Ibu empat anak ini sudah menatap laut pada saat banyak orang menepikannya. Ia membentuk lembaga pendidikan nonformal yang mengajar para siswa tentang kelautan dan beragam potensinya. Bukan hanya soal ikan, tapi juga soal terumbu karang, mangrove, rumput laut, dan potensi lainnya. Namun terkadang, ada kegelisahan yang ia rasakan bila berbicara tentang kelautan Indonesia. Ia menyadari, betapa laut kita yang sangat kaya raya, tapi belum maksimal dikembangkan. Ia memberi contoh, saat berkunjung ke Vietnam, di sana melihat terumbu karang sudah bisa dimanfaatkan untuk cangkok tulang punggung. Padahal, Vietnam bukanlah negara yang memiliki terumbu karang terbaik. Beda dengan di Indonesia, terumbu karang belum banyak dimanfaatkan, padahal kita punya kekayaan terumbu karang yang luar biasa.
Nada gelisah
juga terucap ketika ia memaparkan fakta, delta sungai di Brunei Darusalam
menjadi sumber daya minyak yang besar. Padahal, Indonesia juga punya banyak
delta sungai yang luas di beberapa tempat di luar Jawa. Tapi, mengapa tidak
pernah ada yang menganalisis dan mencoba melakukan penelitian tentang
potensinya ? Lagi-lagi masalahnya dikembalikan pada soal SDM. Dan masih cukup
banyak ironi di negeri bahari ini yang dikisahkan Purwanti. Dari kunjungannya
ke berbagai daerah, ia melihat rumput laut belum dikembangkan secara maksimal.
Banyak nelayan yang mengaiz rezeki dengan memanen rumput laut lalu menjualnya.
Tapi anak-anak mereka lebih banyak bekerja sebagai karyawan toko. Purwanti
membayangkan, andai anak-anak nelayan itu mendapat pendidikan yang cukup dan mampu
mengolah rumput laut, pasti mereka bisa menjadi pelaku wirausaha. Sayangnya,
pendidikan tentang potensi laut tidak begitu banyak di sini.
Selain resah
dengan masih belum maksimalnya pengembangan potensi laut, Purwanti juga sedih
melihat generasi muda kurang peduli dengan laut. Bahkan, masyarakat pun masih
memperlakukan laut sebagai keranjang sampah. Ini bisa dilihat, masih banyaknya
orang yang membuang sampah secara sembarangan di sungai. Sampah-sampah itu pada
akhirnya menuju ke laut, dan laut pun menjadi keranjang sampah. Padahal laut
adalah sumber protein masa depan. Berangkat dari kegelisahannya inilah, sejak
2007 silam Purwanti mendirikan Lembaga Pendidikan Bidang Kelautan (LPBK) Bina
Bahari. Kala itu, ia bekerja sama dengan beberapa rekannya. Total ada enam
orang yang memiliki semangat sama, Intinya, ingin memberi pendidikan kepada
para pelajar tentang kelautan.
Menurut
Purwanti, sudah seharusnya pendidikan kelautan diperkenalkan sejak dini kepada
generasi muda. Agar jangan menganggap laut sebagai misteri atau keranjang
sampah. Laut adalah anugerah Tuhan yang luar biasa. Sayang sekali apabila
potensi yang demikian besar ini tidak dikelola dengan baik. Maka, pendidikan
menjadi kunci pembuka tentang penghargaan terhadap laut di masa depan. Perempuan
kelahiran Bogor ini memang tidak memiliki darah pelaut. Namun, kenangan tentang
laut di masa kecil membuatnya mencintai dunia bahari. Purwanti yang mengaku
anak kolong ini mengisahkan, semasa SD pada saat liburan, ia selalu diajak
ayahnya ke tempat tugasnya di pesisir Cianjur. Ayahnya adalah prajurit Angkatan
Udara yang saat itu bertugas di tempat latihan di pinggir laut. Ia pertama kali
diajak ke sana saat kelas 3 SD.
Purwanti kecil
begitu bahagia meski menempuh perjalanan jauh. Untuk menuju ke tempat latihan
sang Ayah, ia harus berjalan kaki selama sekitar lima jam. Biasanya ia dan
Ayahnya memulai perjalanan selepas Isya, dan sampai di sana sudah masuk dini
hari. Namun Purwanti mengaku tidak merasa capek, sebaliknya ia malah senang. Ia
dan Ayahnya berjalan di pinggir pantai, merasakan pasir yang lembut. Ia juga
takjub melihat debur ombak. Dan ketika menatap ke langit, terlihat cahaya
bintang-bintang yang begitu indah. Begitu banyak pengalaman mengesankan
dirasakan Purwanti selama berada di pesisir pantai. Melihat ikan, menyaksikan
perahu nelayan, memandang tumbuhan di sekitarnya, bahkan ia pernah juga melihat
penyu yang bertelur. Dari sinilah, perjalanan menyusuri pantai menjadi kenangan
yang tak telupakan seumur hidupnya. Sambil menikmati liburan, Ayahnya juga
kerap menceritakan tentang pentingnya menjaga lingkungan dan laut.
Eksotisnya
laut membuat Purwanti ketagihan. Sekitar enam tahun Ayahnya bertugas, ia selalu
ke sana setiap kali libur. Tempatnya yang sepi membuatnya nyaman. Purwanti
menyebut perjalanannya itu sebagai liburan murah tapi sangat bermanfaat. Makin
lama, ia pun makin mencintai laut. Meski akhirnya menempuh pendidikan di Teknik
Kimia, Institut Teknologi Indonesia, di kawasan Serpong, Purwanti tidak
melupakan laut. Ia kerap belajar secara otodidak tentang kelautan dengan
membaca buku, jurnal, dan bergaul dengan teman-teman yang mempelajari kelautan.
