Tak kenal
lelah perempuan sederhana ini mengenalkan jamu gendong, termasuk ke kalangan
atas. Tak heran, jamunya bisa dinikmati presiden, menteri, juga orang asing.
Hebatnya, meski diimingi beragam
fasilitas, Lasmi menolak waktu ditawari untuk mengajar cara pembuatan jamu di
negara tetangga.
Lasmi
bercerita, ia sudah mulai berjualan jamu sejak umur 12-13 tahun. Semasa kecil
ia tinggal di Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Ibunya sehari-hari
berjualan jamu di Pasar Sukoharjo. Sebelum ibunya, neneknya pun dulu juga
berjualan jamu. Jadi resep jamunya turun temurun. Sejak umur 10 tahun, Lasmi
sudah membantu ibunya membuat jamu dan berjualan di pasar. Awalnya ia hanya
membantu membawakan botol jamu dari rumah ke pasar. Kalau di pasar habis, ia
yang mengambilkan ke rumah. Lama-kelamaan, ia pun ingin berjualan sendiri.
Sebelum
berjualan jamu gendong, Lasmi diminta belajar cara menggendong tenggok (bakul) jamu terlebih dulu, lalu
bolak-balik disuruh menaikkan dan menurunkan tenggok itu. Menurut Lasmi pelajaran itulah yang paling susah.
Selain itu ia juga disuruh latihan berjalan, lalu ibunya berpura-pura membeli.
Saat belajar menggendong itu, botol kaca hanya diisi air. Meskipun berat, tapi
Lasmi tetap ikhlas melakukannya. Karena Lasmi yang merupakan anak kedua dari
empat bersaudara ini, harus membantu orangtuanya membesarkan adik-adik. Setelah
bisa, ia pun mulai berjualan jamu dengan berjalan kaki keliling kampung.
Sekitar umur 20 tahun, Lasmi pindah ke Surabaya. Sampai menikah dan melahirkan
anak pertama, ia masih di Surabaya sambil berjualan jamu dengan sepeda.
Sayangnya selama 10 tahun di sana, tidak ada peningkatan hasil meskipun setiap
hari jamunya habis. Akhirnya, Lasmi memutuskan mengikuti jejak kakak
perempuannya yang sudah lebih dulu pindah ke Jakarta dan berjualan jamu di
Jakarta.
Pilihannya
pindah ke Jakarta saat itu karena ia ingin hidupnya lebih meningkat dan ingin
agar jamunya lebih dikenal di Jakarta. Walaupun Lasmi mengaku, saat itu sempat
pesimis apakah ia akan kerasan di Jakarta. Setelah sempat pulang ke Sukoharjo
sebentar, akhirnya, bersama anak dan suaminya, Lasmi pun berangkat ke Jakarta
pada 1982. Menurut suaminya kala itu, tak ada salahnya mencoba mengadu nasib di
Jakarta. Di Jakarta, Lasmi kembali berjualan jamu gendong dan menumpang di rumah
kakaknya. Awal dirinya berjualan, kakaknya mengikutinya dari belakang untuk
mengawasi apakah ia bisa menyeberang jalan yang ramai atau tidak. Karena merasa
tidak kuat, akhirnya Lasmi memilih berjualan jamu dengan naik sepeda.
Beruntungnya, setiap hari jamunya habis dan penghasilannya lebih baik dibanding
di Surabaya. Hingga lama kelamaan, Lasmi dan suami bisa mengontrak rumah
sendiri. Untungnya pula, waktu itu ia tinggal di lingkungan penjual jamu
gendong di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, bahkan sampai sekarang.
Jadi temannya cukup banyak.
Di tahun 1989,
Lasmi membentuk paguyuban jamu gendong Lestari dan ditunjuk menjadi ketua. Kebetulan,
di lingkungannya, sederetan rumah dari ujung ke ujung semua penghuninya adalah penjual
jamu gendong dari Jawa. Lasmi membentuk paguyuban ini untuk menyatukan
teman-temannya yang tinggal satu lingkungan agar merasa aman dan kompak saat
berangkat dan pulang berjualan. Paguyuban ini juga menjadi wadah komunikasi
bagi 30 orang anggotanya. Awalnya, masing-masing punya resep sendiri-sendiri.
Tapi lama kelamaan resepnya menjadi satu agar rasanya sama. Di paguyuban itu
ada pula iuran uang khas yang gunanya untuk membantu sesama anggota yang sedang
mengalami kesusahan, ingin mengadakan hajatan, dan lainnya. Semuanya
dilaksanakan secara gotong royong. Selain itu, setelah ada paguyuban,
penghasilan anggotanya meningkat bisa sampai dua kali lipat, termasuk Lasmi
sendiri.
Tahun 2001,
Lasmi mengikuti lomba jamu gendong yang diadakan Martha Tilaar di Taman Mini
Indonesia Indah dan berhasil mendapat juara satu. Setelah itu, ia semakin rajin
mengikuti lomba jamu gendong, termasuk lomba ratu jamu gendong yang diadakan sebuah
perusahaan jamu, dan ia kembali mendapat juara pertama. Karena rajin ikut
lomba, orang-orang pun jadi mengenalnya. Padahal tujuannya mengikuti berbagai
lomba sekedar ingin memotivasi dirinya saja. Kalau kalah, ia jadi tahu
kekurangannya di mana, dan kalau menang ia juga jadi tahu apa faktornya.
Yang
menyenangkan, setelah bergabung dalam Gabungan Pengusaha Jamu (GPJ), jaringannya
dalam dunia jamu pun makin berkembang. Lasmi sering diajak tampil menyediakan
jamu dalam berbagai acara yang diadakan di
Jakarta, termasuk yang dihadiri Presiden. Maka dengan bangganya, Lasmi
bercerita bahwa jamunya pernah dinikmati Presiden Soeharto dan Presiden SBY.
Lasmi juga kerap diajak menyediakan jamu untuk sebuah acara Himpunan Pengusaha
Muda Indonesia di Jakarta, yang dihadiri Joko Widodo, tak lama setelah menjadi
presiden. Ada cerita unik di acara itu, ketika baru saja ia meletakkan gelas
berisi jamu dan belum sempat mempersilahkan, Presiden Jokowi langsung mengambil
sendiri dan meminumnya. Presiden Jokowi memang gemar minum jamu. Tak lama
kemudian, Jokowi segera mencanangkan setiap kementerian harus mengadakan
kegiatan minum jamu bersama. Lasmi lalu diajak untuk mempromosikan jamu gendong
dari satu kantor kementerian ke kantor kementerian lain. Total saat ini, sudah
ada 12 kantor pemerintahan yang berlangganan jamu.
Walau sebenarnya
usaha jamunya sudah berkembang sejak lama, tapi Lasmi merasa kenaikan secara drastis
sampai 90 persen sejak ada pencanangan minum jamu itu. Setiap ada event apa saja di kementerian, pasti
jamunya dipesan. Belum lagi, Lasmi juga sering diajak ikut pameran selama beberapa
hari oleh berbagai kementerian, misalnya di Jakarta Convention Centre. Dulu,
Lasmi hanya membuat jamu kunyit asam, beras kencur, sambiroto, temulawak, dan
sebagainya. Tapi sekarang sudah makin berkembang. Antara lain, kini sudah
ditambah bir pletok (secang) dan sanapis, yaitu sawi, nanas, jeruk nipis, yang
ia buat sejak 2012. Waktu itu ia membuatnya untuk mengikuti lomba di
Kementerian Pertanian. Bila permintaan sedang banyak, misalnya 150 gendongan, sesama
anggota paguyuban akan membuatnya ramai-ramai. Jamunya dibuat langsung satu
kali dalam sebuah dandang besar, agar rasanya seragam dan menghasilkan 100
botol sekali masak.
Jamu buatan
Lasmi sangat disukai banyak kalangan, karena ada ciri khas tersendiri. Misalnya,
untuk beras kencur warnanya agak hitam karena disangrai. Jamunya juga sudah
mendapatkan pengakuan Bebas Kimia Obat (BKO) dari BPOM, karena memang tidak
menggunakan pengawet maupun bahan kimia. Memang, jadi tidak tahan lama. Sehari
setelah dibuat sudah basi. Itu sebabnya, ketika direbus siangnya, hanya dibuat
setengah matang saja. Jamu baru dimatangkan pada tengah malam sampai pagi. Dan
Lasmi selalu menggunakan air isi ulang saat merebus bahan jamu. Sampai sekarang
ia juga selalu memakai botol kaca, mempertahankan apa yang sudah dilakukan
sejak zaman neneknya. Oleh karena itu, bila sedang memberi penyuluhan ke
teman-teman sesama penjual jamu gendong, ia selalu mengingatkan untuk memakai
botol kaca, jangan botol plastik. Kalau ada yang tidak punya botol, boleh minta
padanya. Apalagi, Lasmi juga sudah mendapat bantuan sumbangan botol kaca dari
sebuah kementerian, yang ia bagikan bekerja sama dengan BPOM dan sebuah
perusahaan jamu. Lasmi juga selalu mengajak teman-temannya untuk membuat jamu
yang benar-benar higienis, jangan dicampur bahan lain apa pun.
Selain botol,
Lasmi juga mendapat bantuan 150 sepeda baru dari Kementerian Perdagangan, yang
juga langsung ia bagikan. Dengan memakai sepeda, teman-teman penjual jamu pun
tidak terlalu berat membawa jamunya dan juga bisa menghemat waktu. Kalau
biasanya berkeliling jualan setiap pagi dan sore, setelah ada sepeda jualannya
bisa satu kali saja tapi dengan jumlah bawaan yang lebih banyak. Sehingga waktu
sore bisa dipakai untuk istirahat. Dulu, cerita Lasmi, ia juga berjualan
seperti itu, tiap pagi dan sore. Tapi lama-kelamaan karena capek, ia lalu naik
sepeda. Sementara sekarang, Lasmi berjualan jamu sudah memakai motor. Jamu yang
dibawa pun juga bisa lebih banyak.
Selama
berjualan jamu, tentu banyak pengalaman berkesan yang dialami Lasmi. Salah
satunya, ia pernah mendapat pesanan 1000 botol jamu. Lalu ada kenalannya yang
mengajari untuk memakai benzoat sebagai pengawet dengan takaran tertentu. Saat
itu, bolak-balik tangan Lasmi yang sudah memegang benzoat maju mundur di atas
dandang berisi jamu yang sedang dimasak, karena merasa itu bertentangan dengan
nuraninya. Akhirnya, benzoat itu ia lempar ke halaman depan rumah produksi,
batal ia pakai. Sampai sekarang pun, Lasmi tidak pernah memakai bahan kimia
saat membuat jamu. Karena yang mencicipi jamunya adalah dirinya sendiri dulu,
otomatis bila memakai benzoat itu sama saja ia meracuni diri sendiri.
Pilihannya itu memang sempat dikomplain oleh teman-temannya. Ada yang
mengatakan usahanya tidak akan maju bila terus berpikir seperti itu. Namun, Lasmi
menerangkan, usahanya memang ingin maju tapi tetap dengan cara yang alami.
Lasmi juga
pernah diminta Kementerian Kesehatan Malaysia untuk mengajar cara membuat jamu
di Malaysia. Walaupun diiming-imingi berbagai fasilitas, tawaran itu ia tolak
karena Lasmi tahu bahwa jamu gendong sampai sekarang belum dipatenkan. Maka,
sekalipun dijanjikan honor besar untuk mengajar jamu di luar negeri, Lasmi tetap
tidak akan mau, karena ia lebih mengejar kepuasan diri sendiri. Jadi, kalau
jalan-jalan di negara lain, ia hanya menginginkan untuk refreshing saja, bukan untuk menumpahkan ilmu. Sebetulnya, menurut
Lasmi, ia adalah orang yang tidak bisa menyembunyikan ilmu. Namun untuk
mengajar membuat jamu di luar negeri ia memang belum siap, karena merasa orang
Indonesia masih banyak yang membutuhkannya. Lasmi juga khawatir, bila ilmu
jamunya ditumpahkan ke luar negeri, maka kemungkinan dijiplak dan dipatenkan
sangat ada. Dan Lasmi tidak tahu, apakah pemerintah saat ini sudah berencana
untuk mematenkan jamu gendong atau belum.
Tapi untuk
mengajar membuat jamu di dalam negeri, Lasmi masih bersedia. Bahkan sudah sejak
2011 ia sering berkeliling ke berbagai daerah untuk mengajar cara membuat jamu,
termasuk sampai ke Papua. Jamu yang dibuat tentu disesuaikan dengan
ketersediaan bahan yang ada di daerah yang ia kunjungi. Selain tukang jamu,
yang ikut pelatihan itu juga banyak dari kalangan ibu rumah tangga dan
pengangguran. Selain mengajar, Lasmi juga makin banyak diundang ke berbagai
acara, baik untuk tampil menyediakan jamu, atau memberikan penyuluhan. Bila
dalam waktu bersamaan ada acara yang mengharuskannya hadir, maka ia dan
teman-teman di paguyuban akan berbagi tugas. Atau kadang, Lasmi juga berbagi tugas
dengan anak keduanya yang sekarang juga menggeluti jamu. Sementara bila sedang
tidak ada kegiatan, Lasmi pun masih mau berkeliling berjualan jamu.
Di tahun 2015,
Lasmi mendirikan perkumpulan tukang jamu gendong seluruh Indonesia dengan nama
Perkumpulan Laskar Jamu Gendong Indonesia. Di DKI Jakarta saja, anggotanya
sudah 1.500. Bila ada bantuan yang ingin disalurkan, Lasmi tinggal menghubungi
ketua kelompok masing-masing. Impian Lasmi ke depan, ia ingin jamu gendong juga
bisa go international seperti halnya
batik. Lasmi dan teman-temannya sedang berjuang agar jamu gendong terus
dilestarikan. Secara pribadi, Lasmi juga ingin memiliki kafe jamu dengan
jamu-jamu yang diinovasi, sehingga anak-anak muda mau dan senang minum jamu.
Lasmi bersyukur, bila dulu jamu gendong hanya dipandang sebelah mata, sekarang
sudah punya pamor.
Mohon info nya dong, Sentra pembuatan jamu tradisional di sekitar Ciomas, Bogor Barat atau sekitar Bogor kota, saya mau ambil limbahnya secara rutin.
BalasHapusBoleh hubungi WA sy: 081310554153