Meski mengaku bukan desainer dan bukan tukang jahit, namun karya-karyanya banyak diminati. Orang-orang yang ingin tampil beda, elegan, dan unik saat menggunakan ulos pasti mencarinya. Begitu mengagumkannya karya seni berbahan ulos hasil buah tangannya, sampai-sampai panitia pemilihan Puteri Indonesia tahun 2015 sempat meminta karya perempuan indo berdarah Batak - Australia ini untuk dikenakan pada salah satu finalis Puteri Indonesia asal Sumatera Utara, yang menjadi runner up pada ajang tersebut. Kepiawaian Elisa Farah Pane dalam mengotak-atik ulos juga mengantarkannya menjadi pemegang rekor MURI untuk desain ulos terbanyak akhir tahun 2015 lalu. Meski mengaku hanya punya sedikit wawasan tentang ulos, namun ia terlihat begitu paham dengan ulos. Mulai dari sejarahnya, filosofi, hingga jenis-jenis sulaman ulos, dan banyak lagi lainnya.
Elisa bercerita, awal mula ketertarikannya dengan ulos mungkin karena pengaruh ibunya yang dominan. Ibunya adalah seorang bule dari Australia yang senang dengan hal-hal yang berbau etnik dan antik, Karena itulah, kesenangannya terhadap seni, terutama seni sulam pita seperti yang ada di ulos atau kain songket sudah ada di benak Elisa sejak kecil. Tapi Elisa baru merasa benar-benar tertarik dengan ulos sekitar 2006. Saat itu masa pemerintahan Presiden SBY, di mana gaung kain-kain tenun nasional kembali terangkat dan dimunculkan keberadaannya. Di situlah Elisa mulai tertarik dengan ulos. Ia memperhatikan hasil tenun masyarakat Batak itu sangat luar biasa. Coraknya beda dibandingkan dengan kain tenun lainnya. Lalu, Elisa pun mulai mempelajari ulos itu sendiri. Sesekali ia juga mengikuti pameran pakaian daerah. Jadi boleh dikatakan, ketertarikannya pada ulos dimulai dari hobi, lalu mempelajari, dan juga mencari tahu. Maksud dari mencari tahu adalah, karena Elisa yakin di setiap kain ulos tersebut ada banyak cerita menarik. Mulai dari proses pembuatannya, siapa yang membuat, dan berapa usia ulos itu sebenarnya.
Sayangnya, menurut Elisa, saat itu tidak semua ulos seperti yang ada dalam pikirannya. Memang bukan rahasia lagi bila saat ini ulos mulai terpinggirkan. Orang mulai malas memakai ulos karena berbagai macam alasan. Mulai dari tak nyaman dipakai karena kualitas kain yang kurang, hingga harganya yang dinilai terlalu mahal. Di berbagai pesta adat masyarakat, keberadaan ulos bahkan mulai tergantikan oleh kain tenun daerah lain, seperti songket Palembang. Elisa berpikir, ini realita yang sangat menyedihkan. Bahkan banyak orang Batak yang sekarang ini tak tahu jenis dan fungsi dari ulos-ulos tersebut. Elisa pernah punya pengalaman bertemu seseorang yang salah dalam pemakaian ulos. Orang itu memakai ulos bolang pada sebuah pesta pernikahan. Memang jika dilihat, warna ulos bolang itu bagus dan terang karena berwarna biru. Tapi sebetulnya ulos bolang tidak bisa dipakai ke acara pesta karena ulos tersebut hanya bisa dipakai pada acara kematian atau duka cita. Ini tentu sangat fatal sekali.
Sampai saat ini Elisa sudah membuat 100 desain ulos yang akhirnya mencatat rekor MURI untuk desain ulos terbanyak. Sebetulnya tak ada ciri khas desain yang Elisa buat, karena semua desain yang ia buat merupakan ciri asli desain ulos. Namun, di antara semua desain, Elisa paling sering menggunakan motif pucca, bintang maratur, tuntuman, dan sodum. Elisa mempelajari ulos dari partonun (tukang tenun), buku, media, dan juga keluarga. Boleh dibilang ia belajar sendiri alias otodidak.
Elisa merasa semua pengalamannya saat mendesain ulos merupakan pengalaman yang menarik, karena selalu ada kesan dan pesan yang ia dapat saat menenun. Dengan mendesain, ia juga jadi lebih tahu banyak tentang ulos. Elisa memang sangat bersemangat bila membahas soal ulos. Seperti yang sudah ia sampaikan sebelumnya, selain keberadaan kain khas masyarakat Batak ini sekarang sudah mulai dilupakan banyak orang, kurangnya perhatian pemerintah daerah juga menyebabkan ulos makin terpinggirkan. Berbeda jauh dengan kain-kain khas daerah lain yang justru makin mendapat tempat di hati masyarakat. Bukan hanya di lingkungan masyarakat itu sendiri, tapi juga meluas ke lingkungan luar wilayah masyarakat tersebut, seperti songket Palembang, Lombok, Bali, dan Sumbawa. Namun, meski perhatian tehadap ulos kurang, Elisa tetap bersemangat untuk mengembangkan ulos. Ia tetap menyimpan harapan, suatu saat ulos akan menjadi kain tenun kebanggaan masyarakat Sumatera Utara.
Saat ini, menurut Elisa, memang banyak orang yang tak paham ulos. Bahkan, di kampung-kampung, banyak orang yang mungkin karena faktor ekonomi, mulai banyak menjual ulos-ulos mereka yang notabene merupakan peninggalan keluarga. Dan oleh orang yang tahu harga dan sedikit 'nakal', ulos ini dibawa ke luar negeri untuk dijual kembali kepada kolektor seni. Tentu, Elisa sedih dengan kondisi tersebut. Karena menurutnya ulos-ulos yang diproduksi sekarang ini melenceng jauh dari keasliannya, dan jauh dari konsep yang sebenarnya. Sehingga tak ada histori yang bisa diambil dari ulos yang ada sekarang. Elisa bercerita, ia pernah mendapat ulos tua yang bagus dan minta dibuatkan motif seperti itu ke penenun. Tapi ternyata, penenun itu tidak bersedia memenuhi permintaannya, meskipun dibayar. Alasannya ternyata menyangkut masalah ekonomi. Untuk membuat ulos yang bagus itu, butuh waktu yang panjang hingga berbulan-bulan. Sedangkan untuk ulos yang biasa dibuat oleh penenun itu, hanya butuh waktu tiga atau empat hari. Ini juga yang menjadi kendala mengapa ulos original itu sulit untuk dikembangkan. Di satu sisi masyarakat butuh penghidupan yang layak. Di sisi lain, masyarakat pengguna ulos menuntut harga yang terjangkau. Ulos yang diproduksi dalam jangka waktu panjang pastilah harganya mahal, karena harus disesuaikan dengan upah penenun.
Berkaca dari masalah ini, maka menurut Elisa, pemerintah harus turun tangan memberi dukungan, namun bukan sekedar dukungan lip service atau janji-janji saja. Jika tidak, ulos bakal ditinggal, pun mungkin bisa hilang. Jangankan anak-anak atau para remaja, para orang tua sekarang pun sudah banyak yang tak kenal ulos lagi. Sebagai perempuan berdarah Batak, Elisa tentu ingin ulos tetap ada. Ia bermimpi di masa mendatang di sekolah-sekolah di Sumatera Utara diberikan materi tentang ulos untuk menjadi muatan lokal. Agar generasi muda tetap mengenal ulos dan agar keberadaan ulos tak hanya bisa ditemui di museum-museum di Belanda. Elisa berpikir, jika Sandra Neilson, seorang peneliti asing mau menghabiskan waktunya selama 30 tahun untuk tinggal di Sumatera Utara demi mempelajari ulos, maka kita yang bangsa Indonesia harus bisa melakukan upaya yang lebih. Bahkan kalau perlu dibuat semacam ketentuan, sebelum menikah, setiap anak Batak harus bisa membuat ulos.
Elisa pun tetap ingin memproduksi dan berusaha mengembangkan ulos agar bisa dekat dengan masyarakat lewat karya-karyanya. Agar anggapan ulos berbahan kain tertentu, yang lebih murah dan katanya tak nyaman dipakai bisa ditepis, ia mengkombinasikannya dengan bahan-bahan lain. Selain mengurusi ulos, Elisa juga memiliki hobi yang lain, yakni membuat kue. Dan ia turut bersyukur, keahliannya membuat kue ini ternyata bisa juga diandalkan. Kue produksinya sudah banyak juga yang menikmati. Pelanggannya mulai dari pegawai kantor gubernur, BUMN, BUMD, perguruan tinggi, dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar