Jumat, 19 Agustus 2016



Dengan peluh bercucuran, Iwan Febrianto mengendap-endap di antara semak pohon bakau. Matanya yang berada di balik moncong teropong mengamati dengan seksama ke arah ribuan burung yang sedang mematuk-matuk cacing laut di antara daratan lumpur pantai selat Madura yang sedang surut. Dedikasinya untuk dunia satwa, khususnya burung pantai migran, memang patut diacungi jempol. Selama belasan tahun ia blusukan ke pantai timur Surabaya (Pamurbaya) untuk mengamati ribuan burung pantai migran yang datang dari berbagai belahan benua lain. Menurut Iwan, semakin banyak burung di pantai, berarti semakin bagus kondisi alamnya. Dan di Indonesia sendiri, terdapat sekitar 63 jenis burung pantai dari 200 jenis lebih yang ada di dunia.

Setiap kali ingin mengamati burung, Iwan harus melihat dulu pasang surut air laut melalui internet. Bila sedang surut, barulah ia datang ke pantai, karena burung laut memang akan berkumpul mencari makanan di atas lumpur saat air laut surut. Apa yang dilakukan Iwan memang tidak biasa. Ia mengabdikan dirinya melakukan pengamatan dan riset untuk lingkungan, khususnya di habitat burung pantai migran. Untuk diketahui, burung pantai setiap tahun melakukan migrasi dari satu kawasan ke kawasan lain di berbagai belahan dunia.

Iwan sendiri menekuni dunia yang tidak biasa ini sejak tahun 1999. Awalnya, sarjana teknik sipil dari salah satu PTS di Surabaya ini diajak Klub Indonesia Hijau (KIH) untuk melakukan pengamatan burung air di kawasan Wonorejo, yang saat itu kondisi alamnya masih ‘perawan’ dan belum ada jalan setapak seperti sekarang ini. Burung air, menurut Iwan, adalah burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah, misalnya burung kuntul-kuntulan, bebek-bebekan, dan sebagainya. Burung air ini ada di pinggir laut, sawah, sungai, atau daerah yang tidak jauh dari air.

Saat bergabung dengan teman-temannya di KIH itu, Iwan hanya ikut mengamati, misalnya di mana burung-burung itu bersarang setiap hari, bagaimana mencari makan, berkembang biak, dan sebagainya. Dan dari sanalah, awalnya ia mencintai dunia ‘perburungan’. Namun dalam perjalanan waktu, tahun 2006 Iwan mulai bergeser dengan melakukan pengamatan pada burung yang lebih spesifik yaitu burung pantai migran yang banyak dijumpai di kawasan Wonorejo yang masih masuk kawasan Pamurbaya.

Burung pantai adalah bagian dari burung air tetapi lebih spesifik lagi, yakni burung yang hidupnya di habiskan di kawasan pantai. Burung-burung ini akan mencari makan di sela-sela pohon bakau atau di antara lumpur saat air surut. Padahal, secara spesifik burung pantai tak seberapa menarik, warnanya biasa-biasa saja, bahkan hanya hitam. Demikian pula suaranya, tidak merdu seperti burung-burung peliharaan lain. Namun, yang membuat takjub adalah justru bagaimana burung-burung itu mampu bermigrasi dari satu habitat ke habitat lain dengan jelajah terbang berjarak ribuan kilometer tanpa henti.

Makin lama mengamati, Iwan pun semakin kagum pada Sang Maha Pencipta. Burung yang hanya seberat 400 gram itu mampu terbang sejauh 4000 kilometer tanpa henti, melitas ke benua lain dengan perjalanan satu hingga dua minggu nonstop. Bahkan dalam literatur, burung pantai di Selandia Baru mampu menjelajah sejauh 14 ribu kilometer ke Alaska melintasi Samudera Pacific. Sementara burung yang ada di Wonorejo ada yang berasal dari Siberia, Rusia, Tiongkok, maupun Korea Selatan. Ketika di negara-negara itu sedang musim dingin, tidak ada makanan serta persaingan dengan sesama burung sangat tinggi, maka burung-burung itu kemudian terbang ke Indonesia.


Persoalannya, pada saat akan mempelajari burung pantai migran, Iwan mengaku kesulitan karena belum ada orang yang bisa diajak berdiskusi tentang ilmu burung pantai migran. Para ahli biologi memang mempelajari, tetapi belum ada yang secara spesifik mempelajari kehidupan burung pantai migran. Setelah mencari dari berbagai sumber, akhirnya Iwan menemukan beberapa ahli burung pantai di Australia. Begitu kenal, ia pun langsung menjalin komunikasi, walau sebatas melalui e-mail. Dari rekan-rekannya yang lebih ahli di luar negeri itulah, Iwan mulai belajar mem-banding atau memberi penanda pada kaki burung pantai yang berhasil di tangkap. Tanda berupa warna tersebut sesuai dengan protokol internasional dari East Asian Australian Flayaway Partnership (EAAFP) yang bermarkas di Korea Selatan.

Sebelumnya, Indonesia sudah memiliki warna hitam-oranye yang ditentukan sesuai aturan, tetapi hanya untuk wilayah Jawa. Itu pun sejak ditentukan puluhan tahun lalu belum pernah ada seorang pun yang menggunakan. Baru Iwan seorang diri yang kemudian mengajukan lagi dan membuat warna tambahan untuk wilayah baru, yakni Sumatera berwarna oranye-hitam, dan Papua berwarna oranye-oranye.

Tahun 2007, ketika musim flu burung menerpa, Iwan direkrut Worldlife Conservation Society (WCS) di Bogor. Pada saat awal bergabung, dia diberangkatkan ke Australia untuk mengikuti ekspedisi penelitian di pantai Australia Barat. Selama sebulan ekspedisi, ia bisa belajar banyak tentang burung pantai dari orang-orang yang selama ini ia kenal hanya lewat e-mail. Selama ekspedisi itu, setiap hari pekerjaannya bersama yang lainnya hanya menangkap burung, memberi label, kemudian melepaskan lagi. Pernah dalam sehari ia berhasil menangkap 700 burung. Seminggu kemudian pindah ke pantai lain, demikian seterusnya. Di sana, ia juga bertemu dengan peneliti-peneliti dari seluruh dunia. Selain ke Australia, oleh WBC Iwan juga sempat dikirim ke Inggris, Thailand, Kamboja, serta India.

Setelah keluar dari WBC di awal tahun 2011, Iwan kemudian kembali lagi ke ‘habitat’ asalnya di Pamurbaya, Surabaya. Ia kembali melakukan pengamatan sekaligus mem-banding burung-burung yang berhasil ditangkap. Salah satu pekerjaan yang dilakukan Iwan adalah mem-banding sebulan sekali. Untuk menangkap burung-burung yang akan di-banding, ia menyebar jala lembut di atas tambak di sekitar pantai Wonorejo pada sore hari. Pada malam harinya, burung-burung pantai akan terbang dan berpindah lokasi setelah laut pasang.

Saat pindah ke tambak tersebut, burung pantai migran akan tersangkut di jala yang dibentangkan. Begitu tersangkut, Iwan bersama beberapa rekannya yang sudah ia latih, melepaskan burung dari jala dengan hati-hati agar tubuh burung tidak cedera. Yang unik, burung itu dilepas dari jala di tengah kegelapan malam, tanpa boleh sedikit pun menggunakan bantuan cahaya kecuali cahaya alam, bintang, dan rembulan. Ini supaya tidak mengganggu burung yang lain. Jadi, begitu jala ditarik dan ada burung yang terperangkap, maka burung-burung itu akan segera dilepas dari jala kemudian dimasukkan ke kantong. Setelah dimasukkan ke kantong, burung itu segera dibawa ke base camp. Di dalam base camp, burung itu diberi label pada kakinya. Di label kecil itu terdapat data burung, mulai dari jenis burung, tanggal penangkapan, berat dan besarnya, serta data lainnya. Data-data tersebut selain dicetak di gelang yang akan dipasang di kakinya, juga dicatat tersendiri dan dilaporkan ke LIPI serta EAAFP yang ada di Korea Selatan.

Yang tak kalah penting, proses sejak dikeluarkan dari kantong sampai memberi label harus dilakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak menyakiti burung dan burung juga tidak stres. Prosesnya juga tidak boleh lebih dari tiga menit. Begitu selesai ditempeli label, burung langsung dilepaskan lagi ke alam liar dan hidup bebas di habitatnya lagi. Dalam sekali jala, bisa didapatkan 5 sampai 20 ekor burung. Burung-burung yang telah diberi label tersebut, nantinya akan diketahui bermigrasi ke negara mana setelah tertangkap kamera atau tertangkap jala penangkap burung seperti dirinya yang ada di berbagai negara. Pada musim burung migrasi datang, Iwan bisa dua hari sekali datang ke Pamurbaya untuk melakukan pengamatan maupun penangkapan. Biasanya burung pantai yang bermigrasi ke Wonorejo atau wilayah Indonesia lain datang pada bulan Oktober, saat negara belahan timur dunia sedang dilanda musim dingin. Setiap bermigrasi, burung-burung itu datang secara bergerombol mencapai 35 ribu sampai 40 ribu burung.

Iwan sendiri saat ini berusaha mencari siapa saja yang berminat untuk memperdalam ilmu burung pantai migran. Ia ingin sekali bisa berbagi ilmu supaya makin berkembang. Saat ini memang tidak banyak orang yang berminat terjun secara total seperti dirinya. Karena memang tidak membawa banyak keuntungan materi. Iwan sendiri mengaku tidak mencari materi dari aktivitasnya ini. Karena ini lebih memberikan kepuasan batin. Karena dianggap orang paling ahli yang ada di Indonesia, tak jarang Iwan diminta berbicara di depan para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Dan ia merasa senang saat ini sudah ada beberapa orang yang mengikuti kiprahnya, meski jumlahnya tidak banyak.

0 komentar:

Posting Komentar