Ia menekuni
profesi sebagai seorang human lie
detector, sebuah profesi unik yang masih jarang digeluti orang. Pria yang
juga suami dari Deborah Dewi, pakar grafologi ini, bahkan merupakan pionir di Tanah
Air. Lulusan postgraduate Behavior
Analysis and Investigative Interview (BAII) dari Manchester, Inggris, ini
memiliki misi membagikan ilmu dan mengenalkannya kepada publik di Indonesia.
Handoko
menjelaskan, secara fungsi human lie detector
sedikit berbeda dengan lie detector machine
atau mesin yang bisa mendeteksi kebohongan. Bila mesin pendeteksi menggunakan
alat tambahan, sementara human lie
detector memanfaatkan alat indera dan sumber dari diri tanpa bantuan alat
sama sekali. Jadi besaran ilmu ini berpusat pada ekspresi wajah. Karena ilmu ini
masih terhitung baru, maka Handoko pun harus mempelajarinya dengan pergi ke
Manchester, Inggris, untuk mengambil postgraduate
di BAII. Dan sampai saat ini, di Indonesia sepertinya hanya ia satu-satunya human lie detector yang lulusan BAII. Karena
kebanyakan pakar yang sudah ada sebelumnya, hanya mempelajari ilmu forensik seperti
Forensic Emotion Reliability and
Deception.
Handoko
mengaku, kebetulan ia termasuk orang yang memiliki rasa ingin tahu yang cukup
tinggi dan memang tertarik dengan ilmu sosial dan forensik. Sayangnya, dulu ia
belum berkesempatan mempelajari ilmu itu karena terlanjur mengambil studi S1 di
Universitas Trisakti, jurusan Ekonomi Manajemen, dan melanjutkan program master
di Philipina dengan major Marketing.
Tapi ternyata, keinginan yang sudah lama itu, kembali hadir saat ia melihat
serial teve detektif yang berjudul Lie To
Me. Karena penasaran, ia lalu mencari lebih dalam mengenai teknik BAII yang
ada pada serial tersebut. Dan akhirnya ia menemukan bahwa ada seorang profesor bernama
Paul Ekkman yang secara ilmiah telah menemukan ilmu ini dan ternyata
perkembangannya cukup fenomenal, karena kerap digunakan dalam dunia
kriminologi. Informasi yang ia kumpulkan melalui browsing pun semakin banyak. Di situ pula ia jadi tahu bahwa Paul
Ekkman mendirikan Paul Ekkman International Group yang berpusat di Manchester.
Menurut
Handoko, human lie detector merupakan
ilmu sosial yang langsung berhubungan dengan manusia yang dinamis. Maka tentu
akan banyak hal menarik yang bisa diteliti dengan ilmu ini. Sementara istrinya
sudah mempelajari ilmu grafologi yang mampu melihat karakter seseorang melalui
medium tulisan tangan, sedangkan ia bisa melengkapinya dengan meneliti dari
ekspresinya. Handoko bisa melakukannya dengan tatap muka ataupun dengan bantuan
media seperti video. Dan tentu ini lebih paktis dengan tingkat validitas yang
juga cukup tinggi. Menariknya lagi, ini adalah hal yang baru baginya, dan lewat
ilmu ini ia bisa mengenali sisi tersembunyi manusia. Bisa menemukan fakta yang
orang lain tidak tahu juga merupakan kepuasan tersendiri. Singkatnya, ia bisa
memastikan apa yang selama ini baru diduga menjadi ke arah yang pasti. Ketika
berbicara dengan menggunakan teknik analisa ekspresi, maka akan bisa diketahui
apakah ekspersi yang ditunjukkan itu sama dengan emosi yang ada di dalamnya. Juga
apakah ekspresi verbal yang diucapkan sama dengan emosi yang berada di dalam.
Maka ilmu ini bisa digunakan untuk kepentingan lembaga berkekuatan hukum,
sebagai saksi ahli dalam persidangan, dan untuk kehidupan sehari-hari. Namun
yang jelas ilmu ini sama sekali bukan bagian dari metafisika.
Saat ini Handoko
aktif terlibat di media sosial untuk mengenalkan ilmu ini secara viral dan
membuat komunitas Lie Detector. Ia
juga memberikan workshop, salah
satunya pada Festival Bohong Indonesia (FBI) 2015. Di workshop itu ia mengajarkan bagaimana ilmu ini bisa digunakan dan
diterapkan untuk kebutuhan sehari-hari dan membantu tidak hanya pada kasus kriminal.
Selain itu, Handoko juga terlibat dalam beberapa pengusutan kasus kriminal,
seperti pencemaran nama baik, sebagai sumber pendukung. Idealnya ia memang
harus bekerja sama dengan institusi penegak hukum, yang saat ini sedang mengarah
ke sana. Sementara ini ia masih sebatas menjadi sumber pendukung dan belum
berurusan dengan lembaga berkekuatan hukum secara penuh.
Mengenai FBI,
Handoko menjelaskan bahwa sebenarnya itu adalah sebuah solusi untuk menjawab
kebutuhan semua orang. Menurutnya, ilmu human
lie detector ini tidak bisa dieksklusifkan hanya untuk institusi hukum
saja, tetapi juga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saat
memilih Asisten Rumah Tangga (ART), membawa diri di lingkungan kerja agar bisa
menjadi teamwork yang baik, dan
membaca perilaku pasangan yang berbohong atau selingkuh. Memang, ke depannya,
ilmu human lie detector ini akan
banyak dibantu oleh teknologi. Tetapi sebelum menuju ke sana, manusianya harus
bisa mengenal dan menguasai dasarnya dulu, jadi ketika sudah ada alat yang digunakan
bisa lebih dimaksimalkan.
Lewat FBI,
Handoko memang ingin orang bisa tahu bahwa ilmu human lie detector bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan
saat ini ia masih berusaha mengenalkan ilmu itu ke publik. Ia pun juga harus
dinamis karena yang dipelajarinya juga manusia. Jadi tanpa ada passion dan keinginan untuk memahami
manusia, tidak akan bisa. Sebagai manusia, tentu ia juga punya rasa takut. Tapi
ia tetap termotivasi untuk bisa menunjukkan fakta lain yang orang lain tidak
bisa lihat. Di luar negeri, perkembangan ilmu ini diceritakan Handoko sudah sangat
luar biasa. Sementara di Indonesia masih baru. Maka sebelum memutuskan untuk
mempelajari ilmu ini, ia harus berdiskusi dulu dengan sang istri, dan sudah
terbayang kalau nantinya memang akan penuh tantangan. Awalnya, sama seperti
cabang ilmu lain, semisal grafologi, belum dilirik dan masih dianak tirikan,
tetapi akhirnya bisa berkembang pesat. Perbedaannya pun cukup besar. Kalau di
luar negeri sudah mulai digabungkan dengan bantuan teknologi yang makin
canggih, bahkan sudah digunakan alat yang bisa membaca gerak-gerik manusia yang
diduga akan melakukan tindakan destruktif.
Karena
termasuk bidang yang baru di Indonesia, maka ilmu human lie detector ini sebetulnya bisa digabungkan dengan beberapa
disiplin ilmu lain, seperti psikologi, neurologi yang terkait dengan otak dan
memori khususnya, kriminologi, dan forensik. Positifnya, hasil penggabungan 4
ilmu ini sangat fleksibel dan bisa digunakan lebih banyak dan disesuaikan
dengan kebutuhan. Untuk lembaga yang berkekuatan hukum, tentu ini bisa menjadi
tambahan ilmu yang bisa memperkaya penyelidikan. Selain itu bisa juga digunakan
oleh perusahaan-perusahaan. Di Indonesia, banyak kasus internal perusahaan yang
sungkan dilaporkan ke kepolisian karena beberapa faktor, seperti nilainya
terlalu kecil untuk dilaporkan, atau ada hal tertentu yang mereka tidak ingin
pihak luar tahu. Jadi peluangnya sangat besar dan prospektif.
Bekal ilmu
yang ia dapatkan ini pun, tentu saja Handoko aplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya, saat mencoba memahami keinginan anaknya, ketika usianya
belum genap 2 tahun, dan belum bisa berbicara. Saat itu ia melakukan pendekatan
secara psikologi, dengan melihat ekspresi wajah si anak. Ketika si anak mulai
memukulkan tangan ke kepala, itu tandanya dia hendak mengutarakan sesuatu. Itu
hanya sebatas contoh kecil yang bisa diterapkan. Di kantor pun, ia bisa
mendeteksi teman kerja sehingga dirinya bisa bersikap yang sesuai. Juga untuk
kepentingan yang lebih besar, misalnya ketika ia harus berurusan dengan
orang-orang yang berpotensi melakukan tindakan destruktif. Jadi intinya, banyak
keuntungan yang bisa ia dapatkan lewat ilmu ini.
Handoko pun
merasa bersyukur sekali mendapat dukungan penuh dari istrinya untuk melakukan
pekerjaan ini. Baginya, sang istri tak hanya sekadar menjadi teman hidup,
tetapi bisa pula diajak berdiskusi dan bekerja sama. Contohnya saat agenda FBI
2015 lalu, mereka berdua membagikan ilmu lewat workshop sesuai kemampuan masing-masing. Dan justru dengan
penggabungan ilmu keduanya, ia dan sang istri bisa melengkapi satu sama lain.
Walaupun memiliki medium dan tehnik yang berbeda, tetapi mereka memiliki visi
dan misi yang sama, yakni membagikan ilmu yang bermanfaat untuk membuat
kualitas hidup menjadi lebih baik. Sejak awal, saat mengambil kelas postgraduate, Handoko pun telah meminta
masukan dan berdiskusi dengan istrinya. Jadi kalaupun sekarang ia sibuk dengan
kegiatan investigatif, sang istri sudah paham.
Dalam jangka panjang,
Handoko ingin membuat pelatihan yang bisa diakses oleh banyak orang dan bisa massal,
dengan harga yang terjangkau. Sistem pertama akan dibuat dengan kelas online dahulu. Baru bila ingin lebih
serius, masuk pelatihan ke tingkat yang lebih tinggi. Fungsinya pun nanti juga
untuk membantu tugas-tugas profesional dalam lembaga hukum seperti hakim,
polisi, dan sebagainya. Ke depan, ia juga akan mengawinkan antara teknologi
dengan human lie detector. Dan ia
juga ingin melanjutkan ilmu ini dengan tingkatan gelar master atau Phd. Jadi ilmu yang ia dapat bisa lebih dalam dan luas
dan tentunya semakin bermanfaat untuk orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar