Dian Sasmita mendedikasikan hidupnya untuk membantu anak-anak lapas agar bisa mandiri setelah menyelesaikan masa hukumannya. Melalui pelatihan keterampilan dan gerobak Onjail yang disediakannya, ia berharap anak-anak ini tak kembali lagi ke jalan gelap. Bahkan, ia sampai rela menggadaikan cincin kawinnya untuk Yayasan Sahabat Kapas yang didirikannya.
Kepeduliannya terhadap anak-anak penghuni lapas, karena dia merasa mereka sering sekali diabaikan oleh masyarakat. Anak-anak ini dicap sebagai mantan narapidana. Menurut Dian, sekalipun mereka sedang menghadapi kasus hukum, tetap saja mereka merupakan anak yang masih butuh pendampingan. Hukuman yang harus mereka lakoni, jangan sampai mengurangi hak mereka untuk mendapatkan masa depannya. Dengan label narapidana, anak-anak ini pasti sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Jika demikian, maka siapa yang harus bertanggung jawab ? Toh, masyarakat juga tidak banyak yang peduli. Dengan label bahwa mereka ini mantan narapidana, sangat terbuka lebar bagi mereka untuk kembali melakukan perbuatan melawan hukum. Jika demikian, malah seperti rantai yang tidak terputus. Oleh sebab itu, dibutuhkan cara bagaimana mereka ini bisa kembali memiliki percaya diri untuk melanjutkan hidup dan bisa diterima oleh masyarakat luas.
Dipilihnya kata Kapas sebagai nama yayasannya karena kapas itu mewakili kondisi psikis remaja. Jika dicelup ke air susu akan menyerap susu, begitu pula saat dicelupkan ke air racun maka akan menyerap racun. Kapas juga gampang terbawa angin. Jadi, seperti sifat kapas, para remaja memang akan dengan mudahnya terpengaruh oleh lingkungannya.
Aksi pendampingan yang dilakukan Dian pertama kali adalah mendampingi puluhan anak dari Lapas Surakarta. Waktu itu masih sebatas memberikan terapi psikologis. Caranya dengan mengajak mereka untuk melukis. Lewat coretan-coretan tersebut, dapat membantu anak-anak untuk menyuarakan ekspresinya. Berdasar gambar yang mereka buat, akan dilakukan pengenalan dan pendampingan sesuai yang dibutuhkan. Karena setiap anak memang membutuhkan pendampingan yang berbeda. Selain itu Yayasan Sahabat Kapas juga memberikan pelatihan pembuatan wayang beber, musik, sastra, puisi, serta menonton film. Intinya, pada hal-hal yang bisa menghibur dan mengurangi rasa bosan. Kegiatan tersebut dilakukan setiap hari Sabtu saat ada jam besuk. Yayasan Sahabat Kapas sendiri mulai dirintis sejak tahun 2009. Lalu pada 2010, Dian baru mendapatkan persyaratan legal formalnya dalam mengelola yayasan ini.
Setelah di Surakarta, Dian kembali melakukan pendampingan ke anak-anak penghuni Lapas Klaten, termasuk pendampingan psikologi. Selain itu, ia juga memberikan pelatihan sablon, dengan harapan semoga kelak bisa menjadi modal bagi mereka untuk berwiraswasta. Berdasarkan pengalamannya, kebanyakan anak-anak napi ini adalah siswa yang putus sekolah. Karena itulah mereka sulit mendapatkan pekerjaan secara formal. Maka, Yayasan Sahabat Kapas berusaha membekali mereka dengan keterampilan. Melalui keterampilan sablon yang telah diajarkan, lantas bersama anak-anak napi tersebut, Yayasan Sahabat Kapas membuat produk berupa tas, kaus, dan tempat pinsil. Di setiap produk ditulisi dengan kata-kata yang mengajak dan mengedukasi masyarakat agar peduli pada nasib anak-anak. Produk itu lalu diberi nama Onjail.
Dian merasakan, awal merintis usaha ini sangat sulit. Karena mereka semuanya belajar secara otodidak, tak jarang banyak yang tidak langsung berhasil. Misalnya, dari lima kaus sablon yang mereka kerjakan, empat di antaranya gagal produk. Tetapi itu bukan menjadi rintangan baginya dan relawan Sahabat Kapas, tapi justru menjadi pembelajaran. Akhirnya, lambat laun produksi Onjail bisa berjalan, bahkan sempat beberapa kali mengikuti pameran. Dan produk Onjail mulai sering dipesan oleh masyarakat luas. Namun yang perlu dicatat, kata Dian, cara ini bukanlah memanfaatkan anak-anak napi untuk mencari uang. Karena uang penjualan produk Onjail ini juga akan dikembalikan untuk mereka. Misalnya untuk membeli kebutuhan mereka, seperti vitamin dan susu. Tujuan utama dari produksi Onjail adalah agar bagaimana anak-anak napi ini bisa mendapatkan modal untuk mandiri. Kaus Onjail dijual dengan harga Rp 100.000. Hasil penjualan ini digunakan sebagai found rising untuk Yayasan Sahabat Kapas. Yayasan juga saat ini sedang melakukan kampanye anti perundungan, dengan tagline Wong Kece Orang Ngece. Mulai tahun 2015, Onjail sudah tidak dikerjakan lagi oleh anak-anak napi. Karena mereka sudah keluar dari lapas. Meski demikian, uang yang dihasilkan tetap digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak di lapas yang lain.
Selain memberikan keterampilan, Yayasan Sahabat Kapas juga memiliki program Buku Muter. Di sini menyediakan beragam buku layaknya perpustakaan berjalan. Peminjamannya selama satu bulan. Buku ini akan muter dari lapas-lapas yang didampingi. Harapannya, dengan adanya buku muter ini, mereka bisa membaca untuk menambah pengetahuan. Awalnya program buku muter ini sempat mendapat pertentangan dari pihak lapas. Lantaran menurut pengalaman yang sudah-sudah, buku-buku yang pernah disediakan oleh lapas itu sering lecek, disobek, dan dibakar. Tetapi, sejak awal Dian sudah memantapkan, bahwa yayasannya ingin sedekah buku, dan sudah berupaya meminimalkan risiko yang ada. Caranya adalah dengan melibatkan mereka untuk pemeliharaan buku. Misalnya meminta mereka memilih salah satu orang yang menjadi koordinator di satu lapas untuk urusan peminjaman. Jika memang ada yang rusak, itu harus ada pertanggung jawabannya. Dan dengan cara itu ternyata sangat efektif. Buktinya selama ini baru ada satu buku yang rusak. Dan sejauh ini sudah ada 500 buku yang menjadi koleksi dari Yayasan Sahabat Kapas. Ratusan buku itu merupakan donasi dari masyarakat luas.
Selain mendampingi anak-anak di Lapas Surakarta dan Klaten, Yayasan Sahabat Kapas juga telah mendampingi anak-anak napi di Lapas Kutoarjo dan Lapas Wonogiri. Tak kurang, sampai saat ini mereka sudah mendampingi dua ratusan anak napi, terdiri dari anak laki-laki dan perempuan. Juga seratusan anak dengan bantuan hukum.
Dalam menjalankan kegiatannya, urusan pendanaan pada awalnya memang menjadi salah satu perhatian utama. Karena Yayasan Sahabat Kapas memang yayasan non profit. Tapi Dian bersyukur, sampai saat ini selalu saja ada bantuan saat ia memang sedang membutuhkan dana. Jadi bisa dibilang kalau dana itu tepatnya berasal dari Tuhan. Untuk membelikan alat-alat sablon, membeli peralatan lukis, awalnya berasal dari kantong Dian sendiri. Suaminya setiap bulan selalu menyisihkan gajinya untuk memenuhi kebutuhan Yayasan Sahabat Kapas. Bahkan, Dian juga sempat menggadaikan cincin pernikahannya. Ketika itu tahun 2009, ia sangat butuh uang untuk mengurus perizinan yayasan. Dan cincinya terpaksa ia gadaikan dengan nilai Rp 3 juta, karena saat itu ia benar-benar tidak memiliki uang. Seiring dengan waktu, banyak dermawan yang kemudian memberikan bantuannya. Baik berupa uang maupun barang. Dian juga pernah mendapat bantuan dari Unicef di tahun 2015. Kemudian bantuan dari Global Fund for Children.
Kini, Yayasan Sahabat Kapas juga sudah memikirkan dan membantu anak-anak napi selepas keluar dari penjara, dengan meluncurkan program baru bernama Gerobak Onjail. Melalui program ini, mereka yang sudah keluar dari penjara akan dibantu untuk berwiraswasta dengan memanfaatkan gerobak yang telah disediakan. Gerobak ini diberikan secara gratis. Dian mendapatkannya dari salah satu perusahaan farmasi yang memang khusus disalurkan untuk anak-anak napi. Sudah ada beberapa anak yang mengikuti program ini. Tetapi ternyata ada satu hal yang luput dari perhatian Dian. Bahwa menjadi wiraswasta itu bukanlah hanya persoalan modal. Oleh sebab itu, Dian juga mengajak kerja sama para pengusaha di Solo agar bisa menerima para anak-anak napi pasca keluar dari penjara menjadi anak asuh. Jadi, mereka bisa belajar di perusahaan tersebut. Dan ternyata, banyak pengusaha yang merespons.
Satu hal yang menjadi mimpi Dian adalah, para anak-anak yang telah ia dampingi ini tidak lagi kembali ke jalan gelap. Memang ukuran dari pendampingan yang ia berikan bukan pada nominal uang. Ukurannya adalah upaya agar mereka tidak kembali ke jalan negatif. Selain itu, Dian juga berharap masyarakat luas bisa menghargai dan tidak melabeli mereka dengan stigma yang negatif. Masyarakat hendaknya jangan melakukan perundungan pada anak-anak ini. Sesuai dengan tagline yang dimiliki Yayasan Sahabat Kapas, Wong Kece Ora Ngece.
0 komentar:
Posting Komentar