Bahkan, ia kerap ikut diskusi tentang maritim. Wawasannya pun kian bertambah.
Ia berkata, sejarah membuktikan bahwa penguasaan laut sangat menentukan
kekuatan pertahanan dan keamanan suatu negara. Siapa menguasai laut maka dialah
pemenangnya.
Tamat kuliah
tahun 1993, Purwanti sempat mengajar Kimia di SMA. Selanjutnya, ia juga mengajar
di beberapa perguruan tinggi. Uniknya, di sela-sela mengajar, ia kerap
menyisipkan materi tentang kelautan. Ia menjelaskan bahwa betapa besarnya potensi
laut Indonesia. Akibat memberi materi di luar mata pelajaran, ia pernah
mendapat kritik dari rekan guru. Namun, upayanya memperkenalkan laut tak pernah
padam. Sampai akhirnya di tahun 2007 silam, kepada rekan-rekannya ia
mengutarakan keinginan membentuk lembaga pendidikan nonformal yang mengajarkan
tentang kelautan. Gayung bersambut. Langkah besar pun ia tapaki pada saat
perbincangan tentang laut masih sepi. Lahirlah Lembaga Pendidikan Kelautan Bina
Bahari. Konsepnya adalah lembaga pendidikan nonformal, di mana ia ingin memberikan
kegiatan ekstra kurikuler kepada para siswa tentang kelautan.
Purwanti
memberikan beragam materi mulai dari persoalan laut, penyelamatan, sampai upaya
untuk mengembangkan potensinya. Materi yang ia ajarkan antara lain tentang
pencemaran di laut, potensi pangan dari laut, energi alternatif dari laut,
pariwisata bidang kelautan, kewirausahaan bidang kelautan dan sebagainya.
Purwanti yang mengambil S2 Manajemen Sumber Daya Manusia ini antara lain pernah
mengajar penduduk Kepulauan Seribu di bidang pariwisata. Menurutnya, Kepulauan
Seribu memang potensi laut yang luar biasa di wilayah Pemprov DKI. Itu sebabnya,
meski saat itu Bina Bahari berkantor di Jakarta, Purwanti melakukan kegiatan
lapangan di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu. Ia juga memperkenalkan Bina
Bahari di beberapa forum, sampai akhirnya banyak sekolah yang mengajak kerja
sama. Kini ia bersama teman-temannya sudah mengajar siswa SMP dan SMA
se-Jabodetabek.
Purwanti
mengemas materi secara menarik dan menyenangkan. Setelah ia mengajar di kelas,
murid-muridnya bisa langsung praktik di Kepulauan Seribu. Biasanya kegiatannya
lebih banyak dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu. Selama dua hari itu,
murid-murid melakukan praktik lapangan yang dikemas secara menyenangkan.
Kegiatannya macam-macam, misalnya saja bersama-sama menanam mangrove, atau
praktik membuat energi listrik dari air laut. Betapa bahagia Purwanti menyaksikan
murid-muridnya dengan antusias mengikuti kegiatan. Mereka terlihat senang,
misalnya ketika diajari cara membaca rasi bintang sebagai petunjuk arah. Mereka
pun juga pada akhirnya takjub dengan potensi kelautan kita. Selain itu Purwanti
juga kerap diminta bicara tentang kelautan dan lingkungan di berbagai forum.
Termasuk kegiatan di luar kota yang diadakan berbagai instansi.
Di sela-sela
mengajar, penulis buku Laut Kita Bukan
Tempat Sampah ini juga berwirausaha. Di rumahnya di kawasan Pondok Maharta,
Tangerang Selatan, ia membuka usaha mengolah makanan dari ikan. Ia merekrut karyawan
yang sebagian besar tetangganya. Ia memproduksi nugget, siomai, dan bakso ikan. Selain itu, ia juga bekerja sama
dengan sesama pengusaha UKM lainnya yang basic
produknya dari ikan. Salah satunya, Purwanti bekerja sama dengan pelaku usaha
UKM di Cianjur. Dalam kesempatan itu, ia juga memberikan edukasi. Salah satu
materi yang ia ajarkan tentang wirausaha dari potensi laut. Tak hanya membuat
produk, ia juga mengajarkan bagaimana membuat brand sampai pemasaran. Ilmu itu salah satunya ia sampaikan kepada
seorang bapak yang memiliki usaha ikan petek. Karena namanya terdengar terlalu
biasa, maka supaya lebih memiliki nilai jual, ia beri nama ikan dolar.
Masih banyak
lagi gagasan yang ingin dilakukan Purwanti. Mulai dari mimpi memiliki
laboratorium di Bina Bahari, sampai mengembangkan lembaga pendidikannya di
berbagai daerah. Sayangnya, hingga saat ini ia belum bertemu lembaga yang bisa
memberikan dana. Purwanti, yang telah menyelesaikan buku keduanya, Perempuan di Tepi Lautan ini, juga
terbuka kalau ada yang ingin bekerja sama membuka Bina Bahari di daerah.
Sebenarnya, sudah banyak yang dilakukan perempuan yang dijuluki Srikandi di
Laut ini. Namun, ia masih ingin lebih banyak lagi anak-anak generasi hari ini
yang mengenal laut sejak dini. Ia berharap kelak mereka tak hanya mencintai
laut, tapi juga mengembangkan potensinya. Purwanti memang tak pernah berhenti
memikirkan laut yang sudah menjadi nafas hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar