Minggu, 05 April 2015




Sempat bingung dan tak bisa menerima kenyataan ketika anak tunggalnya divonis menderita Congenital Rubella Syndrome (CRS), Grace pun berusaha bangkit dan membuat komunitas Rumah Ramah Rubella. Grace dan komunitasnya aktif mengedukasi perempuan agar terhindar dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes (TORCH).

Grace mendirikan komunitas Rumah Ramah Rubella sejak 2 Oktober 2013. Awalnya memang didasari karena anak tunggalnya, Aubrey Naiym Kayacinta (Ubii), mengalami CRS sejak usianya 5-6 bulan. Waktu itu Grace mengaku masih bingung tentang penyakit tersebut. Ingin curhat dengan sesama orangtua yang senasib dengannya, namun saat mencarinya di internet ia tidak menemukan komunitas, organisasi, atapun sejenisnya yang berkaitan dengan CRS. Grace pun berpikir, rasanya cukup baik bila ada komunitas sebagai wadah curhat untuk para orangtua yang anaknya menderita CRS seperti dirinya. Dan keinginan untuk membuat komunitas tersebut baru bisa ia wujudkan setelah dirinya diundang untuk tampil pada acara Kick Andy, Agustus 2013. Pihak acara tersebut mengundangnya setelah membaca tulisannya di blog tentang penyakit CRS. Setelah tayangan itu, banyak ibu yang menghubunginya untuk mengajak curhat. Dari situlah Grace merasa akan lebih baik, bila mereka bisa saling kenal agar bisa saling merangkul. Sebulan kemudian, komunitas Rumah Ramah Rubella pun terbentuk.

Grace membangun komunitas tersebut secara online agar lebih mudah menjaring anggota dari berbagai kota. Semula jumlah anggota yang begabung masih sedikit. Setelah mengajak dua teman sesama orangtua pasien di klinik tempat Ubii terapi, akhirnya terkumpul sekitar 10 orang. Teman-teman yang ia kenal di Facebook, Blackberry Messenger (BBM), dan WhatsApp pun ia ajak untuk bergabung. Makin lama jumlahnya pun makin bertambah. Mereka berkomunikasi lewat sosial media, telepon, bahkan bertemu langsung. Dari hasil sharing dengan anggota komunitas, ternyata mereka memang punya masalah yang sama, yaitu terkena rubella karena saat hamil tidak tahu harus tes screening TORCH. Bahkan sewaktu hamil mereka juga sama sekali tidak tahu tentang TORCH. Lama-kelamaan muncul keinginan untuk mengedukasi masyarakat khususnya perempuan, bahwa sebelum hamil sebaiknya melakukan screening TORCH terlebih dahulu, untuk pencegahan penyakit ini.

Sebelum bicara pencegahan, orang pun harus tahu dulu tentang TORCH. Karena, banyak orang yang sebelumnya tidak pernah mendengar istilah itu. Umumnya mereka tahu sedikit tentang toksoplasma yang banyak disangkutpautkan dengan kucing. Orang jarang tahu tentang komponen lainnya, yaitu rubella, cytomegalovirus (CMV) dan herpes. Grace pun ingin mengedukasi, paling tidak agar mereka melek dulu tentang TORCH, baru setelah itu bicara pencegahannya. Grace memang sangat bersemangat ingin mengedukasi perempuan akan masalah ini. Sebagai gambaran, ia yang dulunya kuliah di Jurusan Sastra Inggris, yang notabene harus sering membuka internet untuk mengerjakan tugas, bisa terlewat informasi soal TORCH. Lalu bagaimana dengan para ibu yang tidak melek internet atau tidak suka baca ? Itu sebabnya, Grace ingin mengedukasi seluas-luasnya, agar jangan sampai ada perempuan yang berencana hamil tapi tidak tahu tentang TORCH.

Bentuk edukasi yang dilakukan Grace bersama komunitasnya adalah dengan cara membuat pamflet yang dititipkan ke Puskesmas, PKK, Posyandu, rumah sakit, dan klinik terapi anak-anak. Lalu pamflet dalam bentuk soft copy ia sebar di media sosial. Selain itu ia juga membuat seminar untuk mengenalkan TORCH pada masyarakat umum secara gratis. Dan pernah pula mengadakan workshop melatih pendengaran anak untuk anggota komunitas yang memiliki anak tunarungu. Ia juga sering diminta berbagi pengalaman di berbagai perusahaan, instansi, kampus dan organisasi. Memang Grace akui usahanya ini belum maksimal, karena anaknya masih banyak membutuhkan perhatian dan masih terus harus menjalani terapi.

]

Anggota komunitas Rumah Ramah Rubella memang lebih banyak berkomunikasi lewat sosial media. Ada yang berkonsultasi tentang hasil tes TORCH, saling menguatkan perasaan, atau bertanya tentang informasi klinik untuk terapi. Untuk edukasi, Grace sering meng-upload materi tentang TORCH, dan bagaimana sebaiknya menjadi orangtua dari anak berkebutuhan khusus. Sementara kegiatan offline komunitas ini antara lain kopi darat sesama anggota. Saat ini anggota komunitas di Facebook sudah sekitar 3.200 orang. Mereka bukan hanya orangtua penderita CRS saja, melainkan juga orang-orang yang peduli pada penyakit rubella, termasuk terapis dan dokter, yang biasanya ikut membantu menjawab pertanyaan anggota. Ke depannya, Grace menginginkan di komunitas ini ada sesi konsultasi yang lebih terarah, jadi harus menyediakan dokter yang mau untuk menjadi konsultan, dan secara gratis. Siapa pun boleh bergabung di komunitas ini, karena tujuannya untuk mengedukasi masyarakat seluas-luasnya. Tak hanya perempuan, kaum bapak pun juga banyak yang menjadi anggota. Dan kebanyakan mereka memang orangtua dari si penderita.

Grace menjelaskan, siapa saja bisa terserang TORCH. Baik orang dewasa maupun anak-anak bisa terkena, walau tidak berbahaya, atau malah tidak terasa komplikasinya. Karena biasanya orang yang mengalami, gejalanya hanya seperti sedang masuk angin saja. Setelah sembuh pun, kadang banyak yang tidak sadar baru saja terkena TORCH. TORCH baru berbahaya bila menginfeksi ibu hamil, karena bisa berdampak pada janin. Kemungkinan besar bayinya akan lahir dengan disabilitas (cacat). Pemicu munculnya TORCH berbeda-beda. Jadi, penularan dan pencegahannya pun tak sama. Serangan TORCH paling berpengaruh pada janin bila terjadi di trimester awal kehamilan. Bila si ibu terinfeksi rubella selama hamil, maka bayi akan menderita CRS, yang dampaknya bisa beragam.

Dampaknya bisa berupa kebocoran jantung, katarak bawaan, infeksi pada retina, tuli, retardasi psikomotor (terlambat motorik dan kognitif), pengapuran otak, pembengkakan hati dan limpa, mikrosefalus (berkepala kecil), serta hidrosefalus (berkepala besar). Yang terbilang berbahaya adalah trombositopenia, di mana jumlah trombosit yang beredar dalam darah di bawah normal. Ini bisa membuat penderita meninggal. Grace menceritakan, di komunitas Rumah Ramah Rubella, sudah ada tiga anak yang berpulang karena trombositopenia ini. Untuk anak Grace sendiri,  yang pertama terdeteksi adalah kebocoran jantungnya. Ia sudah menduganya 1-2 hari setelah Ubii lahir dan diperiksa. Setelah dilakukan Ekokardiografi (EKG) saat usia 2-3 bulan, ternyata benar anaknya mengalami kebocoran jantung. Selain itu Ubii juga menderita gangguan pendengaran sangat berat pada 95-97 desibel. Jadi, suara yang bisa ditangkap telinganya setara dengan suara mesin peawat atau suara konser, padahal orang normal biasanya pada 15-20 desibel.

Sementara yang paling terlihat sampai sekarang adalah retardasi psikomotornya. Meski usianya sudah masuk tiga tahun, tapi dia belum bisa duduk sendiri. Ubii pun juga mengalami pengapuran otak dan mikrosefalus. Namun, Grace masih bersyukur mata anaknya terselamatkan, tidak terkena katarak. Selain rubella, Ubii juga terkena CMV. Bahayanya, bila sekali pernah terserang, ketika terserang lagi CMV bisa aktif kembali. Grace mengetahui anaknya terserang TORCH dari dampak-dampaknya terlebih dahulu, yaitu tuli, kebocoran jantung, dan badan kaku seperti kejang. Namun, meski dampak-dampaknya sudah terlihat, saat ingin konsultasi, dokter anak yang pertama kali ia datangi tidak menghubungkannya dengan rubella. Dokter itu malah berkomentar perihal usianya yang masih muda, maka jadi gampang risau ketika anak sedang rewel. Setelah 3-4 kali ganti dokter, seorang dokter anak spesialis saraf menanyakan bagaimana hasil TORCH dirinya dulu.

Grace lalu mencari informasinya di internet. Saat itulah dirinya merasa down, setelah mengetahui ternyata hasil tes TORCH, menunjukkan kebenaran. Memang saat itu rasanya sangat sedih, tapi di sisi lain ia lega karena sudah tahu apa penyebabnya. Sekitar 2-3 bulan awal, ia masih berat menerima kenyataan itu dan hidupnya selalu penuh dengan tangisan. Seringpula ia bertikai dengan suami, menyalahkannya dan Tuhan. Grace pun turut menyalahkan dirinya sendiri dan menyesal mengapa saat hamil dulu ketika membuka internet hanya untuk mencari baju bayi, nama bayi, ASI, dan parenting. Ia memang belum pernah tahu TORCH sebelumnya. Hanya pernah mendengar istilah toksoplasma. Grace berpikir, untuk apa mencari info tentang tokso, toh dirinya tidak memelihara kucing. Dulu ia memang berpikir penyebab tokso adalah bulu kucing. Saat mencari informasi tentang TORCH, ia pun terhenyak membaca penjelasan tentang rubella. Gejalanya yang mirip masuk angin, demam, sendi ngilu, mata berair, ingin tidur terus, dan bintik-bintik merah di tubuh, sempat ia alami selama tiga hari pada trimester pertama kehamilan. Kebetulan saat itu, Grace masih bekerja di perusahaan pertambangan di Kalimantan. Dokter yang ia datangi mengatakan, ia hanya terkena tampek. Jadi hanya diberikan bedak dan diminta minum air kelapa hijau. Setelah itu, Grace minta dikembalikan ke kota asalnya, Yogyakarta.

Awal kebangkitan Grace, adalah setelah dirinya sudah mampu menerima realita. Ditandai dengan menulis di blog, Grace sadar ada maksud Tuhan yang indah untuk anaknya dan keluarganya. Grace jadi ingat ketika melahirkan Ubii, ia menjalani operasi caesar. Waktu itu, dokternya sempat kaget karena menemukan ada kista yang sudah lengket di rahim Grace dan segera mengangkatnya. Mendengar itu Grace sempat pingsan. Setelah siuman, dokter kandungan mengatakan bahwa dalam rahimnya ditemukan kista dalam jumlah banyak yang sudah sangat lengket di indung telur sebelah kiri, sehingga indung telurnya tidak bisa berfungsi lagi. Dan dokter juga mengatakan bahwa seperti mukjizat, ia yang baru saja menikah bisa langsung dikaruniai anak, karena secara medis ia sebetulnya sulit untuk hamil. Dari situlah, Grace merasa mungkin Tuhan sengaja memilihnya dan Ubii agar bisa membantu ibu-ibu lain untuk mencegah TORCH.



Grace pun memberikan saran untuk orangtua yang memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), bahwa kunci utamanya sebelum mendampingi ABK adalah, orangtua harus menyembuhkan luka hati dirinya terlebih dahulu. Karena seorang ibu akan sulit mendampingi ABK kala dia sendiri masih down atau belum ikhlas menerima kondisi anaknya. Grace mengakui, yang berat memang berdamai dengan diri sendiri dan ekspektasi diri terhadap anak. Apalagi kalau di keluarga besar hanya anak kita sendiri yang mengalaminya. Sementara sepupunya tumbuh normal dan bersekolah, anak kita nampak berbeda. Tekanan dari keluarga seperti inilah yang membuatnya berat. Belum lagi pandangan dan komentar tidak etis dari masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Ada yang terang-terangan mengatakan anak CRS cacat, ada pula yang menduga dengan menganggap bahwa itu adalah azab atas perbuatan orangtuanya di masa lalu.

