Selasa, 22 September 2015



Meski berskala lokal, kiprah perempuan kelahiran 11 April 1970 ini sungguh luar biasa. Sehari-hari ibu 3 anak ini sibuk mengkoordinir kegiatan-kegiatan yang digerakkan oleh PKK di lingkungan tempat tinggalnya, RW 009 Kelurahan Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. Misalnya, Posyandu balita, Posyandu lansia, kelas ibu hamil, kelompok pendukung Pemberian Makanan Bayi dan Anak, kegiatan marawis, bank sampah, dan lainnya. Semua kegiatan tersebut mempunyai porsi yang sama. Jumlah warga di RW-nya sendiri ada seitar 4.000an jiwa yang berada  di 16 RT. Respons warga pun cukup bagus. Mereka menyambut baik semua kegiatan tersebut. Ini terlihat dari banyaknya warga yang berpartisipasi dalam program-program yang diadakan.

Widowati mulai aktif terjun di kegiatan sosial sejak suaminya, Nanang Suwardi, terpilih menjadi ketua RW tahun 2008 lalu. Otomatis, ia pun menjadi Ketua Tim PKK RW. Sebetulnya, waktu itu sudah ada kegiatan, seperti Posyandu balita yang memiliki 3 pos. Kemudian Wati, biasa ia disapa, mencoba mensinergikan dengan kegiatan lain yang turut melibatkan kader Posyandu, khususnya kegiatan-kegiatan yang menyangkut kesehatan. Salah satunya kelas ibu hamil yang diselenggarakan setiap bulan secara bergantian. Misalnya, bulan ini diadakan di pos Posyandu balita 1, dan berikutnya diadakan di posyandu 2 dan 3. Kelas ibu hamil ini diadakan 2 kali dalam sebulan. Agar berjalan lancar, Wati pun bekerja sama dengan pihak Puskesmas atau bidan di wilayahnya, karena kegiatan ini memang harus melibatkan fasilitas kesehatan.

Biasanya, ibu hami kalau datang ke Puskesmas hanya diperiksa saja, tapi tidak mendapatkan pembekalan yang cukup tentang kehamilan dan persalinan. Oleh karena itu, di kelas ibu hamil yang diadakan ini, mereka bisa sharing, berkonsultasi dan belajar secara berkala dengan materi yang sudah disiapkan. Ada 8 materi sebagai bekal ibu hamil agar lebih siap menghadapi kehamilan, persalinan dan merawat bayi yang baik dan benar. Kedelapan materi itu antara lain perawatan kehamilan, persiapan persalinan, bahaya kehamilan, IMD dan ASI Eksklusif, KB, penyakit menular, akta kelahiran, dan juga senam kehamilan. Sebelumnya kader-kader Posyandu yang terlibat di kegiatan ini sudah dibekali untuk mendalami 8 materi tersebut agar bisa menjelaskan ke peserta ibu hamil. Tetapi memang tidak semua materi bisa dijelaskan oleh kader Posyandu. Bila ada yang berkaitan dengan tindakan-tindakan medis, walau mereka juga paham, tapi itu sudah masuk ranah Puskesmas untuk menjelaskannya. Karena bila yang menjelaskannya langsung dari tenaga fasilitas kesehatan, para peserta tentu lebih yakin.

Sebetulnya, kelas ibu hamil yang diadakan ini bukan menitikberatkan pada pemeriksaan kesehatan ibu hamil, tetapi lebih ke pembekalan agar mereka siap menghadapi kehamilan, persalinan, serta perawatan bayi dan anak. Bila ada ibu hamil yang bermasalah, biasanya pihak Puskesmas akan langsung merujuk ke layanan kesehatan. Di setiap pertemuan kelas ibu hamil, petugas Puskesmas pun pasti hadir. Dalam satu angkatan kelas ibu hamil ada 4 kali pertemuan, masing-masing 2 materi setiap pertemuan, jadi total ada 8 materi. Paling sedikit pesertanya 3 orang, sementara paling banyak pernah sampai 15 peserta. Setelah mengikuti 8 materi itu, maka peserta dinyatakan lulus. Setelah melahirkan, mereka pun terus dipantau, apakah mengikuti Inisiasi Menyusui Dini (IMD) juga ? Dengan begini bisa diketahui apakah mereka menjalankan pembekalan yang sudah diberikan. Jika iya, maka akan diberikan album 1000 hari pertama sebagai tanda lulus sekaligus kenang-kenangan.

Dampak dari kelas ibu hamil ini adalah meningkatnya pengetahuan ibu-ibu dan keluarga tentang kesehatan ibu dan bayi. Ibu hamil jadi lebih siap menjalankan kehamilan dan persalinannya, keluarga juga lebih terlibat memberikan pendampingan dalam setiap momen/proses ibu hamil, seperti periksa kehamilan dan melahirkan di tenaga kesehatan, juga IMD. IMD memang termasuk salah satu materi yang diharapkan diikuti usai melahirkan. Dan hasilnya memang lumayan, 80% ibu hamil yang mengikuti kelas ibu hamil mau melakukan IMD. Kebanyakan yang tidak IMD adalah mereka yang mengalami masalah serius, misalnya dalam kondisi tidak sadar usai melahirkan. Sebelumnya, mereka memang sudah diberi pembekalan bahwa di RS, berhak meminta IMD ke dokter.

