Jumat, 06 Januari 2017


Di tengah arus modernitas, mempertahankan seni tradisi bukan perkara mudah. Salah satunya adalah tari Topeng Losari, satu dari sekian seni tradisi, yang berasal dari Losari, Cirebon. Namun, berkat perjuangan yang dilakukan Nur Anani M. Imran, tari Topeng Losari kini bisa terdengar hingga ke mancanegara. Lebih dari 20 negara sudah didatangi ibu dua anak ini untuk mengenalkan seni tradisi tari Topeng Losari. Sanggar Purwa Kencana yang ia pimpin pun juga ikut dikenal. Menurut Nur Anani,  tarian yang syarat akan nilai-nilai tentang adab hubungan manusia dan Tuhan ini memang patut diwariskan dari generasi ke generasi.

Nur Anani adalah trah ketujuh, cucu dari Mimi Dewi dan Mimi Sawitri yang merupakan dalang topeng Losari Cirebon. Sedari kecil, ia sudah diamanahkan untuk terus mempertahankan seni tradisi ini. Apapun rintangannya, tari topeng ini harus terus ada dan dikenal masyarakat, dan ia yang bertanggung jawab akan hal ini. Perempuan kelahiran Cirebon, 5 Juni 1977 ini sendiri awalnya tidak pernah merasa terbebani memikul tanggung jawab besar itu, karena ketika ia diberitahu ibunya bahwa akan menjadi pewaris tari Topeng Losari, usianya masih kecil. Ia sendiri waktu itu tidak memahami tugas sebagai pewaris kesenian tradisi ini. Hanya rutinitas latihan menari tak kenal waktu yang harus ia lakukan pada saat itu. Kala teman seumurannya bebas bermain, ia hanya di sanggar untuk berlatih. Jika ada jeda menari pun digunakan untuk mendengarkan nasihat neneknya tentang filosofi tari Topeng Losari. Nur Anani mengaku, rutinitas tersebut sempat membuatnya berontak dalam hati. Ia kehilangan masa kanak-kanak dan berlanjut hingga remaja.

Nur Anani baru mulai menyadari tanggung jawab besar dilimpahkan kepadanya ketika memasuki usia remaja. Sang nenek mendoktrinnya agar tari Topeng Losari harus terus dilestarikan dengan tetap berpegang teguh pada pakemnya dan tidak meninggalkan sejumlah tirakat. Bukan tanpa alasan, Nur Anani diberi amanah sebagai pewaris tari topeng Losari Cirebon. Ia adalah anak pertama dari lima bersaudara dari ibu bernama Mutri. Ibunya adalah anak dari Dewi, dalang Topeng Losari. Namun, karena ibunya bukan anak pertama, maka beliau tidak bertanggung jawab melanjutkan tradisi. Sementara, Nur Anani sebagai cucu pertama dari keturunan Dewi, otomatis terpilih menjalankan tugas besar sebagai dalang Topeng Losari Cirebon. Inilah yang membuatnya sengaja dipersiapkan sedari kecil untuk mengikuti jejak pendahulunya, meski saat itu ia belum tahu tugas yang akan dilakoninya di masa mendatang.


Nur Anani memang bukan sekadar dikenal senagai penari tetapi juga dalang Topeng Cirebon. Bila penari hanya menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik, sementara dalang lebih dari itu. Menjadi dalang tidak mudah, ada ritual yang harus dilakukan, berpuasa di antaranya. Puasa yang dilakukan pun tidak sedikit. Ada 11 jenis puasa yang mesti ditunaikan, di antaranya puasa weton, puasa daud, puasa muti, puasa ngasrep, puasa gedang, puasa pati ngeni, puasa nyepi, dan lainnya. Keseluruhannya harus dilakukan selama 40 hari. Ritual ini yang tidak dilakukan oleh penari. Tarekat ini mulai Nur Anani kerjakan sejak mengenyam pendidikan kelas 5 SD dan menyelesaikannya ketika duduk di bangku kuliah semester 8. Meski berat, tetapi ini memang sudah merupakan pakem tari topeng yang tidak boleh diabaikan.

