Dokter spesialis
anak berwajah elok ini ingin berbagi cerita pada sesama ibu. Pengalaman pribadi
yang cukup berat saat memasuki masa kehamilan, merawat anak, sampai tips dan
trik agar si anak tumbuh dengan fisik dan mental sehat dia tuangkan dalam buku.
Selain dari pengalaman yang ia rasakan sendiri, dokter yang sehari-hari
berpraktik di RS Dr. Soetomo, Surabaya ini, juga berbagi cerita saat menangani
pasien. Kini, sudah ada 5 buku yang lahir dari tangannya.
Sejak kecil,
Meta memang sudah suka dunia tulis menulis. Keinginan menulis itu mungkin terbangun
lantaran sejak kecil ia juga gemar membaca. Karena itu, Meta bercerita, sampai
saat ini pengeluaran terbesar bulanannya adalah untuk membeli buku. Buku yang
sudah ia terbitkan, masing-masing berjudul, Peace
of My Heart, Metamorfosis, 1+1=3, Don’t Worry to be a Mommy ! dan Play
and Learn. Pada buku pertama dan kedua memang tidak membahas soal anak,
tetapi tentang apa saja yang ia alami ketika menjadi calon dokter spesialis.
Kisah-kisah lucu, unik, maupun duka itu awalnya hanya ia tulis dalam blog
pribadinya saja. Tetapi setelah berkenalan dengan Zara Zettira di Facebook ia
justru ditawarkan agar tulisan di blog tersebut dibukukan karena ceritanya
seru. Zara Zettira sendiri sebelumnya memang sudah membaca tulisan-tulisan Meta
di blog.
Awalnya Metta mengaku sempat gamang, tidak percaya diri. Tapi Zara Zettira, yang seorang penulis sekaligus sutradara dan salah satu penulis idolanya itu, rela menawarkan diri untuk menjadi editornya. Tentu saja, tawaran tersebut membuatnya surprise dan langsung menerima. Sementara itu pada buku ketiga dan keempat, isinya memang hampir sama yakni tentang kisah masa awal kehamilan sampai awal menjadi ibu baru. Sejak awal kehamilan hingga akhir, Meta sempat mengalami masalah kesehatan yang sangat berat. Dan pada buku kelima, barulah ia sharing soal bagaimana cara mendidik anak.
Setelah lulus menjadi dokter umum, Meta lalu memgambil Spesialis Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Tak hanya dirinya, sang suami, Hari juga mengambil spesialis di tempat yang sama, hanya saja memilih Kebidanan dan Kandungan. Kurang dari setahun menikah, Meta positif hamil. Tentu saat itu suasana batinnya amat bahagia. Namun, ia merasakan sejak awal kehamilan sudah mulai bermasalah. Ia muntah-muntah terus tidak bisa berhenti. Walau sebenarnya bagi ibu hamil muntah itu biasa, tapi yang terjadi padanya saat itu luar biasa hebat. Ia praktis tidak bisa makan apa-apa, begitu ada makanan sedikit saja yang masuk ke tubuhnya, ia langsung muntah hebat. Bahkan jantungnya pun sampai bocor, hingga ia harus diinfus. Tak hanya itu, memasuki usia kehamilan tujuh bulan begitu muntah tensi darahnya langsung meninggi. Mukanya pun bengkak-bengkak. Akibatnya terjadi pendarahan di mata, sehingga bagian putih matanya berubah menjadi merah darah dan hanya mampu melihat sesuatu dari jarak beberapa senti saja, selebihnya tidak bisa. Belum lagi, sekujur tubuhnya juga muncul jamur sehingga gatalnya luar biasa. Praktis, saat masa kehamilan itu ia harus cuti kuliah setahun penuh karena harus istirahat total.
Karena
tensinya yang terus meninggi, dokter lalu menyarankan supaya bayinya harus
segera dikeluarkan melalui operasi Caesar untuk menghindari bahaya. Untungnya,
begitu selesai operasi, kondisi fisiknya kembali sehat. Hanya persoalan
berikutnya adalah, gantian bayinya yang bermasalah. Tubuh bayi perempuan cantik
yang ia beri nama Arshiya Nayara Avanisha Nugroho itu sempat kuning parah
sampai harus diopname selama 3,5 bulan. Dokter saat itu sudah menyarankan untuk
transfusi darah, tapi akhirnya tidak sampai dilakukan, meski tetap terus melakukan
fisioterapi dalam waktu lama. Untungnya pula, saat menghadapi masa-masa sulit seperti
itu, sang suami tetap berusaha terlihat tenang dan santai.
Tapi, setelah
buah hati tercintanya, yang biasa dipanggil Nayara, tumbuh sehat, ternyata
cobaan masih belum berhenti. Nayara tumbuh menjadi anak yang sangat
perfeksionis. IQ-nya 150, sehingga dia tidak mudah bergaul dengan orang-orang baru.
Dan yang membuat Meta makin pusing, pertanyaan yang keluar dari mulut si anak
kerap terlalu kritis sampai-sampai Meta tidak bisa menjawabnya. Sampai saat ini
pun Meta masih terus rajin konsultasi ke psikolog anak mengenai keadaan yang
dialami anaknya.
