Minggu, 11 September 2016

LUSIA EFRIYANI KIROYAN : Pendiri Cinderella From Indonesia Center Dan Batik Girls. Memberdayakan Napi Wanita, Anak Jalanan, Dan Single Parent Kurang Beruntung.



Perempuan kelahiran 1 Agustus 1980 ini mendirikan rumah singgah Cinderella From Indonesia Center (CFIC) di Batam, Kepulauan Riau. Lewat CFIC, ia memberdayakan ratusan perempuan penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan anak-anak jalanan membuat boneka Batik Girls, sebuah boneka cantik berambut hitam dan mengenakan batik.

Sejak kecil Lusia memang sudah menyukai kegiatan sosial. Sang ibu yang memperkenalkannya. Sebelum terjun menjadi seorang sociopreuneur, tahun 2008 ia sempat mencoba berbisnis. Waktu itu semata-mata hanya untuk mencari keuntungan. Kemudian Lusia mendapat cobaan, menderita TBC dan harus menjalani pengobatan cukup lama. Bahkan, ia tidak boleh putus mengkonsumsi obat selama satu tahun penuh. Dan itu efek sampingnya luar biasa. Badannya selalu terasa sakit. Sempat ia mempertanyakan kepada Tuhan kenapa diberi penyakit itu. Lusia kemudian berjanji jika sembuh dari penyakit itu, ia akan berusaha menolong orang banyak. Tapi, lagi-lagi ia masih mendapat cobaan. Ia harus bercerai sampai akhirnya putus asa dan sempat depresi. Untungnya, Tuhan sepertinya masih sayang padanya. Lusia kemudian mendapat kesempatan belajar di Amerika, mengikuti program International Visitor Leadership Program (IVLP). Ia mengambil subyek “Economic Development”. Di sinilah Lusia makin mendalami bidang sociopreneur.

Lusia juga mengaku ia adalah pengagum berat Mother Theresa dan Lady Diana. Merekalah yang juga ikut memberikan motivasi bagi dirinya untuk membantu orang dengan memberikan pekerjaan atau keterampilan. Akhirnya, Lusia menggagas rumah singgah dengan nama Cinderella From Indonesia Center (CFIC), tepatnya 15 Januari 2013 di Batam. Awalnya CFIC fokus membantu wanita single parent yang tidak mampu. Lusia memberanikan diri membeli sebuah ruko 3 lantai. Lantai 1 digunakan untuk training center berbagai keterampilan, lantai 2 kelas untuk anak-anak yang ikut ibunya training. Ini merupakan bentuk rasa syukur Lusia dan pemenuhan janjinya untuk membantu lebih banyak orang. Apalagi, di usia yang cukup muda ia sudah melewati berbagai fase kehidupan. Jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan terus bangkit.


Dalam perjalanan CFIC, oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Kepri dan Dinas Sosial Kepri, Lusia lalu dititipi 100 ibu-ibu dan anak-anak jalanan. Namun, dana dari pemerintah tidak besar sehingga ia harus memutar otak untuk menutupi operasional CFIC. Lantas muncul ide membuat usaha boneka Batik Girls. Ini merupakan boneka perempuan cantik, berambut hitam, dan memakai baju batik. Oleh karena itu dinamakan Batik Girls. Untuk memproduksi Batik Girls inilah, Lusia merangkul para napi wanita sebagai bekal keterampilan. Waktu memulai CFIC, Lusia sebenarnya dibantu oleh empat teman. Namun, sekarang yang bisa memegang komitmen mengelola CFIC tinggal ia dan seorang temannya, Vivin Andraini, dibantu beberapa relawan. Sementara ini ada empat program yang dijalankan CFIC, yaitu pembinaan napi wanita, anak-anak jalanan, para ODHA, dan single parent yang tidak mampu. Semua dibekali keterampilan agar dapat mandiri dan punya nilai ekonomi.

Memang, setelah diberi kepercayaan untuk memotivasi anak-anak muda yang terkena narkoba di Lapas, Lusia berpikir kalau hanya diberi motivasi saja lama-lama mereka pasti bosan. Lalu Lusia melihat bahwa rata-rata napi wanita ini adalah anak-anak muda yang terkena narkoba dan mendapatkan hukuman cukup lama, minimal 4 tahun, sampai belasan tahun, bahkan seumur hidup. Lusia lantar berpikir, usaha apa yang cocok untuk mereka. Dan Batik Girls inilah yang akhirnya ia anggap sesuai. Alasannya memilih memberdayakan napi wanita, karena sebenarnya ini juga merupakan sebuah terapi bagi mereka. Dengan membuat boneka, Lusia berharap mereka bisa menjalankan hukuman dengan baik dan bisa menghasilkan karya terbaik.

Mereka mendapatkan upah yang sangat layak. Lusia ingin mengajarkan kepada mereka, walaupun di penjara, mereka masih bisa membantu ekonomi keluarga di luar penjara. Selain itu, mereka juga tahu bahwa keuntungan dari penjualan boneka ini akan digunakan untuk kegiatan sosial yang diadakan oleh CFIC. Jadi mereka pun bisa juga memiliki kontribusi sosial. Besar harapan Lusia, suatu saat nanti para napi wanita ini bisa menggunakan keterampilan yang mereka peroleh selama di penjara dan tidak lagi mengkonsumsi narkoba.


Lusia mengakui, salah satu perjuangan yang harus ia hadapi dalam memproduksi Batik Girls adalah, mencari boneka perempuan cantik berambut hitam yang ternyata sangat susah. Ia harus pesan jauh-jauh hari. Tantangan lainnya yaitu menghadapi volunteer yang tidak bisa memegang komitmen. Saat pameran di luar negeri misalnya, ia harus mandiri karena tidak ada yang membantu. Lusia juga masih harus mensubsidi usaha ini karena belum menutupi biaya operasional. Tetapi, yang paling berat adalah menghadapi mindset peserta training yang malas bekerja dan lebih memilih meminta-minta. Mereka tidak mau sungguh-sungguh berusaha. Mereka selalu memandang dirinya miskin dan senang sekali kalau dikasihani. Jujur, menurut Lusia, susah sekali membuang sifat malas itu.

Banyak pengalaman menarik yang sudah Lusia alami. Misalnya, saat harus memberi training para napi wanita dan mempekerjakan mereka. Saat ini ada 100 napi wanita yang ia pekerjakan di 3 Lapas (Rutan Batam, Lapas Barelang, dan Rutan Pondok Bambu, Jakarta). Dan sudah lebih dari 500 napi wanita yang ia beri motivasi di beberapa kota. Lusia pun juga harus menghadapi napi wanita dari luar negeri. Ia masih ingat betul ada seorang napi wanita dari Tiongkok yang dikenal senang membuat ulah, seperti usaha bunuh diri. Tapi setelah ikut pelatihan yang ia buat, ternyata semangat hidupnya kembali bangun. Kini, dia sudah tidak pernah mencoba bunuh diri lagi. Lain lagi cerita salah satu napi dari Myanmar yang sangat terkesan dengan pelatihan dan mengucapkan terimakasih kepada Lusia. Napi itu mengatakan, jika dia bebas dan kembali ke negaranya nanti, dia ingin membuat program yang sama. Lusia harus akui pekerjaan para napi ini luar biasa, dan ia sangat bangga sekali dengan hasil pekerjaan mereka.

Perkembangan bisnis Batik Girls semakin lama semakin baik, walaupun kata Lusia, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Masalah utamanya adalah Batik Girls ini kurang diminati masyarakat Indonesia. Batik Girls lebih mudah dijual di luar negeri. Namun, untuk mengikuti sebuah pameran atau roadshow di luar negeri dibutuhkan biaya yang sangat besar. Fokus Lusia saat ini adalah harus berusaha yang terbaik. Ia yakin suatu saat Batik Girls akan berkembang karena ada misi di belakangnya. Sampai saat ini Lusia masih menyusun banyak program-program agar Batik Girls lebih bisa diterima di Indonesia. Misalnya, memasuki tahun 2016 ia fokus memproduksi boneka Batik Girls Hijab Series, dengan masih melibatkan 100 napi wanita yang ada di 3 penjara binaannya. Kegiatan ini di-support Kedutaan Australia, hingga ia mendapat kesempatan melakukan roadshow di 6 kota di Australia, yaitu di Perth, Adelaide, Melbourne, Shepparton, Canbera, dan Sydney, pada bulan Maret 2016.


Sepulang dari roadshow itu, Lusia kembali meluncurkan program 1000 Batik Girls for Indonesia. Ini sebuah program di mana boneka Batik Girls ini akan diberikan kepada anak-anak yang menderita HIV, kanker, thalasemia, dan anak-anak cacat di 10 kota di Indonesia. Lusia berharap masyarakat Indonesia bisa berkontribusi dengan cara membeli 1 boneka Batik Girls yang lalu boneka ini akan diberikan kepada mereka yang kurang beruntung. Program ini Lusia masukkan dalam campaign “1 Friend, 1 Doll”. Sementara untuk memberdayakan anak-anak jalanan, Lusia bekerja sama dengan Saung Angklung Udjo dan Avava Group melatih mereka bermain angklung dan perform di depan para turis. Kebetulan, Lusia tinggal di kota Batam yang banyak sekali turis datang ke kota ini setiap weekend. Jadi, Lusia berharap anak-anak jalanan ini tidak lagi mencari uang di jalan, tapi cukup berlatih angklung dan setiap perform mereka akan mendapatkan uang. Ini adalah cara yang lebih aman dan menyenangkan untuk mereka mencari uang.

Lusia berpendapat, tidak ada kebahagiaan yang abadi jika hanya dinikmati seorang diri. Oleh karena itu, ia lebih senang berbagi, bukan hanya dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk ilmu atau pengalaman. Lusia berharap, semoga apa yang ia berikan bisa bermanfaat buat mereka. Menjadi single parent bagi Lusia bukan hal yang memalukan, bahkan dengan status ini ia bisa lebih cepat menggapai mimpi dan bisa berbuat banyak untuk sekitarnya, Menurutnya, hidup bukan hanya sekedar lewat, tapi harus dibuat lebih berwarna dan berarti. Lusia yakin, setiap waktu itu luar biasa, dan setiap perempuan bisa sukses memberikan kontribusinya kepada keluarga, bangsa, dan agama, jika dia tahu potensi dirinya dan mengenal Tuhannya dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar