Sejak bergabung dengan lembaga pengendalian tembakau, Siti Masyitah Rahma giat mensosialisasikan bahaya merokok. Ia melakukannya tak hanya ke seluruh jejaring lembaga tempatnya bekerja, tapi juga ke kampus, masyarakat kelas bawah, ibu hamil, dan turut mengadvokasi pemerintah. Bidang kesehatan bukan hal baru bagi perempuan yang akrab disapa Ita Rahma ini. Sejak aktif di Muhammadiyah, dan diajak Tuti Suroyo yang sudah lebih dulu berkecimpung di bidang pengendalian tembakau tahun 2009, Ita tergerak untuk berpartisipasi. Sebelumnya, ia sudah tahu bahwa rokok memang bisa menimbulkan penyakit, tapi dianggap tidak terlalu berbahaya. Malah baginya itu menjadi hal biasa.
Namun, pola
pikirnya berubah setelah kantornya bekerja sama dengan Indonesia Tobacco Control Network (ITCN) untuk mendukung
pengendalian tembakau di Indonesia. ITCN terdiri dari berbagai organisasi yang
peduli pada pengendalian tembakau. Di situ Ita baru mengetahui, ternyata bahaya
merokok sangat luar biasa dan di luar negeri yang diiklankan besar-besaran
adalah bahaya rokok, daripada produk rokoknya. Sejak itulah, ia giat
mempelajari masalah pengendalian tembakau di Indonesia. Masalah tembakau
ternyata tidak sederhana, karena di dalamnya ada unsur politik dan ekonomi.
Meski tak turun ke lapangan tiap hari, perempuan yang menyebut dirinya sebagai relawati ITCN ini menjadi tim peneliti untuk pembuatan roadmap pengendalian tembakau Indonesia. Tak jarang, dia juga melakukan advokasi ke pemerintah serta melakukan kampanye ke masyarakat. Ita juga giat mensosialisasikan pada masyarakat bahwa merokok bukanlah tren. Bahkan sang suami, Karl N. Brandt, yang berasal dari Australia, mengatakan bahwa merokok adalah hal bodoh, karena di negaranya harga rokok sangatlah mahal. Kalau orang asing saja tidak mau merokok, tapi kenapa masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa merokok itu keren ?
Ita, yang bersyukur memiliki suami yang bukan seorang perokok ini, selalu melakukan sosialiasi dalam setiap kesempatan. Pernah, ketika sedang berjalan kaki di lingkungan dekat rumahnya, dan mendapati sejumlah remaja putri merokok, ia langsung berhenti untuk bertanya alasan mereka merokok. Para remaja putri itu menjawab, bahwa mereka merokok agar kelihatan keren. Dalam pikiran mereka, merokok bisa menarik perhatian pria. Ironisnya, pada keluarga miskin di Indonesia, anggaran belanja terbesar kedua setelah beras adalah rokok. Ketika berkunjung ke Nusa Tenggara Timur, Ita prihatin melihat mereka yang merokok dalam jumlah banyak tapi mengaku tak punya uang. Ita yang selalu memilih kalimat bernada positif ketimbang larangan saat bersosialisasi ini, lalu menyarankan mereka agar mengurangi uang rokok agar bisa menabung untuk biaya kelahiran dan pendidikan anaknya.
Begitu pula sosialisasi pada ibu hamil yang merokok. Kebetulan, Ita menjadi Senior Program Manager di Emas Program, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada pencegahan kematian ibu melahirkan dan bayinya. Menurut Ita, penelitian di luar negeri menyebut merokok yang dilakukan perempuan hamil bisa berpengaruh pada fungsi paru-paru janin, bahkan mengakibatkan sudden death syndrome. Belum lagi risiko pre-eklampsia. Namun, membuat orang berhenti merokok bukan perkara mudah. Ada yang berdalih kalau tidak merokok tidak bisa bekerja, dan efeknya malah tidak bisa mendapatkan uang buat anaknya.
Sadar begitu sulitnya mendapatkan efek positif bila mempersuasi perokok secara personal, bersama rekan-rekannya di ITCN, Ita pun mengadvokasi pemerintah untuk membuat kebijakan tentang pengendalian tembakau, termasuk di dalamnya soal konsumsi rokok. Antara lain, harganya dibuat mahal sehingga remaja tidak mampu membeli dan orang dewasa harus berpikir dua kali. Selain itu, pembelian dibuat tak bisa satuan, melainkan harus satu slop. Seandainya peraturan tentang rokok di Indonesia dijalankan sekarang pun, menurut Ita, butuh waktu 5-10 tahun untuk sampai pada kondisi itu. Selain itu, pihaknya juga mengadvokasi agar iklan rokok benar-benar tidak dipublikasikan di mana pun. Sebab, bila anak kecil melihat merokok bukan masalah, dia akan meniru.
Di tahun 2010 lalu, Ita sempat diminta mendampingi Christof Putzel, seorang video jurnalis asal Amerika, untuk membuat video jurnalistik tentang tembakau di Indonesia. Melihat iklan rokok bertebaran di mana-mana di Indonesia, telah mengingatkan Christof pada suasana Amerika di tahun 1980-an. Bersama ITCN Ita pun juga kerap menyuarakan kawasan tanpa rokok di ruang publik. Ini sesuai amanat undang-undang kesehatan. Sebab, perokok pasif juga ikut mendapat efek bahayanya. Tanpa sadar, ketika duduk di halte, misalnya, kita bisa terpapar asap rokok.
Sebetulnya peran pasangan, dalam hal ini perempuan, karena kebanyakan yang merokok adalah pria, sangat penting dalam keluarga. Sayangnya, menurut Ita, meski tahu asap rokok berbahaya, umumnya istri tak mampu melarang suaminya merokok di dalam rumah. Ita menyarankan para istri untuk tidak memarahi suami yang merokok. Karena makin dimarahi, akan makin membuat suami tidak mau berhenti merokok. Tapi ajaklah suami berhenti merokok dengan hati dan cinta. Misalnya, paparkan apa saja kebutuhan yang belum tersedia uangnya dan ajak suami mengurangi rokok untuk itu. Ita juga menyayangkan banyaknya acara dan kegiatan anak muda yang disponsori rokok, misalnya konser, pertandingan olahraga, bahkan pendidikan. Karena itu berarti telah ikut juga mempromosikan rokok. Bahkan banyak juga warung rokok di pinggir jalan yang dicat dengan identitas merek rokok tertentu. Merokok dibuat seolah-olah hal yang normal.
Berkecimpung di bidang ini bukannya dijalani Ita tanpa resiko. Tak lama setelah lembaganya mengeluarkan fatwa haram untuk rokok ia berkunjung ke petani tembakau di Temanggung, kota yang dikenal sebagai salah satu penghasil tembakau terbaik di Indonesia. Ita mengaku sempat deg-degan, bahkan tidak berani turun dari mobil. Karena melihat dirinya saja, para petani itu sudah marah. Setelah diskusi dilangsungkan, barulah para petani itu mengerti bahwa yang ia suarakan adalah semata-mata untuk kesehatan, bukan melarang petani menanam tembakau. Pernah juga ia mendapat tawaran kerja sama program untuk mengurangi aktivitas merokok di kalangan anak muda dari sebuah perusahaan rokok. Tapi tawaran itu ia tolak, karena sudah pasti visi misi antara dirinya dengan perusahaan itu akan berbeda. Sementara bila menerima intimidasi saat berada di dalam sebuah forum, bagi Ita, sudah dianggap hal yang biasa.
Ita bersyukur, sekarang Departemen Kesehatan sudah mulai gencar mensuarakan bahaya rokok. Sepertinya Indonesia sebentar lagi akan mempunyai bungkus rokok putih yang bergambar peringatan bahaya merokok. Sudah ada peraturan pemerintah yang menyatakan, beberapa persen dari bungkus rokok akan dicetak gambar peringatan. Di setiap menyambut Hari Anti Tembakau Sedunia, ITCN pun akan selalu mengaakan Indonesian Conference on Tobacco or Health.
0 komentar:
Posting Komentar