pelatihan
di Loka Bina Karya di Kotagede. Karena tidak punya modal dan harus produksi
itulah, ia pun akhirnya mengambil pekerjaan di YAKKUM sebagai pemasukan.
Sistemnya bisa
dikerjakan dari rumah, jadi ia bisa bekerja sekalian memproduksi handycraft buatannya sendiri. Selain
itu, di Loka Bina Karya juga ia mendapat tugas memasak, maka boleh dikatakan di
tahun 2001 itu memang masa-masanya penuh perjuangan. Tubuhnya sampai kurus karena
harus bekerja terus tanpa berhenti. Untungnya, setelah modal terkumpul selama
satu tahun, Wiwin kemudian fokus ke produksi pribadinya. Waktu itu semua
kerajinan tangan ia buat, mulai sarung bantal sofa, baju, tas, pernak-pernik,
pokoknya apa saja yang bisa ia buat dan dijual. Ia pun terus berusaha
mengembangkan usahanya itu selama kurang lebih 6 tahun. Sayangnya, saat di
Yogyakarta terjadi gempa, gedung Loka Bina Karya pun ikut hancur. Jadilah,
Wiwin harus mandiri. Akhirnya ia mengontrak tempat sendiri dan terus
berproduksi. Untungnya ia terbantu saat mengikuti pameran. Ada salah satu buyer dari Jepang tertarik dan minta
dibuatkan 9 sampel kerajinan. Dan ternyata hasil produksinya itu cocok dan
lolos. Akhirnya, sejak tahun 2007 ia mengekspor handycraft ke Jepang sampai sekarang. Ia juga pernah mengirim bak
sampah handmade ke Australia, walau
hanya beberapa kali. Seiring berjalannya waktu, buyer dari Jepang pun ternyata mendapatkan supplier lain di Bali dan akhirnya mengubah permintaan mereka. Wiwin
diminta membuat matras untuk sofa beserta sarungnya.
Wiwin bersyukur,
sampai hari ini ia masih rutin mengirim matras beserta kelengkapan sarungnya ke
Jepang. Setidaknya setiap bulan ia memproduksi 15 matras, sambil mengerjakan produk
lainnya seperti tas, jilbab lukis dan pernak-pernik lainnya. Dulu, ia sempat
memiliki 7 karyawan. Tapi karena sekarang produksi sudah agak menurun,
karyawannya tinggal 4 orang. Tiga orang berada di lingkungan yang sama, jadi ia
memberdayakan ibu rumah tangga yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan.
Satu lagi karyawannya kebetulan juga penyandang disabilitas. Untuk tetap bisa
mendapatkan pemasukan tambahan, ia akhirnya juga membuka usaha jahitan karena
permintaan matras masih terbatas. Jadi tenaganya masih bisa dipakai untuk
produksi yang lain.
Ide membuat
kerajinan biasanya datang ketika melihat dan mengamati tren terbaru. Terkadang,
Wiwin juga membuka internet dan mencoba memodifikasi. Terlebih sejak kecil ia
memang sudah menyukai pernak-pernik. Maka, ketika karyanya ada yang membeli,
itu menjadi motivasi buatnya untuk terus membuat karya yang bagus lagi.
Menekuni bisnis ini menurut Wiwin memang banyak suka dukanya. Yang menjadi
tantangannya adalah bagaimana membuat karyawan tetap bisa ontime mengerjakan tugasnya. Apalagi sistemnya dikerjakan di rumah
masing-masing, jadi kurang bisa dipantau, dan ada saja karyawan yang bekerja seenaknya.
Misalnya, ketika sudah dijadwal untuk menyerahkan karyanya, tapi masih ada saja
yang salah dan harus direvisi. Jadinya, banyak membuang waktu.
Soal pemasaran
juga masih menjadi masalah hingga saat ini. Sebenarnya ia bisa saja memproduksi
apa pun, tapi dengan banyaknya kompetitor, maka pemasaran harus optimal. Dan
ini menjadi kelemahan bisnisnya. Tentu Wiwin akan menyambut dengan sukacita
apabila ada mitra yang ingin bekerja sama dan bisa memasarkan produksi Wiens
Collections. Selain itu, untuk mencari sumber daya manusia sekarang juga tidak
lagi mudah. Biasanya kalau sudah punya kepandaian menjahit, misalnya, nanti lebih
memilih buka usaha sendiri dan tidak mau lagi bekerja di tempatnya. Maka, Wiwin
pun harus bersikap ngemong pada
karyawannya saat ini agar tidak lepas.
Perjalanan
Wiwin dalam mempertahan bisnisnya ini cukup panjang, dan untuk mengembangkannya
juga ternyata bukan perkara mudah. Salah satu yang ia lakukan agar bisnisnya
terus berjalan adalah kepercayaan. Ia sangat menjaga kualitas. Terlebih untuk
matras yang diekspor, ia langsung ikut terlibat menjahit sarung bantal sofanya.
Tidak bisa kalau semuanya dipasrahkan ke karyawan. Wiwin mengatakan, ia termasuk
tipe yang sangat teliti dan tidak kenal kompromi. Jahitan harus rapi, tidak
boleh selisih barang satu senti pun. Buyer
dari Jepang memang suka hasil yang rapi, meski modelnya hanya sederhana. Selain
itu ia juga sangat ketat soal deadline.
Biasanya 3 hari sebelum deadline,
barang harus sudah selesai. Jadi ketika hendak dikirim dan perlu ada revisi, ia
masih memiliki waktu 2 hari. Untungnya saat ini rata-rata semuanya berjalan
lancar dan tak pernah ada yang kembali untuk direvisi. Kebetulan saat di YAKKUM
ia memang digembleng untuk serius dan disiplin soal jasa, dan itu ternyata bisa
juga ia praktikkan pada bisnisnya ini. Beruntung sampai saat ini Wiwin belum
pernah mendapatkan komplain dari buyer-nya.
Selain sebagai
pengusaha, di waktu senggang Wiwin juga kerap diminta beberapa lembaga seperti
Cikal dan lainnya untuk memotivasi penyandang disabilitas dan orangtuanya.
Untungnya, ia juga menyukai aktivitas ini meski hanya di seputaran Yogyakarta. Banyak
juga manfaat yang bisa ia dapatkan saat dirinya memberikan motivasi. Salah
satunya adalah sebagai penambah kekuatan untuk diri sendiri. Bisa jadi refleksi
dirinya bahwa ternyata masih banyak yang terpuruk dan ia ingin bisa
membantunya. Selama menjadi motivator, tentu ada pengalaman yang menyenangkan
dan yang cukup sulit. Salah satu yang paling sulit adalah memberikan motifasi
kepada difabel baru, misalnya para korban gempa. Karena ia difabel dari lahir
sementara mereka baru mengalami, jadi masih banyak yang belum berdamai dengan
hati dan keadaannya.
Biasanya
ketika mereka menganggap Wiwin tidak sama dengan mereka, ia punya jawaban
diplomatis yang bisa menggerakkan mereka. Ia katakan bahwa mereka jauh lebih
beruntung darinya. Paling tidak mereka pernah tahu bagaimana rasanya berjalan, tersandung,
dan berlari sedangkan ia tidak pernah sekalipun merasakannya. Maka mereka harus
tetap bisa bersyukur dan berdamai dengan keadaan. Karena kesuksesan itu tidak
dilihat dari hasilnya tapi dari prosesnya. Setiap kali habis berbagi, membuat
Wiwin harus ingat untuk terus bersyukur. Wiwin bercerita, dirinya bisa kuat
menjalani hari sebagai penyandang disabilitas mungkin karena masa kecilnya
bahagia. Meski orangtuanya hanya petani dan keluarganya termasuk kuno, tapi sejak
awal orangtuanya tidak malu dan minder mempunyai anak sepertinya. Ia bahkan
dibebaskan sampai umur 9 tahun tidak menggunakan kursi roda. Jadi ia berjalan
dengan cara merangkak menggunakan tangan. Dan semua orang desa pun akhirnya
juga terbiasa melihatnya, seakan tidak ada yang aneh dengannya. Akhirnya, Wiwin
pun bisa memiliki kepercayaan diri dan tidak merasa memiliki kekurangan.
Selain itu ia
juga dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Ia tidak pernah di-bully. Dulu, kalau pergi ke sekolah ia
diantar memakai gerobak. Kalau orangtuanya masih di sawah sampai sore,
terkadang yang mengantarnya pulang dengan gerobak adalah teman-teman kelasnya
secara beramai-ramai. Meskipun perjalanannya naik turun dan berbatu-batu sejauh
3 kilometer. Wiwin pun juga bisa masuk ke sekolah umum, bahkan ikut kelas
akselerasi dan berprestasi. Begitu juga saat melanjutkan ke sekolah menengah
pertama. Sayangnya, karena terkendala biaya, ia tidak bisa melanjutkan ke SMA
dan hanya mengambil kejar paket C. Intinya, bagi Wiwin tidak perlu ada yang
disesalkan dan kecewa. Karena ini sudah bagian dari hidupnya dan kalau perlu ia
punya kamus semangat agar bisa ingat terus untuk bersyukur.
Wiwin juga
bersyukur teman-teman di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Yogyakarta
mempercayainya menjadi ketua di organisasi tersebut sampai dua periode. Lewat
wadah ini ia tidak hanya ikut membantu dirinya menyalakan semangat, tetapi juga
berbagi semangat dengan yang lain. Memperhatikan dan mengadvokasi serta
mensosialisasikan hak para penyandang disabilitas dan menyuarakannya lewat
wadah ini. Dan di wadah ini pula ia bisa mengekspresikan diri lewat berbagai
program yang ada. Untuk rencana ke depan, keinginannya yang utama adalah ingin
bisa segera punya lokasi sendiri, tidak harus pindah-pindah mengontrak
sana-sini. Modalnya memang banyak dihabiskan untuk membayar sewa lokasi,
apalagi harga kontrakan juga semakin tinggi. Bila usahanya harus pindah-pindah
terus, maka sudah pasti harus sering memulainya lagi dari nol, dan membuka
pasaran lagi. Inilah yang paling menjadi kendala dan harapannya untuk segera
mendapatkan solusi.
Wiwin berharap
ada teman yang ingin bermitra dan maju bersamanya. Dengan senang hati dan
tangan terbuka ia akan menyambut positif. Selain itu, ia juga ingin
mengoptimalkan pemasaran. Dan yang pasti, Wiwin ingin masih tetap bisa berbagi
semangat dengan menjadi motivator ataupun berkontribusi di Himpunan Wanita
Disabilitas Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar