Membantu sesama
bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya menjadi relawan kemanusiaan
seperti yang dilakukan Nonis Murwanika Sari. Perempuan kelahiran Wonogiri ini
aktif membantu warga tak mampu penderita penyakit kronis hingga ke pelosok.
Akses yang sulit tak menghalangi langkahnya. Ia pun juga aktif mengadvokasi dan
memberikan pendampingan bagi perempuan dan anak-anak korban kekerasan di kota
kelahirannya.
Sebelum terjun
di bidang kemanusiaan, awalnya Nonis menjalani harinya sama seperti orang
kebanyakan. Ia sempat bekerja di sebuah kantor. Selain itu, ia juga aktif
menulis di media sosial. Dari situlah ia menemukan banyak sekali informasi
tentang warga tidak mampu di Wonogiri yang mencari dana untuk pengobatan. Namun
sayangnya, banyak orang yang hanya sekedar berkomentar atau berwacana, namun
tidak melakukan sesuatu. Sampai kemudian, Nonis menemukan sebuah komunitas yang
selalu membagikan info tentang masyarakat yang membutuhkan pertolongan, dan
juga ikut membantu mencarikan dana. Nonis pun tertarik dan bergabung dengan
komunitas yang bernama Pawon Mas (Paguyuban Wonogiri Manunggal Sedya) itu. Ia
kemudian aktif di komunitas ini dan ikut terjun membantu warga tidak mampu yang
butuh pertolongan.
Setelah terjun
langsung ke lapangan, Nonis mendapati fakta bahwa ternyata banyak sekali warga
tidak mampu yang harus segera dibantu. Karena merasa terpanggil, akhirnya ia
pun memutuskan keluar dari pekerjaan agar punya waktu lebih banyak untuk aktivitas
sosial ini. Belakangan, ia pun menyadari bahwa kendala utama dalam aktivitasnya
adalah mencari dana. Ia butuh wadah yang bisa ikut membantu masalah pendanaan. Setelah
melihat aktivitas sosial yang dilakukannya di Wonogiri, Nonis pun akhirnya
ditarik untuk bergabung dengan komunitas SR (Sedekah Rombongan). Tak hanya
membantu soal pendanaan, lewat SR pula, akhirnya jadi semakin banyak warga yang
bisa ia bantu. Selain itu, di SR Nonis juga menemukan teman-teman yang sevisi.
Kegiatan yang
dilakukan Nonis di SR adalah memberikan pendampingan untuk warga tidak mampu
yang punya penyakit kronis sejak awal. Sebelumnya, ia mencari informasi siapa
saja warga tidak mampu yang tinggal di pelosok Wonogiri yang butuh bantuan dana
untuk pengobatan. Setelah survei dan melihat kondisi, ia pun kemudian segera
bergerak membantu membujuk dan mengantarkan ke rumah sakit. Dan ia akan terus
mendampingi hingga pasien sembuh dan kembali ke rumah. Di samping itu, Nonis
juga bergabung dengan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak). Ia ikut mengadvokasi perempuan dan anak korban kekerasan. Nonis
menilai, biasanya di daerah yang miskin itu cukup rawan dan memiliki angka KDRT
yang tinggi. Karena itulah, ia siap membantu mereka yang tidak mengerti soal hokum.
Salah satu kasus yang pernah ia tangani adalah, seorang anak umur 3 tahun yang
jadi korban kekerasan orangtuanya. Nonis dan teman-teman di P2TP2A pun mengawal
kasus ini dan ikut membantu pemulihan kondisi korban.
Nonis sadar
menjadi relawan itu berarti harus rela atau ikhlas tanpa meminta imbalan alias
tidak dibayar. Ia merasa ini adalah panggilan jiwanya. Ia seperti disadarkan,
kalau memang mau menolong, tidak harus menunggu kaya dulu. Karena menolong juga
tidak hanya melulu soal materi. Bahkan sebenarnya ia yang justru banyak belajar
dari mereka yang jadi pasien dampingannya. Nonis belajar bersyukur, bersabar,
dan bersemangat di tengah keterbatasan. Ia juga makin tertantang membantu
banyak warga lainnya. Secara demografis, 25 kecamatan di Wonogiri merupakan
hutan dan gunung. Maka medan area yang ditempuhnya pun cukup menantang. Pasien
yang ia damping kebanyakan tinggal di pelosok yang jauh sekali dari kota dengan
akses dan medan yang susah dijangkau.
Nonis
menjelaskan, bahwa Wonogiri dikenal memiliki kasus penyakit kronis paling
ekstrem di antara daerah-daerah sekitarnya. Ia pernah menangani seorang ibu
yang sudah 11 tahun terkena tumor kandungan dan menanggung beban 16 kg di
perutnya. Untuk makan saja ibu itu merasa kesusahan, apalagi pergi ke Puskesmas
yang aksesnya tidak mudah. Nonis pun juga harus belajar secara otodidak soal
penyakit, istilah medis, dan memperbanyak informasi dengan bertanya ke dokter
dan pakar. Ia harus bisa menenangkan pasien dan keluarga apabila mendapatkan
kabar tidak menyenangkan dari dokter, ikut memotivasi dan memantau sampai
pasien sembuh dan pulang dalam kondisi yang lebih baik.
Untungnya,
Nonis termasuk perempuan yang tahan dan tidak gampang jijik. Padahal pasien
yang ia dampingi biasanya kondisinya sudah parah, bahkan dikucilkan oleh keluarga
karena keadaannya. Nonis juga harus bisa berkomunikasi dengan berbagai pihak
mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga provinsi untuk mengurus administrasi
kependudukan. Karena biasanya, warga yang tidak mampu tidak memiliki administrasi
kependudukan yang lengkap, misalnya KTP, sehingga untuk mengurus BPJS juga
sulit. Belum lagi, ia juga masih harus menghadapi pihak rumah sakit dan melobi
meminta penanganan yang cepat apabila ada kondisi gawat darurat, termasuk
meminta keringanan pembayaran. Untungnya, semua masalah tersebut bisa ia
hadapi. Dan dengan niat baik, ada saja kemudahan yang ia terima. Sekecil apa
pun bantuan selalu datang. Karena itulah, Nonis pun semakin termotivasi untuk
terus membantu.
Sibuk dengan
kegiatan kemanusiaan, membuat Nonis sering pulang malam. Nonis pun mengaku
sempat mendapatkan cibiran oleh lingkungannya dan dikira perempuan nakal.
Untungnya, orangtuanya sudah tahu betul sifat dan karakter anaknya. Mereka
jutsru terus mendorong Nonis dan mendukung semua aktivitas sosialnya. Hingga
suatu ketika, Nonis sempat menyewa mobil salah satu tetangganya untuk membantu
mengantarkan pasien dampingannya. Ternyata, pasien dampingannya ini bercerita
banyak mengenai aktivitas Nonis kepada tetangga yang ia sewa mobilnya. Kabar
bahwa ia pulang malam karena sering ke rumah sakit dan membantu para pasien
tidak mampu, akhirnya menyebar. Pandangan negatif atas dirinya pun akhirnya
hilang sendiri. Bahkan sekarang banyak tetangganya yang justru ikut bangga dan
memberikan informasi pasien mana yang perlu ditolong.
Dari
aktivitasnya, setiap hari Nonis selalu menemui cerita penuh suka duka yang
tidak bisa ia lupakan. Sukanya, tentu bila ia bisa melihat pasien dampingan
pulang dalam kondisi lebih baik dan kembali menjalani kehidupannya. Melihat
keluarga pasien yang bahagia itu merupakan bayaran untuknya. Ini juga bisa
menjadi refleksi dalam kehidupannya dan ia benar-benar bisa belajar dari pasien
dan keluarganya yang ia dampingi. Setiap pasien dampingan dengan kondisi yang
berbeda itu memang memiliki ceritanya masing-masing. Ada yang mulus-mulus saja
tanpa hambatan, ada yang dari awal mendapatkan pendampingan harus penuh
perjuangan, bahkan sampai sembuh pun masih berjuang. Salah satunya, ada pasien
yang tinggal di puncak gunung, dan karena tidak ada akses transportasi, pasien
itu kemudian terpaksa ditandu melewati jalan setapak. Kadang Nonis juga merasa
heran dan ikut sedih, melihat warga yang sudah tidak punya, tapi masih dikasih
penyakit yang berat.
Nonis
bercerita, ada satu pengalaman yang menjadi bukti bahwa apabila kita
bersungguh-sungguh dan mau berusaha, pasti akan diberikan jalan. Waktu itu ia
punya satu pasien dampingan yang harusnya melahirkan pukul 09.00, tapi karena
tidak memiliki dana, pasien itu harus menunggu hingga pukul 21.00. Ketika sudah
tidak kuat, barulah pasien itu menelepon Nonis dan meminta bantuan malam itu
juga. Akhirnya, masalah itu berhasil ditangani. Tapi, karena penanganannya
cukup lama, bayinya pun mengalami sesak napas hebat. Bahkan dokter memvonis
kesempatan bayi hidup hanya 30%. Begitu sang bayi lahir, langsung dibawa ke
ruang NICU selama 38 hari. Keadaan itu sempat membuat si ibu down. Di situlah Nonis berusaha
menguatkan dan memberikan motivasi. Dan benar saja, bayi yang kemudian ia
usulkan diberi nama Bagas Putra Aprilio ini ternyata sekarang sehat dan tumbuh
baik. Kebetulan, karena prinsip Nonis adalah, “hadapi, sikat, selesaikan, dan
menghilang dalam kesenyapan”, jadi ia tidak lagi melakukan kontak setelah
pasien dan bayinya itu pulang. Hingga setahun kemudian ketika ia mencoba
berkunjung, si bayi itu seakan-akan sudah mengenali dirinya. Memang, ketika
dulu berada di ruang NICU, setiap hari Nonis selalu membisikkan ditelinganya,
supaya si bayi bertahan dan menjadi anak yang kuat. Dan saat bertemu kembali,
ternyata anak itu nempel dan lengket
betul dengan Nonis. Kebanyakan anak-anak dari pasien yang pernah didampinginya
memang sudah seperti menjadi anak angkatnya. Nonis pun kerap disapa Bunda.
Nonis mengaku,
untuk mencari orang yang mau terjun membantu orang sakit dan langsung
mendampingi seperti dirinya memang tidak mudah. Untuk kegiatannya ini, biasanya
Nonis dibantu tim yang menyurvei begitu ada informasi masuk. Paling tidak ia
memiliki satu orang rekan di setiap kecamatan untuk membantu informasi dan
pengecekan. Tetapi, belakangan ini banyak juga yang langsung menghubunginya di
kontak pribadi. Bahkan sekarang, justru pihak kecamatan yang malah menghubungi
Nonis dan meminta bantuan untuk mendampingi warganya. Untungnya bagi Nonis,
saat ia butuh bantuan soal administrasi kependudukan, pihak kecamatan jadi
kooperatif dan mau bekerja sama.
Saat ini Nonis
masih punya impian, nantinya satu desa bisa memiliki satu ambulans. Karena itu
bisa sangat menolong. Bisa dibayangkan, betapa beratnya bila ada pasien yang
tinggal di pelosok dan mengalami sakit berat, lalu harus dirujuk ke Solo.
Kadang Nonis meminta mereka mencari carteran mobil sampai Wonogiri, dan nanti
ia yang akan membayarnya. Tapi masalahnya ternyata tidak semua desa ada tempat
pemnyewaan mobil, bahkan kepala desanya saja pun hanya punya motor dinas, bukan
mobil. Selain itu Nonis juga masih memendam mimpi, ingin memiliki yayasan
sendiri, agar ia makin leluasa menolong, tidak cuma di Wonogiri saja, tetapi
juga kota-kota sekitarnya. Ia juga berharap bisa memiliki pasangan hidup yang
memahami aktivitas sosialnya, bahkan syukur-syukur juga ikut terlibat dan mau
membantu.
Lengkap banget yaaakk...😊😊
BalasHapus