Sementara untuk yang terputus program pemberian ASI-nya, diadakan kelompok pendukung Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA). Jadi, begitu kelas ibu hamil selesai, mereka bisa langsung mengikuti kelas PMBA. Di kelas tersebut dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama untuk bayi yang masih ASI eksklusif, tujuannya memberikan dukungan bagi ibu-ibu supaya ASI Eksklusifnya tidak putus. Biasanya akan dihadirkan tenaga dari Puskesmas dan sharing, misalnya bagaimana supaya ASI lancar dan pemberian ASI Eksklusif tidak terhenti. Bahkan, kadang solusi ini juga bisa diberikan oleh ibu-ibu lain yang pernah mengalami hal serupa. Misalnya, kasus ASI yang tidak banyak keluar, ibu lain yang sudah mengikuti kelas ibu hamil tahu jawabannya.

Kelompok kedua adalah untuk bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun, masih ASI tapi sudah diberikan makanan pendamping. Di kelompok ini peserta bisa sharing misalnya soal porsi makan yang tepat bagi bayi dan anak. Lalu juga dibuat program makan bersama dengan  porsi, tekstur, dan menu yang sesuai dengan usia dan kebutuhan. Harapannya, agar anak tidak asal makan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan usia anak agar tidak terjadi kekurangan gizi. Usia 0-2 tahun adalah proses pembentukan otak yang tidak bisa digantikan setelah usia 2 tahun. Ini berhubungan ke 1000 hari pertama kehidupan anak. Ada juga pemberian makanan, agar para ibu bisa kembali ke makanan lokal yang dibuat sendiri yang tentu saja lebih terjamin daripada makanan instan. Makanan lokal misalnya nasi, sayur mayur, singkong, dan lain-lain. Wati menambahkan, RW-nya juga mempunyai kebun gizi. Kebetulan, ada lahan milik warga yang boleh digunakan. Di sana lalu ditanami berbagai sayuran dan tanaman bergizi seperti bayam, jagung, labu, tomat, cabe, sawi, dan sebagainya. Saat panen, hasilnya bisa dibagi-bagikan ke warga.

Lalu untuk bank sampah mulai ada sejak tahun 2008. Waktu itu sampah memang menjadi masalah utama lingkungan. Yang sulit adalah mengubah pola pikir terhadap warga yang suka buang sampah sembarangan. Awalnya, dibuat tong sampah yang dicat dan dihias sampai bagus, kemudian diberikan gratis ke warga. Tetapi, tetap saja ada warga yang membuang sampah sembarangan. Akhirnya, dicobalah dengan membuat bank sampah. Bank sampah ini dikelola pengurus RW dengan melibatkan warga. Prinsipnya, bila ingin mengubah sesuatu memang harus dimulai dari para ibunya dahulu. Pasalnya, yang sering berada di rumah itu memang para ibu. Pertama, setiap warga diberikan 2 karung sampah basah dan sampah kering. Sampah-sampah itu kemudian diambil oleh teller keliling, lalu didata. Para ibu yang menyerahkan sampah itu kemudian dicatat sebagai nasabah bank sampah. Setelah itu dijadwalkan seminggu 3 kali pengambilan sampah. Sampah-sampah itu lalu dipisahkan, sampah basah dibuat kompos, sementara sampah kering dijual ke pabrik atau dibuat produk hasil daur ulang seperti tas. Intinya, tabungan sampah itu dikelola dan dijadikan uang.

Untuk dijadikan tas, cara membuatnya cukup mudah. Sampah kering dicacah kecil-kecil seperti serpihan, kemudian dibungkus dengan kain organdi, lalu dijahit sesuai pola. Selain proses pembuatannya lebih cepat, hitung-hitungan ekonomisnya juga masih masuk. Satu tas yang bentuknya cukup bagus itu dihargai rata-rata Rp 150.000, tergantung modelnya. Tanpa disadari, usaha ini warga sendirilah yang memberikan modalnya. Sementara tim PKK yang mengelolanya. Sampah yang ditabung tadi pun bisa diuangkan kapan saja. Warga juga bisa meminjam uang di bank sampah untuk berbagai keperluan, dan membayarnya juga memakai sampah. Misalnya, bila meminjam uang Rp 300.000, maka pembayarannya dipotong dari tabungan sampah mereka.

Pengelola bank sampah sudah punya hitung-hitungannya. Misalnya, untuk sampah kering campuran, istilahnya satu gabruk, satu kilogramnya dihargai Rp 1500. Sementara sampah basah tidak dihargai, karena pihak bank sampah hanya membantu membuangnya dengan menjadikan kompos. Warga boleh mengambil kompos itu secara gratis. Dari kegiatan ini yang ingin diubah adalah pola pikir warga bahwa sampah itu sebetulnya bisa menjadi uang, dengan demikian maka tidak ada lagi  warga yang membuang sampah sembarangan. Bahkan saat ini, petugas bank sampah tidak perlu mengambil sampah dari warga lagi, karena wargalah yang mengantarkannya sendiri.


Sekarang bank sampah di lingkungan tempat Wati tinggal sudah menjadi percontohan nasional dan sudah dikunjungi berbagai pihak, antara lain perwakilan 34 provinsi di Indonesia, ada pula dari Jepang, Kosta Rika, serta diliput berbagai media nasional dan internasional seperti TV Al Jazeera. Wati sendiri akan terus berusaha mencoba menjalani perannya sebagai Ketua PKK di lingkungannya sebaik mungkin.  

0 komentar:

Posting Komentar