Maka dari itu, di situlah fungsinya komunitas Rumah Ramah Rubella, yakni untuk saling menguatkan hati dan memberikan dukungan. Dan setelah komunitas Rumah Ramah Rubella berjalan, Grace pun baru merasa ternyata dirinya tidak sendiri. Banyak teman untuk berjuang bersama dan bisa saling tukar pikiran. Terkadang, masing-masing juga saling bertanya apakah obat atau terapi tertentu yang diberikan pada anaknya sudah benar ? Info tentang komunitas ini bisa didapat melalui Facebook dengan akun Rumah Ramah Rubella dan blog www.gracemelia.com. Di blog itu Grace juga bercerita tentang pengalamannya membesarkan Ubii.

Pada Juni 2014, Grace juga telah merilis buku berjudul Letters To Aubrey, yakni tentang perjalanannya membesarkan Ubii. Sebagian royalti dari penjualan buku itu ia serahkan untuk Rumah Ramah Rubella. Selain itu, pendanaan kegiatan komunitas dan media kampanye juga dilakukan dengan fund raising serta membuat merchandise berupa pin dan kaus. Grace memang tidak tahu, berapa jumlah penderita CRS di Indonesia, karena memang belum ada surveinya. Penyakit ini memang belum terlalu diangkat, karena perhatian pemerintah Indonesia masih condong pada autisma, HIV/AIDS, atau down syndrome. Padahal, dampak dari penyakit ini bisa sangat berat, belum lagi perjuangan orangtua yang harus mencarikan pendidikan untuk anak seperti ini, karena seringkali ditolak sekolah umum.

Grace pun ingin pemerintah punya kebijakan untuk penderita penyakit ini. Karena komunitas yang dibentuknya ini, tugasnya hanyalah membuat masyarakat untuk melek. Maka ia ingin sekali supaya penyakit CRS ini bisa diangkat seperti halnya autisma atau down syndrome, yang menjadi isu nasional. Ketika anak terserang rubella, biaya pengobatannya memang cukup besar, tergantung dari dampak yang diderita. Untuk kasus anaknya sendiri misalnya, Grace menjelaskan, untuk tes gangguang pendengaran saja, ia harus keluar Rp 2 juta, sementara alat bantu pendengaran (hearing aid), harganya bisa setara dengan dua motor matik dan tidak bisa diganti oleh asuransi. Lalu, untuk gangguan motoriknya, ia menghabiskan Rp 720.000 per bulan untuk fisioterapi, belum lagi dengan serangkaian tes lain yang harus dilakukan untuk mendeteksi gangguan-gangguan di organ lain, dan konsultasi dokter serta obat setiap bulannya.

Karena ingin fokus merawat Ubii, Grace pun harus mengundurkan diri dari pekerjaannya. Untuk penghasilan tambahan, ia rajin ikut lomba menulis di blog. Oleh karena itu, ia sering mengatakan, bahwa anak-anak yang terinfeksi TORCH sejak dalam kandungan bisa berdampak pada finansial keluarga. Inilah yang menjadi senjatanya untuk mengajak para perempuan mau mencegah dirinya terinfeksi TORCH. Akan lebih baik kalau screening TORCH itu dilakukan sebelum menikah, sehingga waktu program punya anak bisa didiskusikan dengan pasangan berdasarkan hasil tes.



Sementara suami Grace sendiri dulunya juga aktif dalam komunitas yang dibentuknya, dia kerap terlibat dalam diskusi. Namun sekarang, suaminya hanya sekedar menjadi fotografer saja pada acara yang diselenggarakan komunitas. Grace bersyukur, suaminya bukanlah tipe suami yang tidak mau tahu urusan rumah dan anak. Kalau Grace sedang repot atau ada urusan komunitas, suaminya dengan senang hati menjaga Ubii. Grace juga tidak mempunyai pembantu sampai saat ini, namun beruntung mertuanya tinggal satu kota dengannya, sehingga bisa ikut membantu. Asa Grace untuk Ubii pun tidak pernah padam. Bersama komunitasnya ia selalu mengusahakan yang terbaik bagi sang buah hati. Kasih ibu memang tak terhingga sepanjang massa.

5 komentar:

  1. Jika ingin curhat dapat mengubungi kemana?

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas tulisan ini.

    BalasHapus
  3. Kalo ingin bergabung bagaimana caranya ya, sy terkena di bagian mata..

    BalasHapus
  4. Saya mau bergabung bagaimana caranya?

    BalasHapus