Kini Nur Anani sudah menganggap Topeng Losari sebagai nyawanya. Topeng Losarilah yang membuatnya hidup, karena baginya menari bukan sebatas menggerakkan tubuh tetapi juga berdoa, meritualkan sesuatu. Tari Topeng Losari merupakan media berkomunikasi antara tubuhnya dan Tuhan. Tari Topeng Losari berbeda dari tari topeng di wilayah Jawa Barat lainnya. Gerakan misalnya, Topeng Losari memiliki gerakan galeyong dan gantung sikil yang tidak ada pada tari topeng lainnya. Galeyong adalah gerakan memutar badan ke belakang hingga nyaris seperti posisi kayang. Sedangkan gerakan gantung sikil adalah menari dalam posisi berdiri sambil mengangkat satu kaki. Gantung Sikil ini bisa dilakukan sampai 10 menit lamanya tanpa henti. Secara menyeluruh, gerakan tari cenderung besar dan berbentuk elips atau memutar.

Perbedaan mencolok lain terlihat saat pertunjukan tari akan dimulai. Para penari duduk menghadap kotak tempat menyimpan topeng. Mereka nyambat atau berdoa agar tari yang akan dilakukan berjalan lancar. Doa ini selalu dilakukan setiap akan mulai dan setelah selesai menari. Yang juga beda adalah lakonan, yaitu tarian yang mengandung cerita. Tari Topeng Losari mengambil lakonan dari cerita Panji Sutrawinangun. Semua tokoh yang dimainkan adalah tokoh lelaki, kecuali Dewi Candra Kirana. Itulah kenapa, gerakan tari topeng ini sangat gagah. Yang lain adalah adanya kedok gelap. Kedok adalah topeng yang dikenakan penari Topeng Losari, dibuat dari kayu jaran. Umurnya sudah ratusan tahun. Topeng ini diwariskan secara turun temurun. Uniknya, topeng Losari tidak punya lubang hidung dan lubang mata. Hampir tak ada celah untuk bernapas. Kostum dan historisnya juga tidak sama dengan tari topeng lainnya.


Dalam perjalanannya, tari Topeng Losari Cirebon mengalami naik turun. Di masa neneknya, tari Topeng Losari Cirebon sempat dianggap tarian musyrik dan beraliran komunis. Seketika aktivitas tari topeng pada masa itu pun vakum. Namun, lambat laun label negatif itu hilang seiring pemahaman masyarakat bahwa tari topeng adalah tradisi yang harus dipertahankan. Di masa sekarang, Nur Anani menjelaskan, rintangan yang datang berbeda. Modernitas memengaruhi sikap masyarakat. Kesenian tradisi kerap dipojokkan dan berdampak pada sepinya permintaan manggung. Masyarakat cenderung memanggil organ tunggal untuk mengisi perhelatan dari pada menampilkan tari Topeng Losari. Yang membuat Nur Anani makin sedih, mereka sanggup membayar mahal untuk organ tunggal, sementara ingin murah bila mengundang penari Topeng Losari, bahkan ada yang minta gratis.

Berbeda dengan di luar negeri, tari Topeng Losari justru sangat dihargai. Tari Topeng Lisari Cirebon rutin diundang dalam misi kebudayaan. Sementara di kampungnya sendiri apresiasi pemerintah daerah belum maksimal. Tari Topeng Losari sering tidak dilibatkan pada event besar daerah karena gerak dan kostumnya berbeda. Ini, menurut Nur Anani, seolah membatasi ruang dan kesempatan penari Topeng Losari untuk berkarya. Bukan itu saja, gerak galeyong dan gantung sikil juga dianggap erotis sehingga tidak bisa ditampilkan di keraton. Belum lagi tak adanya dukungan moral dan material saat penari Topeng Losari hendak pentas di luar kota. Tak jarang, Nur Anani harus merogoh kantong sendiri untuk bisa mengikuti pentas di luar kota, padahal itu membawa nama daerah. Namun, meski merasa miris, tetapi Nur Anani tidak mau menyerah lalu berhenti melestarikan tari Topeng Losari Cirebon.

Nur Anani sudah cukup senang kini tari Topeng Losari Cirebon sudah dikenal masyarakat, tidak terkecuali di mancanegara. Masyarakat Eropa, katanya, begitu mengapresiasi tarian sakral ini. Mereka bahkan mengagendakan tari Topeng Losari untuk tampil di ajang bergengsi di sana setiap tahunnya. Hasil dari undangan ke luar negeri ini yang digunakan untuk keberlangsungan tari Topeng Losari. Terkadang jika tidak ada dana untuk mengikuti pementasan di kota lain, Nur Anani pun harus menggadaikan barang milik pribadi.


Saat ini, sebagian besar murid yang belajar tari di Sanggar Purwa Kencana miliknya, berasal dari desa tempatnya tinggal. Jumlahnya sudah mencapai 80 orang. Dalam berbagai kesempatan, Nur Anani pun kerap mengingatkan warga untuk ikut ambil bagian dalam melestarikan kesenian daerah ini. Selain itu, dengan mengetahui aktivitasnya menari hingga ke luar negeri, Nur Anani berharap mereka bisa percaya dan mau mengajak anak-anaknya menari. Inilah yang akhirnya membuat sanggarnya ramai. Anak-anak desa sekarang antusias berlatih tari topeng. Nur Anani tentu senang melihatnya, setidaknya ia jadi punya harapan akan keberlangsungan tari Topeng Losari di masa mendatang.

Bicara tentang masa kecilnya, Nur Anani bercerita, dia berasal dari keluarga yang serba kekurangan. Sejak kecil ia sudah ikut membantu orangtua. Sebagai sulung dari lima bersaudara, ia bertanggung jawab menolong perekonomian keluarga. Saat ayahnya meninggal, kehidupan keluarganya pun makin sulit. Di sela kegiatan menari, Nur Anani bekerja serabutan. Dari menjadi kuli hingga pembantu rumah tangga pernah ia lakukan. Meski hanya dibayar dengan upah murah, tetapi setidaknya ia dapat meringankan beban orangtua. Masa kecilnya memang cukup prihatin. Untuk keperluan sehari-hari, termasuk untuk bersekolah, ia harus mencari sendiri dengan bekerja. Bahkan seringkali ia minta pihak sekolah untuk meringankan biaya sekolahnya. Kompensasinya, Nur Anani siap diminta untuk mengikuti perlombaan dan harus bisa menjadi juara atau menari di berbagai kegiatan di sekolah. Semua itu dengan ikhlas ia jalani demi bisa mendapat pendidikan.

Sedari kecil, Nur Anani memang sangat bersemangat sekolah. Neneknya juga selalu memotivasinya untuk tidak putus sekolah dan berharap suatu ketika ia dapat duduk di bangku perguruan tinggi. Neneknya berharap, keturunan Dewi dan Sawitri harus ada yang berpendidikan tinggi. Ketika lulus SMA, sang nenek pun meminta murid-muridnya untuk membantu Nur Anani agar bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Kebetulan, salah seorang dari murid neneknya adalah dosen di STSI Bandung. Nur Anani pun akhirnya bisa melanjutkan pendidikan ke STSI Bandung dengan beasiswa. Kesempatan ini tentu tidak ia sia-siakan. Ini ia buktikan dengan menyelesaikan kuliah tepat waktu dengan IPK memuaskan. Harapan Nur Anani ke depan adalah, ingin terus bisa memberi manfaat bagi banyak orang, mengabdikan diri untuk keberadaan tari Topeng Losari Cirebon dan menjadikan tari ini dikenal masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar