Cita-cita
menolong sesama membuat perempuan kelahiran Jakarta, 10 April 1976 ini akhirnya
memutuskan menjadi seorang psikolog. Passion
dan haus ilmu membuat istri dari Agustinus Teguh Budiman ini sepenuh hati
menjalani profesinya. Kini, selain praktik, ia juga aktif memberikan ‘kuliah’ psikologi
lewat Twitter.
Awal
ketertarikan Anna dengan dunia psikologi sudah muncul sejak duduk di kelas lima
SD. Ceritanya bermula, ketika ada seorang psikolog yang tengah praktik mingguan
di sekolahnya. Anna kebetulan sempat berkonsultasi dan merasa tertolong dengan
apa yang psikolog itu sarankan. Saat itulah, Anna baru mengetahui ternyata ada
profesi yang kelihatannya cukup modal bicara, tetapi ternyata sangat bermanfaat
dan membantu. Dan sewaktu SMA, Anna terbantu lagi oleh pendampingan seorang
psikolog yang datang ke sekolahnya untuk sesi pengenalan diri dan orientasi.
Anna pun jadi semakin yakin, dan ingin mengenal ilmu psikologi ini lebih jauh lagi.
Akhirnya, setelah lulus SMA, ia memutuskan kuliah dengan mengambil jurusan
Psikologi UI. Setelah kuliah, ia semakin penasaran pada dunia psikologi dan
tertarik menjadi seorang psikolog.
Perjalanan
menjadi seorang psikolog juga cukup panjang. Setelah lulus kuliah tahun 1999
dari program S1 Reguler Fakultas Psikologi UI, Anna melanjutkan studi program
profesi selama dua tahun di kampus yang sama. Untungnya, saat itu ia harus
mempelajari semuanya, mulai dari psiologi anak, dewasa, pendidikan, organisasi,
dan sosial. Berbeda sekali dengan sekarang yang sudah spesifik. Tapi, sejak
awal Anna memang sudah tertarik dengan psikologi keluarga dan perkawinan. Dan
sebetulnya, setelah lulus di tahun 1999 itu, Anna juga sudah mulai menjajal
sebagai tenaga lepas untuk beberapa lembaga konsultan sampai menyelesaikan studi
program profesinya.
Setelah lulus
program profesi, Anna segera mengurus surat-surat untuk bisa segera praktik
sebagai psikolog keluarga. Tetapi salah satu seniornya menyarankannya untuk
memasuki psikologi industri terlebih dahulu demi memperkaya pengalaman. Jadi,
ia disarankan supaya bekerja di perusahaan terlebih dahulu, baru kemudian
berpraktik sendiri. Setelah mempertimbangkan dan membenarkan saran seniornya
itu, Anna pun memilih bekerja di salah satu kantor konsultan SDM milik kakak
kelasnya. Di sana ia bekerja di divisi training
dan belajar tentang cara memberikan seminar yang menarik. Kebetulan, kantornya
itu juga menjadi konsultan head hunter,
mencari orang-orang yang tepat dan berkompeten untuk menempati posisi dan
pekerjaan pada perusahaan baru. Hingga suatu hari, kantornya membutuhkan
beberapa tenaga baru, dan salah satu posisi yang dibutuhkan adalah konsultan
keluarga. Melihat peluang itu, Anna pun mengajukan diri, apalagi pihak
kantornya memang tahu kalau ia tertarik pada psikologi keluarga.
Dengan modal
dukungan dari teman-temannya pula, Anna pun akhirnya memutuskan berhenti
sebagai konsultan SDM, dan bergabung dengan menjadi konsultan keluarga mulai
tahun 2002 hingga 2004. Di sinilah, ia mendapatkan banyak kesempatan untuk
memperluas keterampilan dan pengalaman, salah satunya bertemu dengan
teman-teman media. Ia diminta mempersiapkan bahan materi untuk seminar, membuat
draft tulisan untuk atasan, dan
lainnya. Selain itu, Anna juga diberi kesempatan mewakili atasannya berbicara
dengan media. Semakin lama dan semakin sering, Anna pun makin enjoy dengan pekerjaannya, apalagi bila
membahas soal parenting. Berhubung
kegiatannya semakin banyak, lebih-lebih pada waktu weekend, Anna kemudian merasa sepertinya keluarganya jadi kurang
diprioritaskan. Akhirnya ia pun memilik resign.
Setelah resign tahun 2004, Anna mulai
praktik sebagai psikolog, tepatnya di Medicare Clinic di kawasan Kuningan. Di
sana ia menangani berbagai permasalahan keluarga, pasangan, personal dan anak.
Anna makin
mendalami soal parenting setelah
putri pertamanya lahir di tahun 2002. Ia jadi makin termotivasi. Karena, selain
kebutuhan, ini juga menjadi pembelajaran dan bisa ia praktikkan sendiri. Anna
juga mengambil program master sains psikologi perkembangan karena ingin
menambah ilmu dan tahu lebih banyak. Selain berpraktik, Anna juga sudah mulai
diminta ikut berbagai seminar, menjadi narasumber dan berkesempatan tampil di
acara-acara besar. Ternyata, Anna merasa bahwa praktik saja tidak membuatnya
puas. Ia lalu melihat sebuah peluang. Kebetulan saat itu ia juga menjadi
konsultan psikolog beberapa sekolah preschool.
Tugasnya adalah mengobservasi anak di kelas kemudian mengevaluasi mereka
bersama dengan para guru. Anna mengamati banyak ibu yang berkumpul di sekolah
menunggui anak mereka. Ia pun menawari kepala sekolah untuk membuat waktu
khusus bagi para orang tua agar bisa berkumpul dan berkonsultasi tentang
perkembangan anaknya di sekolah. Respons para orang tua dan kepala sekolah
ternyata positif sehingga program ini terus berlanjut. Di satu sisi, program
itu juga menguntungkan untuk sekolah dan orang tua. Di sisi lain, sesungguhnya
ia juga diuntungkan karena mendapat jam terbang tambahan untuk belajar bicara
di depan orangtua.
Tentu banyak
pengalaman yang Anna temui berkaitan dengan pekerjaannya. Salah satunya, pernah
ketika membuka konsultasi, ada klien yang melontarkan pernyataan tidak enak.
Seperti, bagaimana mungkin Anna bisa mengkuliahi mereka soal anak padahal Anna
sendiri belum punya anak. Saat itu Anna menjelaskan, bahwa ia sebetulnya sudah
memiliki anak dan sudah mempraktikkan sendiri dan mendapatkan hasil yang baik.
Jadi, yang bisa ia lakukan adalah mengajak orangtua untuk mencoba demi yang
terbaik untuk sang anak. Tetapi semua pengalaman tidak mengenakkan tersebut
jadi membuat dirinya lebih siap dan tahu bersikap. Di awal, memang masih ada
klien yang ragu. Mungkin, Anna pikir, mereka menganggap dirinya masih muda dan
belum berkompeten. Tapi ini justru jadi motivasinya untuk bisa lebih baik. Anna
pun terus belajar cara membawakan diri, gestur agar terlihat profesional,
sampai memperhatikan suara yang tepat agar bisa didengarkan dan diperhatikan.
Ia juga rajin mengikuti workshop
untuk meningkatkan kemampuan sebagai psikolog. Selain itu, kasus-kasus yang ia
terima juga semakin berat. Misalnya, menangani anak-anak korban kejahatan
seksual atau remaja berniat bunuh diri. Ia juga menangani pasangan yang
bermasalah. Menurut Anna, kasus orangtua itu memang lebih berat daripada
anak-anak, karena mereka biasanya banyak mengalami penolakan. Jadi, peran
menjadi polisi untuk mereka lebih banyak. Meyakinkan orang dewasa tentang
dirinya itu juga lebih sulit daripada membicarakan persoalan mengenai anak-anak
mereka.
Seiring dengan
perubahan waktu dan gaya hidup, tertama soal teknologi, Anna kini juga banyak
menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan teknologi. Misalnya, kecanduan gadget, yang sering ia temui, tidak
hanya pada anak kecil, tetapi juga orang dewasa. Bagi Anna ini cukup
memprihatinkan. Ada kasus pasangan bercerai karena persoalan gadget, ada juga anak bermasalah dengan gadget, dan sebagainya. Permasalahan
dunia psikologi setiap tahun memang makin kompleks dan beragam.
Saat ini Anna
praktik di dua klinik, yakni di Klinik Terpadu UI dan Klinik Tiga Generasi. Ia
berada di Klinik Terpadu UI, satu atau dua kali seminggu. Sementara di Klinik
Tiga Generasi hanya seminggu sekali. Ia juga masih aktif menjadi pembicara
seminar dan menjadi narasumber di berbagai media. Mulai tahun 2016, Anna memang
tidak lagi membuka jadwal praktik karena sudah cukup sibuk dengan praktik online. Mulai dari membuat tulisan,
mengisi kolom, kultwit, sekaligus
membuat buku. Selain itu ia juga menjadi pengurus Ikatan Psikologi Klinis
Perwakilan Jakarta.
Anna memang
memanfaatkan media sosial untuk sharing
ilmu psikologi, khususnya melalui Twitter, dengan akun @AnnaSurtiNina. Ia
biasanya melakukan kuliah tweet (kultwit) dengan tema atau topik yang beragam tetapi masih berkaitan
dengan masalah yang cukup umum dan sering ditemui atau dihadapi. Yang paling
sering tentu topik parenting, baik
saat anak masih dalam kandungan ataupun ketika mereka semakin besar. Pemberian kultwit ini diawali atas desakan
teman-teman media dan teman lainnya yang memintanya membagikan ilmu. Anna pikir,
media sosial bisa menjadi medium yang tepat juga untuk berbagi dan
berkonsultasi, jadi tidak hanya lewat seminar ataupun tanya jawab lewat e-mail.
Dan ternyata, hal ini jadi lebih interaktif dan menarik. Anna mengaku, pernah
memecahkan rekor mengeluarkan lebih dari 50 topik untuk kultwit dan responsnya memang di luar perkiraan. Anna juga ingin
meluangkan lebih banyak waktu lagi untuk membagi pengetahuan yang kebetulan ia
kuasai agar bisa bermanfaat untuk yang lain.
Di luar
pekerjaan, Anna dan suami sepakat untuk tetap memprioritaskan keluarga.
Bentuknya bisa macam-macam. Misalnya, ia dan suami sepakat hanya punya satu
mobil saja supaya bisa kumpul dan punya waktu mengobrol bersama di mobil
sebelum melakukan aktivitas. Karena memprioritaskan keluarga pula, Anna
memutuskan tidak praktik di hari Sabtu dan Minggu. Walaupun ada saja yang
menanyakan dan meminta, tapi ia selalu menolaknya dengan halus. Kalau sampai
ada pun, itu sifatnya urgent dan ia
memang harus membantu. Anna juga membatasi pekerjaan. Sore ia harus sudah
pulang. Jam kerja suaminya dari pukul 07.00 hingga 16.00. Jadi pagi hari ia dan
suami berangkat bersama dan Anna selalu mengusahakan pukul 16.00 sudah selesai
sehingga bisa pulang bersama. Sebenarnya, kata Anna, kalau mau dikejar terus,
ia bisa bekerja sampai malam, tetapi itu bukan yang ia mau dan ia cari. Anna
tidak peduli bila ada yang mengatakannya ‘cemen’atau
‘cinderella’, karena ini memang sudah komitmennya dengan keluarga. Bilamana ada
pekerjaan yang belum selesai, ia akan melanjutkannya di rumah setelah bertemu
dengan anak-anak.
Anna merasa
peran suami sangat penting untuk kariernya. Suaminya memang selalu mendukung,
misalnya saat ada seminar, dia yang akan menemani anak-anak. Bahkan, semakin ke
sini, sepertinya ia dan suami diuntungkan oleh profesi masing-masing. Suaminya
adalah seorang auditor yang sangat familiar dengan angka, sedangkan Anna
mengaku sama sekali tidak bisa berhitung. Jadi, kalau masalah kontrak kerja
atau fee, ia selalu bertanya pada
suaminya.
Anna juga
selalu memasukkan jadwal kalender akademik anak-anak ke jadwal agenda, sehingga
ia bisa cermat dan menyesuaikan dengan agenda miliknya. Ia memang masih
memiliki banyak waktu untuk kleuarga. Memulai dari kebiasaan kecil, misalnya
ngobrol bersama saat makan malam. Anak-anaknya yang semakin besar juga kini
disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Jadi biasanya saat weekend ia alokasikan waktu untuk
jalan-jalan atau makan bersama di luar. Intinya, Anna berusaha memaksimalkan
semua komunikasi di rumah, termasuk menerapkan peraturan no gadget saat makan. Bila makan di rumah, gadget harus ditaruh di kamar masing-masing. Kalau makan di luar,
begitu salah satu pesanan muncul, semuanya harus menaruh gadget dan baru boleh memegangnya kembali setelah selesai makan.
Ini menjadikan kebersamaan waktu yang maksimal untuk keluarga.
Anna membaca
banyak penelitian dan meyakini bahwa orangtua yang baik dimulai dari menjadi
pasangan yang baik. Menjalankan komunikasi dan hubungan yang baik dimulai dari
menjadi pasangan. Segala masalah harus segera diselesaikan dengan pasangan.
Banyak cara yang bisa dilakukan. Untuk Anna sendiri, karena anak-anaknya sudah
semakin besar, membuatnya punya waktu banyak ke luar kota bersama suami dan ini
sangat ia manfaatkan. Misalnya, ia pernah pergi ke Surabaya bersama suami,
dengan menyetir bergantian, menikmati waktu kebersamaan. Menghabiskan waktu
berdua dengan suami, setelahnya bisa me-refresh
pikiran dan menjadi orangtua yang lebih bahagia, sehingga anak pun juga jadi
ikut bahagia. Sejak 2013, Anna juga rutin meluangkan waktu pergi ke luar kota
dan liburan bersama anak-anak saat libur sekolah dan akhir tahun. Dan setiap
liburan usai, mereka akan mendiskusikan hal-hal apa saja yang menyenangkan, dan
bisa diulangi di lain waktu. Dan sebetulnya, menurut Anna, tidak harus pergi
berliburan juga, karena yang terpenting adalah tetap menjaga komunikasi
sehari-hari. Pertama bisa dimulai dari diri sendiri, emosi yang stabil,
memaknai semuanya dengan bahagia, sehingga menjadi pasangan dan keluarga yang
bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar