Selasa, 06 Mei 2014


sumber foto : tabloid NOVA


Sejak remaja, ibu empat anak ini mengabdikan hidupnya menjadi bidan di Flores Timur, NTT. Dan anak kedua dari enam bersaudara ini sudah menekuni profesi bidan sekitar 20an tahun. Banyak yang telah dilakukannya selama bertugas di wilayah pedalaman, sampai ia berhasil mewujudkan cita-citanya membuka Bidan Praktik Mandiri Emma, satu-satunya klinik bersalin swasta di wilayahnya.

Sebenarnya, Joria dulu bercita-cita ingin jadi anggota militer. Tapi orang tuanya, pasangan (alm) Parmin Hasanah dan Siti Puken, menyarankannya agar sekolah perawat saja. Alasannya, sebagai anak perempuan ia dirasa lebih cocok menjadi perawat. Selain itu juga agar bisa cepat mendapatkan pekerjaan. Kala itu, kota kelahirannya di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) belum memiliki sekolah perawat. Jadilah, setamat SMP ia masuk sekolah Perawat Kesehatan di RSUD TC Hillers, Maumere, yang jaraknya sekitar 150 km dari Larantuka.

Joria pun mulai meninggalkan orang tua dan tinggal di asrama. Ternyata, ia malah menyukai dunia keperawatan. Di sana ia dididik menjadi perawat sekaligus pelayan masyarakat. Ia dan teman-teman pun juga sering langsung praktik di rumah sakit. Ada kebahagiaan tersendiri ketika bisa ikut menolong orang. Kebetulan, ia termasuk tipe orang yang mudah tersentuh.

Joria menyelesaikan pendidikan di sekolah perawat tahun 1992. Pada saat itu ada Instruksi Presiden yang menyebutkan, lulusan perawat perempuan wajib melanjutkan ke program pendidikan bidan. Tenaga bidan sangat dibutuhkan untuk melayani masyarakat pedesaan. Lantas, ia pun mengikuti sekolah bidan dan berhasil menyelesaikan pendidikan dengan baik.

Selama mengikuti sekolah bidan itu ada sebuah peristiwa yang membuatnya makin mencintai pekerjaan ini. Hingga ia meyakini, inilah pilihan hidupnya. Pada saat itu, di Flores terjadi gempa disusul tsunami pada 12 Desember 1992. Maumere tergolong paling parah. Kondisi akibat gempa begitu luar biasa. Banyak korban meninggal dan gedung rusak, termasuk rumah sakit dan asrama tempatnya belajar. Gemba bumi berkekuatan 6,8 pada Skala Richter itu terjadi pada jam 13.29 WTA. Gempa kemudian disusul tsunami setinggi 36 meter, dan menyebabkan rumah-rumah di sepanjang pesisir pantai hancur. Korban jiwa tercatat lebih dari 2000 orang dan 500 orang hilang. Gempa juga menghancurkan belasan ribu rumah dan puluhan tempat ibadah.

Namun Joria bersyukur, saat kejadian itu ia tak kekurangan apa pun. Saat itu ia baru saja pulang dinas malam dan sedang berada di rumah temannya. Segera saja ia kembali ke asrama. Beruntungnya, tak ada korban di kalangan siswa yang terdiri dari 45 orang. Padahal, asrama juga rubuh dan banyak bagian rumah sakit yang rusak parah. Bersama teman-temannya, ia pun segera terlibat menangani pasien yang begitu banyak. Mereka terus saja mengerjakan apa yang bisa mereka kerjakan di rumah sakit yang memang menjadi muara terakhir para korban gempa.

Oleh karena jumlah pasien begitu banyak dan gedung juga rusak, maka dibuatlah tenda-tenda perawatan di lapangan. Banyak pasien yang mengalami patah tulang akibat terkena reruntuhan. Dengan segala keterbatasan, ia bersama teman-temannya berusaha membantu pasien yang begitu banyak. Joria masih ingat, saat itu seharian ia tak makan dan baru mendapatkan jatah makan biskuit 1 potong pada malam hari.

Salah satu kendala yang terjadi saat itu adalah keterbatasan obat. Joria masih ingat pula, ketika itu terjadi hujan yang membasahi obat-obat itu. Obat yang semua berbentuk pil itu pun berubah menjadi lunak. Maka, sekalian saja obat itu ia lembutkan seperti bubur, lalu dibagikan ke pasien. Cukup lama juga ia merawat pasien dalam kondisi terbatas. Di situlah ia merasakan pengalaman luar biasa, hingga makin terpupuk perasaan peduli kepada sesama.   

Setelah berhasil menamatkan pendidikan kebidanan, Joria bersama teman-temannya sesama alumni bidan disebar ke berbagai pelosok wilayah. Ia yang saat itu masih berusia 19 tahun, mendapat tugas di Desa Kalikur, Kecamatan Buyasuri, pada 1993. Desa ini masih pelosok dan termasuk dalam wilayah pantai. Butuh waktu delapan jam perjalanan menggunakan motor laut untuk sampai ke kota kecamatan. Selain itu, transportasi juga bisa ditempuh dengan motor laut yang lebih kecil (ketinting). Sampai di sana, ia sudah dijemput oleh kepala desa dengan menggunakan sepeda motor. Rupanya, kedatangannya sudah diumumkan ke warga desa. Joria merupakan bidan pertama yang dikirim ke Desa Kalikur dan menjadi satu-satunya bidan di wilayah pantai. Selama ini, persalinan warga di sana ditangani dukun bayi yang juga hanya satu orang. Jadi, tugasnya di sana adalah menggantikan tugas dukun.

Walau sebenarnya sudah ada program Polindes (Pondok Bersalin Desa), tapi jangankan Polindes, kantor desa pun di sana tak ada. Puskesmas hanya ada satu di kecamatan yaitu Puskesmas Wairiang. Ia pun dititipkan tinggal di salah satu rumah penduduk. Kondisi desa memang masih serba terbatas. Di sana belum ada listrik. Selepas jam 18.00 sudah tidak ada kegiatan. Maka itu, malam bulan purnama selalu ditunggu-tunggu warga desa. Banyak orang berkumpul di depan rumah atau di tanah lapang. Kebetulan pula Joria bisa bermain gitar. Untuk hiburan, ia sering bermain gitar dan bernyanyi bersama muda-mudi setempat.

Joria mengaku, ia tidak merasa kesulitan melakukan pendekatan ke masyarakat. Langkah pertama yang dilakukannya tentu saja melakukan pendekatan kepada dukun bayi yang usianya 60-an tahun. Ia mengatakan, bahwa kehadirannya sebagai rekan kerja. Dengan pendekatan yang baik, dukun bayi itu pun menerimanya dengan baik pula. Bahkan, sang dukun itu mengaku sebenarnya ia juga sudah lelah, selama ini tak punya teman. Pada akhirnya, Joria pun mulai menangani persalinan dengan masih tetap dibantu dengan ibu dukun bayi.

Selain itu, ia juga tak hanya mengurusi persalinan, tapi juga menangani warga yang sakit. Tentu saja bukan jenis penyakit yang berat. Setiap bulan, ia juga selalu ke puskesmas di kota kecamatan untuk mengikuti mini lokakarya tingkat puskesmas, dan melakukan laporan tentang kondisi kesehatan masyarakat. Sekalian juga ia membawa obat untuk keperluan sebulan. Seperti obat diare, batuk, pilek, malaria, dan sebagainya.

Salah satu hal yang membuatnya cepat dekat dengan masyarakat adalah, karena kebetulan ia memiliki bakat cepat menguasai bahasa. Provinsi Nusa Tenggara Timur, kaya sekali adat budaya, termasuk bahasa. Bahasa daerah di Desa Kalikur beda sekali dengan bahasa daerah yang ia gunakan. Lantaran terus bergaul dengan masyarakat setempat dan belajar, setelah tiga bulan ia pun bisa berbahasa daerah setempat. Dan ia merasa lebih nyaman mengobrol dengan bahasa daerah, karena bisa terjalin kedekatan. Joria pun tak kesulitan melakukan penyuluhan tentang berbagai masalah kesehatan ke masyarakat. Ternyata, penyuluhan dengan menggunakan bahasa daerah membuat pesan yang ia sampaikan lebih mudah diterima.

Sebenarnya, masa tugasnya di Desa Kalikur hanya tiga tahun. Namun, menjelang usai tugas, kepala desa meminta kepala dinas kesehatan agar memperpanjang tugasnya. Maka jadilah, ia empat tahun tinggal di desa itu. Tentu saja banyak pengalaman berharga yang ia alami selama tinggal di sana. Ia bersyukur, selama menangani persalinan jarang sekali terjadi kasus ibu dan bayi meninggal. Namun, ia pernah mengalami pengalaman yang cukup menegangkan. Ceritanya, saat itu ia sedang membantu persalinan seorang ibu yang akan melahirkan anak ke-9. Perlu diketahui, isu Keluarga Berencana (KB) memang masih menjadi masalah bagi warga desa. Ada pandangan, KB bisa menghambat orang mempunyai keturunan.

Kebetulan si ibu hamil yang ia tangani ini memiliki masalah kesehatan. Dia terkena keracunan kehamilan dan harus dirujuk ke Puskesmas Wairiang. Syaratnya, tentu saja harus ada persetujuan suami. Yang membuat hati Joria miris, saat itu sang suami sedang berada di rumah istri keduanya. Ia pun segera menyusul ke tempat suami ibu itu. Menjadi lebih seru, karena pasien ini menumpang motor laut kecil yang kapasitasnya hanya untuk enam orang. Saking sempitnya, tiang infus juga tidak bisa dibawa. Sepanjang perjalanan selama satu jam lebih, ia harus memegang cairan infus dan menjaga agar tetesan tetap lancar. Sayangnya, bayi yang dikandung ibu itu tak sempat tertolong. Menurut Joria, peristiwa kematian ibu dan bayi lahir, selalu menakutkan bagi para bidan. Dan Joria bersyukur, peristiwa itu jarang sekali ia alami.

Seusai menjalani tugas sebagai bidan, Joria lalu kuliah lagi mengambil Program D III Kebidanan di Denpasar selama tiga tahun. Lalu setelah itu ia kembali lagi ke Larantuka dan bertugas di RSUD Larantuka. Tahun 2010, ia menyelesaikan program Magister Kebidanan di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. Sekembalinya dari Bandung ia bertugas di Dinas Kesehatan Kabupaten Flores Timur. Selama bertugas di Dinas Kesehatan, ia sudah jarang menyentuh pasien. Sementara ada kerinduan untuk kembali melayani masyarakat.

Akhirnya di awal tahun 2013, Joria membuka Bidan Praktik Mandiri “Emma”. Emma ini merupakan bahasa daerah yang artinya bunda atau ibu. Tujuannya adalah ingin mengamalkan kemampuan yang ia miliki. Sekaligus ia juga ingin membantu masyarakat dan memberi alternatif pelayanan kebidanan. Di Bidan Praktik Mandiri “Emma” ini ada beberapa pelayanan kesehatan, dari mulai senam ibu hamil, pelayanan kontrasepsi, sampai persalinan. Beruntung, hingga saat ini tiap hari selalu ada pasien yang datang.

Dulu, sebelum membuka Bidan Praktik Mandiri “Emma”, ia sering menggratiskan obat. Tapi kini, ia harus menggaji bidan lain, maka ia harus memasang tarif. Sebenarnya biaya untuk persalinan normal Rp 850 ribu. Namun, untuk pasien yang keadaan ekonominya terbatas, ia hanya meminta biaya obat saja. Sedangkan biaya persalinannya ia gratiskan. Menurut Joria Ini hanya bagian dari amalnya sebagai bidan. Dan ia sangat senang bila bisa membantu masyarakat. Sejujurnya, sebagai manusia terkadang ia juga merasa lelah dan memiliki masalah. Namun begitu mendengar keluhan pasien, kesedihannya pun hilang, dan semangatnya tumbuh lagi. Ia malah senang mendengar curhat dan keluhan pasien. Tentu saja keluhannya itu bermacam-macam.

Dalam menjalani Bidan Praktik Mandiri “Emma”, awalnya ia mengajak tiga bidan seangkatannya yang memiliki visi dan misi sama. Namun, belakangan ini ia merekrut lagi enam bidan junior. Sekaligus ia ingin melakukan pengkaderan dan membimbing bidan muda.

Selain mengurus Bidan Praktik Mandiri “Emma”, saat ini Joria juga dipercaya menjadi koordinator bidan kabupaten untuk program 2H2 Center, sebuah program yang digagas kepala Dinas Kesehatan setempat, sejak 2010. 2H2 Center ini adalah program yang mendata dan mengawasi semua ibu hamil di Flores Timur sampai proses persalinan. Tujuan 2H2 Center adalah pemantauan ketat dua hari sebelum dan dua hari sesudah persalinan. Masa ini adalah fase paling kritis untuk ibu yang melahirkan.

Namun dengan pendataan dan pengawasan, risiko kematian bayi dan ibu akan bisa ditekan. Dari data yang diperoleh dapat terlihat, sebelum ada program ini tiap tahun di Kabupaten Flores Timur terjadi kasus 14 ibu meninggal dari 4 ribuan persalinan. Namun pada akhir tahun 2013, hanya ada enam kasus kematian ibu. Sementara angka kematian bayi menunjukkan penurunan yang signifikan. Dengan program ini, benar-benar bisa mengurangi risiko kematian ibu atau bayi.

Di 2H2 ini Joria berkoordinasi dengan semua bidan yang ada di seluruh wilayah di 20 puskesmas, dengan bermodalkan dua handphone yang selalu aktif 24 jam. Ia dan teman-teman bidan berusaha keras, jangan sampai ada celah ibu melahirkan tanpa fasilitas kesehatan. Ketika pasien masuk kamar bersalin di puskesmas, maka bidan juga wajib melapor ke 2H2 Center, jam berapa pun itu. Selanjutnya, pasien dipantau dari 2H2 Center. Jika terjadi kegawat daruratan dan bidan-bidan ada kesulitan ketika menangani persalinan, mereka akan mengontak dirinya. Kemudian Joria akan memandu apa saja yang harus bidan-bidan itu lakukan. Kalaupun tak bisa ditangani di tingkat puskesmas, ia bersama tim bidan akan mengatur supaya ibu hamil tersebut segera dirujuk ke RSUD.

Jarak tempuh dari puskesmas ke RSUD sangat bervariasi. Tak jarang para bidan harus merujuk di tengah malam gulita, menyeberang laut dengan gelombang dan arus yang cukup ganas. Ambulans 2H2 Center lalu akan menjemput ibu hamil ini di pelabuhan. Kadang para bidan ini selalu deg-degan dan khawatir jika teman-teman yang sedang dalam penyeberangan mengabarkan, mereka terseret arus sehingga pasien telat tiba.

Di 2H2 Center perkembangan kasus dilaporkan setiap waktu. Dengan program ini, telah berhasil menyelamatkan belasan ribu ibu hamil. Dan di tahun 2012 tim bidan di 2H2 Center mendapat penghargaan MDG’s Award Special Category. Pengalaman inilah yang ingin ia bagikan untuk daerah lain. Sebanyak 21 kabupaten di NTT mereplikasi program ini. Selain itu, banyak pula daerah lain yang melakukan studi banding di Flores Timur.

Joria juga pernah ditugaskan untuk berbagi pengalaman menangani 2H2 Center di Jakarta, Palu, dan Papua. Bahkan setiap kali punya jadwal mengajar Program D IV kebidanan di Stikes Tuanku Tambusay Pekanbaru, ia wajib mensosialisasikan program ini ke seluruh mahasiswa.

Beruntung pula, sang suami, Ibrahim Abdul Malik EK, sangat mendukung kegiatannya. Tak bisa ia gambarkan betapa bahagianya ia memiliki suami yang sangat mendukung apa saja yang ia kerjakan, apalagi berkaitan dengan nyawa seorang ibu dan bayinya. Pernah pula ia diprotes empat anaknya yang masih kecil, Shafi Surya Domar, Shafa Annisa Rembulan, Shifa Maulana Ibrahim dan Rafah Langit Ramadhan.

Ceritanya saat itu ia sedang mengajak anak-anaknya makan di taman kota. Pada saat itu, ia menerima telepon dari bidan yang tengah menangani persalinan di puskesmas.  Kebetulan, si pasien mengalamni pendarahan. Spontan ia bicara agak keras, “Pendarahan?”. Ternyata, ada orang lain yang tengah makan langsung menengok ke arahnya tanpa ia sadari. Usai telepon, anaknya mengatakan bahwa gara-gara ia berteriak menyebut kata ‘darah’, tamu di rumah makan jadi risih dan pergi.

Sebenarnya, apa yang Joria lakukan selama ini semata-mata demi pelayanan. Jika kemudian pekerjaannya ini mendapat penghargaan dari berbagai pihak, tentu saja ia sangat bersyukur. Ia yakin, berbagai penghargaan yang telah diterimanya ini adalah bekat doa-doa yang dipanjatkan oleh pasien-pasiennya. Dan ia berharap, penghargaan-penghargaan itu akan memacunya untuk melakukan pekerjaan lebih baik lagi.

    




____________________________
advetorial :

MENERIMA LAYANAN JASA KURIR, ANTAR BARANG, PAKET MAKANAN, DOKUMEN, DAN LAIN-LAIN UNTUK WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA KLIK DI SINI

BOLU KUKUS KETAN ITEM, Oleh-Oleh Jakarta, Cemilan Nikmat dan Lezat, Teman Ngeteh Paling Istimewa, Bikin Ketagihan !! Pesan sekarang di 085695138867 atau  KLIK DI SINI


1 komentar: