Menyebut diri sebagai sociopreneur, semangat hidup Syarifah Aliyyah Shihab tetap menyala ketika dokter memvonisnya terkena penyakit lupus. Aliyyah pun aktif di kegiatan sosial dan menjadi motivator untuk banyak orang. Kegiatan perempuan berdarah Arab ini, sejak tahun 2007 adalah kerap melakukan road show ke sekolah-sekolah di seputaran Jawa Barat. Tujuannya untuk memotivasi dan memberi workshop singkat tentang belajar menulis buku fiksi dan non fiksi, sekaligus mengedukasi para pelajar tentang penyakit lupus. Aliyyah ingin menginspirasi para remaja agar bisa bekarya sesuai hobi atau kemampuannya. Lainnya, ia juga aktif dalam komunitas Pinky Hijab yang didirikannya. Juga membuat album religi dan menjadi narasumber di 30 jaringan teve lokal serta radio se-Indonesia, untuk menjadi motivator bagi remaja.
Profesinya
memang tak ada yang pasti. Ia menjadi penulis karena memang suka. Sementara menjadi
motivator karena ingin berbagi. Semua ini bermula ketika ia menerbitkan novel
pertama, The Power of First Love.
Setelah itu ia sering road show ke
sekolah-sekolah untuk memperkenalkan karyanya. Dari sinilah, ia menemukan
kesenangan saat bisa memotivasi dan menginspirasi anak-anak remaja untuk
menjadi penulis. Ibaratnya, ia menjadi kecanduan meskipun tidak dibayar.
Dalam
sebulan, sekitar 300 sekolah ia datangi. Pihak sekolah yang mengundang
mengetahui kiprahnya dari informasi mulut ke mulut. Selain itu ia juga sering
diminta mengajar di kelas dalam bentuk seminar. Aliyyah pun makin menyadari dan
menemukan dirinya cocok menjadi sociopreneur,
yakni seseorang yang mengusahakan sesuatu tapi hasil keuntungannya tidak 100
persen untuknya.
Akhirnya
pada 2011, ia mendirikan SAS Foundation. Di sini ia mempunyai lima karyawan.
Juga mendidik para freelance trainer
untuk menjadi motivator, yang bisa menggantikannya jika ia berhalangan dalam
kunjungan ke sekolah-sekolah. Saat mendirikan SAS Foundation, ia memanfaatkan
dana hibah dari keluarga besarnya yang rata-rata adalah pengusaha. Dalam
sebulan, ia bersama karyawannya berkumpul bersama untuk membuat program. Bisa
berupa produksi untuk konten teve lokal, membuat majalah, album religi,
penyuluhan ke masyarakat, sekolah, dan panti-panti. Bantuan yang ia berikan
kepada masyarakat memang bukan berupa uang, melainkan ilmu.
Yang
membedakan ia dengan sociopreneur
lain adalah, ia tidak meminta dana kepada orang lain, tapi lebih memanfaatkan
apa yang ia dan keluarga besarnya miliki. Kegiatan-kegiatan di SAS Foundation
banyak bergerak di bidang sosial. Agar dana tetap bisa berputar dan bertahan,
ia pun membuat beragam produk seperti jilbab, majalah, buku, aksesori, atau CD
yang bisa dijual. Semua keuntungan itu tidak ia ambil semuanya. Ia hanya
mengambil 10 persen untuk menggaji karyawan, selebihnya dipakai untuk pemutaran
dana guna membiayai berbagai kegiatan yayasan.
Sementara di komunitas Pinky Hijab, bentuknya menjadi semacam koperasi
yang berisi para re-seller. Dari
1.700 member se-Jabodetabek, sejumlah
300 member aktif menjadi re-seller untuk berbagai produk yang
dihasilkan SAS Foundaion. Sistemnya berdasar kepercayaan dan berlaku top up jika penjualan dan penyetorannya
bisa tepat waktu.
Hikmah
yang ia rasakan setelah menjadi sociopreneur
adalah, ia jadi merasa sangat bersyukur dari segi duniawi. Saat bertemu orang
lain yang masih kekurangan, ia merasa harus membimbing dan menginspirasi mereka
agar bisa sukses. Contohnya, ketika menjadi motivator untuk para remaja. Saat
ia datang dan memberi motivasi, mereka bahkan belum tentu paham apa yang
didengarkan. Tapi mereka bisa melihat sosok yang menginspirasi. Hasilnya, ada
murid SMP yang mengirimkannya SMS, bercerita tentang sekolahnya dan ingin
menjadi seperti dirinya. Aliyyah sangat senang memberi motivasi, karena ingat kiprah
leluhurnya yang berasal dari Arab. Mereka menyebarkan ilmu tanpa pamrih. Dari
sinilah ia jadi terinspirasi harus bisa lebih bermanfaat bagi orang lain. Selain
itu, dengan menjadi motivator ia juga bisa mendapatkan ilmu baru dari hasil sharing.
Menurut
Aliyyah, kita bisa dengan mudah melihat banyak motivator untuk problem orang
dewasa. Tapi untuk remaja, jumlahnya masih sangat jarang. Padahal, problema
mereka juga penting untuk diarahkan ke solusi yang membangun diri. Biasanya,
berkisar tentang cinta, pengaturan keuangan, pengembangan talenta, dan ada juga
yang tentang konflik keluarga. Kalau remaja dari golongan menengah ke atas,
mungkin bisa saja mereka datang ke psikolog, konsultan, atau motivator. Tapi
untuk golongan menengah ke bawah, tentu mustahil. Karena mereka utamanya
memikirkan kebutuhan pokok dulu untuk hidup. Oleh karena itu, fokus Aliyyah
dalam kegiatannya sehari-hari lebih berupa aksi sosial untuk para remaja. Ia pun
juga sering mengisi program teve lokal yang isinya curhat tentang masalah remaja.
Dari
pengamatan Aliyyah, problema para remaja umumnya karena tidak punya teman untuk
mengarahkan bakat mereka atau belum tahu bentuk kecerdasan apa saja yang bisa
dioptimalkan. Yang mereka tahu adalah bisa bekerja dengan ijazah yang mereka
punya. Padahal, setiap manusia harus mengandalkan bakat juga untuk bisa
bersaing di dunia kerja, misalnya di industri kreatif.
Bicara
soal latar belakang pendidikan, Aliyyah sebelumnya sempat mengenyam pendidikan
di sekolah SMK jurusan farmasi, lalu melanjutkan kuliah di bidang ekonomi.
Tapi, sebelum masuk bangku kuliah ia diminta ayahnya untuk masuk ke sebuah
pesantren di Bekasi. Walaupun awalnya sedikit enggan, namun permintaan sang
Ayah itu ia turuti juga, hanya saja dengan perjanjian dia hanya mau tinggal
tiga bulan saja di pesantren. Namun, ternyata baru seminggu tinggal di
pesantren, sudah mampu merubah mindset-nya.
Di sana, ia selalu mengisi kegiatan dengan menulis novel.
Setelah
itu, semua kegiatan yang terkait dengan pekerjaannya mengalir begitu saja.
Padahal mayoritas keluarga Arab punya pakem sendiri, bahwa perempuan harus
sering berada di dalam rumah, dan bersikap pasif. Maka, tak mengherankan bila
Aliyyah termasuk perempuan yang dipandang aneh karena terlalu banyak kegiatan.
Bagi keluarga Arab yang betul-betul fanatik, malah seorang perempuan Arab itu
tidak diperbolehkan pergi kemana-mana. Bahkan, Aliyyah mengaku ia punya sepupu
yang sudah menikah di usia 15 tahun, dan tidak kuliah serta bekerja.
Beruntungnya,
Aliyyah mempunyai orang tua yang pola pikirnya cukup modern. Hingga ia bisa
bebas berkarya dan mencoba banyak hal, asal tetap mematuhi norma-norma adat
yang berlaku. Jadi, ia bisa membuktikan kepada orang tua, bahwa dirinya bekerja
bukan hura-hura. Keaktifannya bermanfaat untuk orang banyak. Bukan hanya
Aliyyah saja, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara, adik-adiknya pun
juga aktif di berbagai kegiatan. Maka ia sangat bersyukur tidak mendapatkan
kendala apapun dari keluarganya, karena mereka sangat mendukung baik dari segi
materi dan non materi. Sejak kecil pun, Aliyya mengaku sudah diikutkan banyak
les, namun selain itu ia juga diwajibkan untuk mengerjakan sholat lima waktu,
bersedekah, serta puasa Senin dan Kamis. Sementara soal memakai cadar, orang
tuanya membebaskan, apakah mau pakai atau tidak.
Semangat
Aliyyah dalam berkegiatan didasari pada niatnya untuk ibadah agar menjadi
manusia yang bermanfaat, serta ingin membanggakan kedua orangtuanya. Walaupun
bentuk usaha yang ia jalani tidak memperoleh omzet miliaran rupiah. Bisa
dikatakan, apa yang dilakukannya sekarang ini telah berani mendobrak pakem
tradisi yang ada pada keluarga Arab. Memang ada yang mempertanyakan kesibukannya
yang syarat kegiatan duniawi, dan menyarankannya setelah menikah berada di
rumah saja menjadi istri dan ibu yang baik. Namun Aliyya berpikir, kalau
dirinya bisa melakukan hal yang bermanfaat untuk orang banyak, kenapa tidak ?
Ada pula teman yang pernah tertarik ikut kegiatannya, misalnya membuat album
religi. Tapi mereka harus meminta izin kepada orangtuanya dulu dan belum tentu
disetujui.
Aliyyah
sadar, masing-masing orang memang punya
jalan hidupnya sendiri. Termasuk dirinya, yang juga divonis dokter
sebagai odapus (orang dengan penyakit lupus). Saat mengetahui dirinya mengidap
penyakit lupus, awalnya tentu kaget. Apalagi saat itu usianya masih 19 tahun.
Saat sedang road show memberi
motivasi ke sekolah-sekolah, ia sering jatuh pingsan. Karena itulah, ia
mendidik trainer lain agar setiap
undangan yang datang dari sekolah-sekolah tetap bisa terpenuhi. Dirinya memang
sering merasa cepat letih. Kalau dianalogikan baterai handphone, ia hanya bisa berfungsi seperempat atau setengahnya saja.
Selain
kerap mengalami sakit kepala dan batuk-batuk, tulang-tulangnya juga terasa
ngilu. Tapi kalau hanya diam saja di rumah, ia tidak betah karena dihantui rasa
sedih dan ingin mati akibat menderita penyakit ini. Meski ditakuti dengan sisa
hidupnya, tapi dirinya berangsur mau menerima kenyataan harus hidup dengan penyakit
lupus. Namun, sejak awal ia tak melakukan pengobatan. Ia memilih cara herbal,
dengan meminum racikan habbatus sauda,
madu, dan zaitun. Caranya melawan lupus, yaitu dengan selalu menganggap dirinya
sehat meski sebenarnya tak sehat 100 persen. Menurutnya, penyakit apa pun kalau
disyukuri tak akan menjadi masalah. Toh, meskipun menderita lupus, ia tetap
bisa berkegiatan.
Untuk
bisa menjadi sociopreneur, menurut
Aliyyah resepnya cukup yakin pada diri sendiri, lalu berusaha menemukan hobi
yang disukai agar bisa potensial menjadi bisnis. Jika menjalankan bisnis
berdasar hobi, pasti akan lebih enjoy.
Juga jangan terlalu money oriented.
Cara memulainya, ikuti saja berbagai macam komunitas. Dari situ akan menemukan
inspirasi sendiri yang sesuai dengan minat dan lingkungan. Poin terpenting dari
usahanya ini adalah, bagaimana caranya bisa membuat orang lain ikut
terinspirasi dan sukses pula pada akhirnya. Namun sebagai perempuan, ia juga
tetap harus mengutamakan keluarga dengan pembagian waktu yang efektif.
Bagi
yang juga terkena diagnosis suatu penyakit, Aliyyah menyarankan agar jangan
terus menerus dipikirkan, karena akan membuat keadaan semakin sulit. Obatnya adalah,
jangan mengurung diri di kamar atau menyesali keadaan, tapi sebaiknya berpikir
bagaimana supaya bisa lebih bermanfaat bagi orang lain sebelum meninggal dunia.
Hingga, pada saat ajal menjemput, sudah ada bekal untuk akhirat.
Rencana
ke depan yang ingin dilakukan Aliyyah adalah akan membangun rumah multitalenta
di Bogor, Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, dan kota-kota lain. Rumah ini berisi
segala macam les gratis untuk pengembangan bakat yang dimiliki anak-anak.
Nantinya, akan ada ruangan khusus untuk belajar menari, bernyanyi, belajar
desain grafis, melukis, dan lain-lain.
Alasan
utamanya membangun rumah multitalenta adalah, didasarkan pada kenyataan, bahwa
selama ini hanya anak-anak menengah ke atas saja yang bisa mengikuti berbagai les,
tapi yang dari menengah ke bawah belum tentu bisa. Dari hasil motivasi dan
pengajian yang selama ini ia lakukan di berbagai sekolah itulah, Aliyyah bisa
melihat kebutuhan itu. Semoga saja rencananya ini bisa segera terwujud.
____________________________
advetorial :
MENERIMA LAYANAN JASA KURIR, ANTAR
BARANG, PAKET MAKANAN, DOKUMEN, DAN LAIN-LAIN UNTUK WILAYAH JAKARTA DAN
SEKITARNYA
KLIK DI SINI
BOLU KUKUS KETAN ITEM, Oleh-Oleh Jakarta, Cemilan Nikmat dan Lezat, Teman Ngeteh Paling Istimewa, Bikin Ketagihan !! Pesan sekarang di 085695138867 atau KLIK DI SINI
BOLU KUKUS KETAN ITEM, Oleh-Oleh Jakarta, Cemilan Nikmat dan Lezat, Teman Ngeteh Paling Istimewa, Bikin Ketagihan !! Pesan sekarang di 085695138867 atau KLIK DI SINI
0 komentar:
Posting Komentar