Selain relawan lokal, bergabung pula relawan dari Amerika, Filipina, serta Australia. Sebagian membuat bendungan dan pertanian. Sementara, selama 2 tahun menjadi relawan, Herlina ditempatkan di bagian penyuluhan pembuatan sanitasi, imunisasi, dan lain-lain. Di tahun-tahun awal, pengungsi mendapat bantuan dari yayasan sosial serta pemerintah. Tetapi, setelah dua tahun, pemerintah menghentikan bantuan dan yayasan sosial mulai meninggalkan desa tersebut. Herlina mengaku, saat itu ia tidak tega melihat ibu-ibu usia produktif hanya menganggur, sedangkan yang kaum laki-laki bekerja kasar keluar daerah.
Awalnya, ibu satu anak ini punya ide mengajari membuat kue, tetapi batal, karena pemasarannya sulit mengingat daerah yang terpencil. Ia pun beralih membuat kerajinan tangan rajutan berbahan benang nilon. Dengan mendatangkan pengajar, ia mengajari 10 perempuan. Setelah berjalan, muncul persoalan bahan benang nilon yang harganya cukup mahal. Saat memutar otak mencari kerajinan lain yang lebih murah, dia mendapat informasi mengenai tanaman jenis palem-paleman bernama gebang atau pocok yang bisa dijadikan tali (tali agel). Dari tali itu kemudian bisa dirajut menjadi berbagai kerajinan. Tali agel juga biasa digunakan para nelayan untuk membuat jaring.
Dan ternyata, pusat tanaman gebang ada di Desa Dupok, Bangkalan. Kebetulan, di sana juga ada perajin yang mengolahnya menjadi tali agel. Namun, setelah jadi, ternyata kerajinan yang dihasilkan kurang bagus dan kasar. Toh, Herlina tidak putus asa dan tetap memberi semangat untuk terus berkarya dan belajar. Sudah kepalang basah, rasanya tidak mungkin ia berhenti di tengah jalan. Lagipula, ia memikirkan bagaimana nasib para ibu-ibu yang yang didampinginya kalau tidak beraktivitas. Sangat kasihan. Maka, Herlina pun rela walau saat itu ia harus monda-mandir dari rumahnya di Bangkalan ke lokasi perajin.
Karena bentuknya yang masih kasar dan kurang bagus, kerajinan tas tersebut akhirnya menumpuk di gudang karena tidak laku. Kalau pun ada yang menawar, harganya sangat murah. Pernah, Herlina menjual di pasar dadakan di Tugu Pahlawan, Surabaya. Ia sempat menangis saat produknya ditawar orang hanya Rp 10.000. Di tengah perjuangan kerasnya tersebut, datang sedikit angin segar. Suatu ketika, datang orang Amerika melihat dari dekat kondisi para pengungsi. Ternyata, orang asing tersebut tertarik dengan tas hasil kerajinan para pengungsi dan berjanji akan menjualnya di Amerika. Tapi dengan syarat bentuknya diperhalus sehingga secara penampilan lebih menarik. Itu membuat Herlina dan para perajin berbesar hati dan semangat memperbaiki hasil kerajinan mereka.
Sejak tahun 2011, Herlina memakai label Lyena Craft. Dengan berkembangnya pesanan, kreativitas Herlina maupun perajin pun makin berkembang. Tak hanya tas tetapi juga bentuk lain, mulai taplak meja, tatakan piring, vas bunga, kap lampu, dan masih banyak lagi. Semakin berkembangnya Lyena Craft membuat banyak kaum ibu lain yang terpikat bergabung. Saat ini ada sekitar 100 ibu-ibu lebih yang tergabung menjadi perajin. Dari sekian banyak perajin yang dimilikinya, 90 persennya memang adalah perempuan.
Para perajin juga merasa nyaman sebab kegiatan itu bisa dilakukan di sela-sela kesibukan mereka mengerjakan pekerjaan rumah, mulai memasak, mengatur rumah, sampai mengawasi anak-anak. Perjuangan yang tak pernah kenal lelah memberdayakan masyarakat akhirnya berbuah manis. Herlina meraih berbagai penghargaan. Salah satu tas model "Diana" hasil karya para perajin pun mendapat hak paten dari pemerintah. Namun, yang lebih membahagiakannya, sekarang ia bisa melihat masyarakat bisa lebih mandiri karena mendapat penghasilan tambahan.
Sambal Roa Judes, salah satu kekayaan kuliner nusantara, Sambal yang dibuat dari campuran Ikan Roa ini selalu sukses menggoda lidah para penggemar pedas. Bahkan bagi mereka yang tidak pernah memilih ikan sebagai menu makanan mereka pun, selalu berakhir dengan mengakui kehebatan rasa Sambel Roa JuDes ini.. Anda penasaran ingin menikmatinya ? Hubungi layanan Delivery Sambal Roa Judes di 085695138867.
BalasHapus