Tidak sekedar
curhat, di dalam buku yang ditulisnya, Meta juga berbagi tips, fakta, dan mitos yang
seringkali dialami ibu hamil sampai melahirkan. Ia berbagi tips sesuai yang
pernah ia rasakan, misalnya perihal sebaiknya tidak menjenguk ibu yang baru
saja melahirkan. Membesuk itu sebaiknya beberapa hari kemudian setelah suasana
hati si ibu nyaman, dan badannya mulai bugar. Karena, ketika si ibu masih dalam
kondisi capek dan fisik yang belum prima, kemudian harus menemui banyak tamu,
bisa menimbulkan baby blues syndrome,
yaitu kondisi psikologis seorang ibu yang tiba-tiba mengalami rasa sedih,
cemas, gundah, dan sebagainya. Di bukunya, Meta juga berbagi tips kepada calon
ibu, bagaimana caranya menghadapi hal-hal seperti itu. Di antaranya perbanyak
membaca buku seputar pasca persalinan, berdiskusi dengan ibu-ibu yang sudah ‘senior’
dan pernah menghadapi masalah, serta pentingnya dukungan keluarga.
Buku kelima yang ia tulis temanya memang agak berbeda. Di buku tersebut ia sharing tentang cara merawat dan mendidik anak. Meta merasa, ia juga perlu berbagi pengalaman, karena selain sebagai seorang ibu, ia juga sebagai seorang dokter anak yang setiap hari sering mendapati pengalaman yang berkaitan soal pola asuh. Salah satunya penggunaan gadget pada anak. Dulu, sebelum punya anak, ia dan suami berencana kelak bila sudah memiliki anak, sedini mungkin akan mereka berikan gadget untuk melatih anaknya supaya melek teknologi. Tetapi pandangannya berubah sebaliknya setelah membaca referensi tentang dampak gadget pada perkembangan anak.
Dan ternyata
itu benar. Meta tahu ketika ia menjadi dokter dan berdinas di bagian Poli Anak RS
Dr. Soetomo sampai sekarang ini. Beberapa waktu lalu ada orangtua yang datang
dan mengeluh anaknya sudah berusia 7 tahun tapi tidak bisa menulis sama sekali.
Ternyata, diketahui bahwa orangtuanya di rumah selalu memberikan gadget sebagai mainan dan tidak pernah
membiasakan si anak memegang pensil. Akibatnya, otot-otot jari si anak pun jadi
kaku. Sementara untuk menjalankan game di
gadget hanya cukup menyentuh dengan
ujung jari. Akhirnya dilakukanlah terapi untuk si anak supaya bisa menulis. Ada
lagi ibu yang mengeluh anaknya telat bicara. Si anak hanya bisa bicara dengan
suara mirip seekor kambing. Setelah digali, akhirnya diketahui bahwa keseharian
anak ini dititipkan ke neneknya karena kedua orangtuanya bekerja. Di tempat si nenek
ini, supaya si anak tidak rewel, sehari-hari diputarkan film Shaun The Sheep yang berkisah tentang
binatang domba dari keping VCD. Karena setiap hari tidak pernah diperkenalkan
kosa kata baru maka si anak pun akhirnya hanya bisa menirukan suara domba seperti
yang dilihatnya di tayangan film tersebut.
Menurut Meta,
untuk memberikan mainan yang bagus bagi perkembangan motorik maupun psikis
anak, sebenarnya kalau orangtua mau itu banyak sekali contohnya, bahkan tidak
perlu sampai membeli. Cukup dengan memanfaatkan barang apa saja yang tidak
terpakai di rumah. Misalnya kain perca warna-warni bisa dipotong-potong
kemudian dibentuk binatang, lalu ditempel di atas karton dengan diberi hiasan manik-manik
agar anak tertarik. Bisa juga mengajak anak bermain untuk melatih fisik dan
mentalnya supaya tangguh dengan cara yang menyenangkan. Meta sendiri biasanya
di waktu senggang suka mengajak Nayara bermain petualangan mencari harta karun.
Permainan ini selain melatih fisik anak, juga perlu perjuangan untuk bisa menemukan
‘harta karun’ tersebut melalui berbagai petunjuk-petunjuk. Dari permainan ini
saja manfaatnya sudah luar biasa besar. Karena baik fisik, mental, maupun
motorik kasar dan halusnya terlatih secara maksimal. Meta menegaskan, bermain
bagi si anak memang sangat perlu, tetapi permainannya juga harus bermakna
positif.
Menjadi dokter
sebenarnya bukan menjadi satu-satu keinginan Meta sejak kecil. Dulu
cita-citanya banyak sekali. Ia sempat ingin menjadi wartawan karena gemar
menulis tetapi juga ingin menjadi dokter spesialis anak, terinspirasi dari
mendiang Hidayat Halim, yang seorang dokter anak di Bandung. Tapi, sang ayah
akhirnya meminta sebaiknya ia menjadi dokter anak saja. Karena menjadi dokter
pun masih tetap bisa menulis, sementara penulis tidak bisa menjadi dokter. Dan
ternyata perkataan ayahnya itu benar. Semua itu bisa tercapai. Bahkan, bukan
hanya sebagai penulis, tetapi di sela-sela berdinas di RS Dr. Soetomo, Meta pun
kini juga bisa menjadi penyiar di salah satu radio di Surabaya, serta menjadi
pembawa acara di stasiun televise lokal.
Bercerita soal
suaminya, saat ini menjadi dokter kebidanan dan kandungan di RS Dr. Soetomo, juga
di beberapa rumah sakit swasta. Tapi, karena waktu suaminya setiap hari lebih
banyak dihabiskan di ruang operasi, terkadang harus pulang larut malam. Kendati
demikian, sang suami tetap selalu memanfaatkan waktu luangnya bersama keluarga.
Bahkan suaminya pula yang turun langsung mengajari Nayara berbagai
keterampilan, mulai musik, menyanyi, sampai kadang diajari pula memasak di
dapur. Kebetulan, suaminya memang jago memasak.
0 komentar:
Posting Komentar