Sempat bingung dan tak bisa menerima kenyataan ketika anak tunggalnya divonis menderita Congenital Rubella Syndrome (CRS), Grace pun berusaha bangkit dan membuat komunitas Rumah Ramah Rubella. Grace dan komunitasnya aktif mengedukasi perempuan agar terhindar dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes (TORCH).
Grace
mendirikan komunitas Rumah Ramah Rubella sejak 2 Oktober 2013. Awalnya memang
didasari karena anak tunggalnya, Aubrey Naiym Kayacinta (Ubii), mengalami CRS
sejak usianya 5-6 bulan. Waktu itu Grace mengaku masih bingung tentang penyakit
tersebut. Ingin curhat dengan sesama orangtua yang senasib dengannya, namun
saat mencarinya di internet ia tidak menemukan komunitas, organisasi, atapun sejenisnya
yang berkaitan dengan CRS. Grace pun berpikir, rasanya cukup baik bila ada
komunitas sebagai wadah curhat untuk para orangtua yang anaknya menderita CRS
seperti dirinya. Dan keinginan untuk membuat komunitas tersebut baru bisa ia
wujudkan setelah dirinya diundang untuk tampil pada acara Kick Andy, Agustus 2013.
Pihak acara tersebut mengundangnya setelah membaca tulisannya di blog tentang
penyakit CRS. Setelah tayangan itu, banyak ibu yang menghubunginya untuk
mengajak curhat. Dari situlah Grace merasa akan lebih baik, bila mereka bisa
saling kenal agar bisa saling merangkul. Sebulan kemudian, komunitas Rumah
Ramah Rubella pun terbentuk.
Grace
membangun komunitas tersebut secara online
agar lebih mudah menjaring anggota dari berbagai kota. Semula jumlah anggota
yang begabung masih sedikit. Setelah mengajak dua teman sesama orangtua pasien
di klinik tempat Ubii terapi, akhirnya terkumpul sekitar 10 orang. Teman-teman
yang ia kenal di Facebook, Blackberry Messenger (BBM), dan WhatsApp pun ia ajak
untuk bergabung. Makin lama jumlahnya pun makin bertambah. Mereka berkomunikasi
lewat sosial media, telepon, bahkan bertemu langsung. Dari hasil sharing dengan anggota komunitas,
ternyata mereka memang punya masalah yang sama, yaitu terkena rubella karena saat hamil tidak tahu
harus tes screening TORCH. Bahkan sewaktu
hamil mereka juga sama sekali tidak tahu tentang TORCH. Lama-kelamaan muncul
keinginan untuk mengedukasi masyarakat khususnya perempuan, bahwa sebelum hamil
sebaiknya melakukan screening TORCH terlebih dahulu, untuk pencegahan penyakit
ini.
Sebelum bicara
pencegahan, orang pun harus tahu dulu tentang TORCH. Karena, banyak orang yang
sebelumnya tidak pernah mendengar istilah itu. Umumnya mereka tahu sedikit
tentang toksoplasma yang banyak disangkutpautkan dengan kucing. Orang jarang
tahu tentang komponen lainnya, yaitu rubella,
cytomegalovirus (CMV) dan herpes. Grace pun ingin mengedukasi,
paling tidak agar mereka melek dulu tentang TORCH, baru setelah itu bicara
pencegahannya. Grace memang sangat bersemangat ingin mengedukasi perempuan akan
masalah ini. Sebagai gambaran, ia yang dulunya kuliah di Jurusan Sastra
Inggris, yang notabene harus sering membuka internet untuk mengerjakan tugas,
bisa terlewat informasi soal TORCH. Lalu bagaimana dengan para ibu yang tidak
melek internet atau tidak suka baca ? Itu sebabnya, Grace ingin mengedukasi
seluas-luasnya, agar jangan sampai ada perempuan yang berencana hamil tapi
tidak tahu tentang TORCH.
Bentuk edukasi
yang dilakukan Grace bersama komunitasnya adalah dengan cara membuat pamflet
yang dititipkan ke Puskesmas, PKK, Posyandu, rumah sakit, dan klinik terapi
anak-anak. Lalu pamflet dalam bentuk soft
copy ia sebar di media sosial. Selain itu ia juga membuat seminar untuk
mengenalkan TORCH pada masyarakat umum secara gratis. Dan pernah pula
mengadakan workshop melatih
pendengaran anak untuk anggota komunitas yang memiliki anak tunarungu. Ia juga
sering diminta berbagi pengalaman di berbagai perusahaan, instansi, kampus dan
organisasi. Memang Grace akui usahanya ini belum maksimal, karena anaknya masih
banyak membutuhkan perhatian dan masih terus harus menjalani terapi.
]
Anggota
komunitas Rumah Ramah Rubella memang lebih banyak berkomunikasi lewat sosial
media. Ada yang berkonsultasi tentang hasil tes TORCH, saling menguatkan
perasaan, atau bertanya tentang informasi klinik untuk terapi. Untuk edukasi,
Grace sering meng-upload materi
tentang TORCH, dan bagaimana sebaiknya menjadi orangtua dari anak berkebutuhan
khusus. Sementara kegiatan offline komunitas
ini antara lain kopi darat sesama anggota. Saat ini anggota komunitas di Facebook
sudah sekitar 3.200 orang. Mereka bukan hanya orangtua penderita CRS saja,
melainkan juga orang-orang yang peduli pada penyakit rubella, termasuk terapis dan dokter, yang biasanya ikut membantu
menjawab pertanyaan anggota. Ke depannya, Grace menginginkan di komunitas ini
ada sesi konsultasi yang lebih terarah, jadi harus menyediakan dokter yang mau
untuk menjadi konsultan, dan secara gratis. Siapa pun boleh bergabung di
komunitas ini, karena tujuannya untuk mengedukasi masyarakat seluas-luasnya.
Tak hanya perempuan, kaum bapak pun juga banyak yang menjadi anggota. Dan
kebanyakan mereka memang orangtua dari si penderita.
Grace
menjelaskan, siapa saja bisa terserang TORCH. Baik orang dewasa maupun
anak-anak bisa terkena, walau tidak berbahaya, atau malah tidak terasa komplikasinya.
Karena biasanya orang yang mengalami, gejalanya hanya seperti sedang masuk
angin saja. Setelah sembuh pun, kadang banyak yang tidak sadar baru saja
terkena TORCH. TORCH baru berbahaya bila menginfeksi ibu hamil, karena bisa
berdampak pada janin. Kemungkinan besar bayinya akan lahir dengan disabilitas
(cacat). Pemicu munculnya TORCH berbeda-beda. Jadi, penularan dan pencegahannya
pun tak sama. Serangan TORCH paling berpengaruh pada janin bila terjadi di
trimester awal kehamilan. Bila si ibu terinfeksi rubella selama hamil, maka bayi akan menderita CRS, yang dampaknya
bisa beragam.
Dampaknya bisa
berupa kebocoran jantung, katarak bawaan, infeksi pada retina, tuli, retardasi
psikomotor (terlambat motorik dan kognitif), pengapuran otak, pembengkakan hati
dan limpa, mikrosefalus (berkepala kecil), serta hidrosefalus (berkepala besar).
Yang terbilang berbahaya adalah trombositopenia, di mana jumlah trombosit yang
beredar dalam darah di bawah normal. Ini bisa membuat penderita meninggal. Grace
menceritakan, di komunitas Rumah Ramah Rubella, sudah ada tiga anak yang
berpulang karena trombositopenia ini. Untuk anak Grace sendiri, yang pertama terdeteksi adalah kebocoran
jantungnya. Ia sudah menduganya 1-2 hari setelah Ubii lahir dan diperiksa.
Setelah dilakukan Ekokardiografi (EKG) saat usia 2-3 bulan, ternyata benar
anaknya mengalami kebocoran jantung. Selain itu Ubii juga menderita gangguan
pendengaran sangat berat pada 95-97 desibel. Jadi, suara yang bisa ditangkap
telinganya setara dengan suara mesin peawat atau suara konser, padahal orang
normal biasanya pada 15-20 desibel.
Sementara yang
paling terlihat sampai sekarang adalah retardasi psikomotornya. Meski usianya
sudah masuk tiga tahun, tapi dia belum bisa duduk sendiri. Ubii pun juga
mengalami pengapuran otak dan mikrosefalus. Namun, Grace masih bersyukur mata
anaknya terselamatkan, tidak terkena katarak. Selain rubella, Ubii juga terkena CMV. Bahayanya, bila sekali pernah
terserang, ketika terserang lagi CMV bisa aktif kembali. Grace mengetahui anaknya
terserang TORCH dari dampak-dampaknya terlebih dahulu, yaitu tuli, kebocoran
jantung, dan badan kaku seperti kejang. Namun, meski dampak-dampaknya sudah
terlihat, saat ingin konsultasi, dokter anak yang pertama kali ia datangi tidak
menghubungkannya dengan rubella.
Dokter itu malah berkomentar perihal usianya yang masih muda, maka jadi gampang
risau ketika anak sedang rewel. Setelah 3-4 kali ganti dokter, seorang dokter anak
spesialis saraf menanyakan bagaimana hasil TORCH dirinya dulu.
Grace lalu
mencari informasinya di internet. Saat itulah dirinya merasa down, setelah mengetahui ternyata hasil tes
TORCH, menunjukkan kebenaran. Memang saat itu rasanya sangat sedih, tapi di
sisi lain ia lega karena sudah tahu apa penyebabnya. Sekitar 2-3 bulan awal, ia
masih berat menerima kenyataan itu dan hidupnya selalu penuh dengan tangisan.
Seringpula ia bertikai dengan suami, menyalahkannya dan Tuhan. Grace pun turut
menyalahkan dirinya sendiri dan menyesal mengapa saat hamil dulu ketika membuka
internet hanya untuk mencari baju bayi, nama bayi, ASI, dan parenting. Ia memang belum pernah tahu
TORCH sebelumnya. Hanya pernah mendengar istilah toksoplasma. Grace berpikir,
untuk apa mencari info tentang tokso, toh dirinya tidak memelihara kucing. Dulu
ia memang berpikir penyebab tokso adalah bulu kucing. Saat mencari informasi
tentang TORCH, ia pun terhenyak membaca penjelasan tentang rubella. Gejalanya yang mirip masuk angin, demam, sendi ngilu, mata
berair, ingin tidur terus, dan bintik-bintik merah di tubuh, sempat ia alami
selama tiga hari pada trimester pertama kehamilan. Kebetulan saat itu, Grace
masih bekerja di perusahaan pertambangan di Kalimantan. Dokter yang ia datangi
mengatakan, ia hanya terkena tampek. Jadi hanya diberikan bedak dan diminta
minum air kelapa hijau. Setelah itu, Grace minta dikembalikan ke kota asalnya, Yogyakarta.
Awal
kebangkitan Grace, adalah setelah dirinya sudah mampu menerima realita.
Ditandai dengan menulis di blog, Grace sadar ada maksud Tuhan yang indah untuk
anaknya dan keluarganya. Grace jadi ingat ketika melahirkan Ubii, ia menjalani
operasi caesar. Waktu itu, dokternya sempat kaget karena menemukan ada kista
yang sudah lengket di rahim Grace dan segera mengangkatnya. Mendengar itu Grace
sempat pingsan. Setelah siuman, dokter kandungan mengatakan bahwa dalam
rahimnya ditemukan kista dalam jumlah banyak yang sudah sangat lengket di
indung telur sebelah kiri, sehingga indung telurnya tidak bisa berfungsi lagi.
Dan dokter juga mengatakan bahwa seperti mukjizat, ia yang baru saja menikah
bisa langsung dikaruniai anak, karena secara medis ia sebetulnya sulit untuk
hamil. Dari situlah, Grace merasa mungkin Tuhan sengaja memilihnya dan Ubii agar
bisa membantu ibu-ibu lain untuk mencegah TORCH.
Grace pun
memberikan saran untuk orangtua yang memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (ABK),
bahwa kunci utamanya sebelum mendampingi ABK adalah, orangtua harus
menyembuhkan luka hati dirinya terlebih dahulu. Karena seorang ibu akan sulit
mendampingi ABK kala dia sendiri masih down
atau belum ikhlas menerima kondisi anaknya. Grace mengakui, yang berat memang
berdamai dengan diri sendiri dan ekspektasi diri terhadap anak. Apalagi kalau
di keluarga besar hanya anak kita sendiri yang mengalaminya. Sementara
sepupunya tumbuh normal dan bersekolah, anak kita nampak berbeda. Tekanan dari
keluarga seperti inilah yang membuatnya berat. Belum lagi pandangan dan
komentar tidak etis dari masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Ada yang
terang-terangan mengatakan anak CRS cacat, ada pula yang menduga dengan menganggap
bahwa itu adalah azab atas perbuatan orangtuanya di masa lalu.
Maka dari itu,
di situlah fungsinya komunitas Rumah Ramah Rubella, yakni untuk saling
menguatkan hati dan memberikan dukungan. Dan setelah komunitas Rumah Ramah
Rubella berjalan, Grace pun baru merasa ternyata dirinya tidak sendiri. Banyak
teman untuk berjuang bersama dan bisa saling tukar pikiran. Terkadang,
masing-masing juga saling bertanya apakah obat atau terapi tertentu yang
diberikan pada anaknya sudah benar ? Info tentang komunitas ini bisa didapat
melalui Facebook dengan akun Rumah Ramah Rubella dan blog www.gracemelia.com. Di blog itu Grace juga
bercerita tentang pengalamannya membesarkan Ubii.
Pada Juni
2014, Grace juga telah merilis buku berjudul Letters To Aubrey, yakni tentang perjalanannya membesarkan Ubii.
Sebagian royalti dari penjualan buku itu ia serahkan untuk Rumah Ramah Rubella.
Selain itu, pendanaan kegiatan komunitas dan media kampanye juga dilakukan
dengan fund raising serta membuat merchandise berupa pin dan kaus. Grace
memang tidak tahu, berapa jumlah penderita CRS di Indonesia, karena memang
belum ada surveinya. Penyakit ini memang belum terlalu diangkat, karena
perhatian pemerintah Indonesia masih condong pada autisma, HIV/AIDS, atau down syndrome. Padahal, dampak dari
penyakit ini bisa sangat berat, belum lagi perjuangan orangtua yang harus
mencarikan pendidikan untuk anak seperti ini, karena seringkali ditolak sekolah
umum.
Grace pun
ingin pemerintah punya kebijakan untuk penderita penyakit ini. Karena komunitas
yang dibentuknya ini, tugasnya hanyalah membuat masyarakat untuk melek. Maka ia
ingin sekali supaya penyakit CRS ini bisa diangkat seperti halnya autisma atau down syndrome, yang menjadi isu
nasional. Ketika anak terserang rubella,
biaya pengobatannya memang cukup besar, tergantung dari dampak yang diderita.
Untuk kasus anaknya sendiri misalnya, Grace menjelaskan, untuk tes gangguang
pendengaran saja, ia harus keluar Rp 2 juta, sementara alat bantu pendengaran (hearing aid), harganya bisa setara
dengan dua motor matik dan tidak bisa diganti oleh asuransi. Lalu, untuk
gangguan motoriknya, ia menghabiskan Rp 720.000 per bulan untuk fisioterapi,
belum lagi dengan serangkaian tes lain yang harus dilakukan untuk mendeteksi
gangguan-gangguan di organ lain, dan konsultasi dokter serta obat setiap
bulannya.
Karena ingin
fokus merawat Ubii, Grace pun harus mengundurkan diri dari pekerjaannya. Untuk
penghasilan tambahan, ia rajin ikut lomba menulis di blog. Oleh karena itu, ia
sering mengatakan, bahwa anak-anak yang terinfeksi TORCH sejak dalam kandungan
bisa berdampak pada finansial keluarga. Inilah yang menjadi senjatanya untuk
mengajak para perempuan mau mencegah dirinya terinfeksi TORCH. Akan lebih baik
kalau screening TORCH itu dilakukan
sebelum menikah, sehingga waktu program punya anak bisa didiskusikan dengan
pasangan berdasarkan hasil tes.
Sementara suami
Grace sendiri dulunya juga aktif dalam komunitas yang dibentuknya, dia kerap
terlibat dalam diskusi. Namun sekarang, suaminya hanya sekedar menjadi
fotografer saja pada acara yang diselenggarakan komunitas. Grace bersyukur,
suaminya bukanlah tipe suami yang tidak mau tahu urusan rumah dan anak. Kalau
Grace sedang repot atau ada urusan komunitas, suaminya dengan senang hati
menjaga Ubii. Grace juga tidak mempunyai pembantu sampai saat ini, namun
beruntung mertuanya tinggal satu kota dengannya, sehingga bisa ikut membantu.
Asa Grace untuk Ubii pun tidak pernah padam. Bersama komunitasnya ia selalu
mengusahakan yang terbaik bagi sang buah hati. Kasih ibu memang tak terhingga
sepanjang massa.
Jika ingin curhat dapat mengubungi kemana?
BalasHapusTerima kasih atas tulisan ini.
BalasHapusKalo ingin bergabung bagaimana caranya ya, sy terkena di bagian mata..
BalasHapusHubungi kemana?
BalasHapusSaya mau bergabung bagaimana caranya?
BalasHapus