Minggu, 28 Agustus 2016

JEMI NGADIONO : Penggagas Gerakan 1000 Guru, Berbagi Ilmu Ke Pelosok Negeri



Pria kelahiran Lampung, 11 Mei 1984, ini tak pernah menyangka gerakan sosialnya menjadi besar dan diapresiasi ke penjuru Tanah Air. Dia adalah Jeri Ngadiono, penggagas gerakan 1000 Guru yang fokus memajukan pendidikan untuk anak-anak pedalaman. Kini, gerakan 1000 Guru tersebar di 33 provinsi dan memiliki 38 perwakilan regional yang membantu pendidikan anak pedalaman.

Gagasan gerakan 1000 Guru diawali ketika Jemi yang kebetulan bekerja di bidang kreatif sebagai editor kamera, diminta tugas keliling daerah untuk mendokumentasikan daerah-daerah pedalaman. Saat itulah, ia melihat langsung kondisi pendidikan anak-anak pedalaman yang begitu memprihatinkan. Kemudian Jemi pun segera mempercepat pekerjaannya agar bisa selesai sebelum batas waktu dan bisa memaksimalkan satu hari untuk mendatangi sekolah terdekat, sambil membawakan roti untuk anak-anak pedalaman itu. Ia juga sempat masuk kelas untuk berbagi motivasi dan cerita. Di situ, Jemi semakin termotivasi untuk bisa berbagi dan berkontribusi bagi dunia pendidikan. Ia lalu memulainya dengan mem-posting potret anak-anak pedalaman yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan. Foto-foto itu lantas ia sebar ke media sosial Facebook. Namun salah seorang teman malah menyarankannya untuk mem-posting di Twitter, yang waktu itu memang tengah booming. Menuruti usulan teman, Jemi langsung membuat akun di Twitter dengan nama @1000_guru. Nama itu tercetus secara tiba-tiba saja dan secara rima ketika disebut juga terdengar enak. Lalu, mulailah Jemi melakukan gerilya di media sosial Twitter, tepatnya di tahun 2012.


Saat itu, Jemi punya strategi dengan me-mention artis-artis dan public figure agar ikut mempromosikan. Dan ternyata, foto serta postingannya di-retweet dan direspons dengan baik, bahkan banyak artis yang mendukung, seperti Farhan dan lainnya. Follower pun terus bertambah mencapai ribuan. Tidak berapa lama, permintaan untuk ikut mengunjungi anak pedalaman dan berbagi pun berdatangan. Akhirnya, Jemi memberanikan diri membuka trip pertama kali di tahun 2012. Dengan konsep Traveling and Teaching (TNT), ia melakukan perjalanan pertama bersama 9 orang lainnya ke Rangkas Bitung. Setelah berkegiatan di salah satu sekolah, peserta TNT kemudian ia ajak ke Baduy. Memang, di awalnya kegiatan itu belum berjalan dengan baik, tapi itu menjadi evaluasi baginya. Berselang waktu kemudian, Jemi lalu membuka trip kedua dengan tujuan Lampung. Saat itu peserta sudah bertambah hingga 30 orang. Berikutnya, setiap ia open trip, jumlah peserta yang mendaftar sudah mencapai ratusan, hingga harus ia saring. Jemi lalu membuat tim dan program, serta mulai aktif menjadi sociopreneur.

Teman-teman relawan yang tadinya peserta ada yang bergabung menjadi tim, karena Jemi memang membutuhkan banyak teman untuk mengembangkan program. Sementara ia yang mengorganisir, mulai dengan membentuk beberapa tim, seperti tim kreatif yang bisa menyaring peserta dan membuat lesson plan kepada peserta TNT yang akan dipilih untuk mengajar. Setelah program TNT berjalan, Jemi juga melihat kebutuhan masyarakat pedalaman yang lain yaitu pengobatan gratis. Kebetulan, Gerakan 1000 Guru ini diikuti berbagai profesi dan kalangan, salah satunya teman-teman yang menjadi tenaga medis. Mereka pun dengan senang hati memberikan bantuan dan mau berbagi, tak hanya mengajar selama setengah hari saja. Kemudian muncul pertanyaan, apa efeknya kalau hanya mengajar setengah hari saja lewat TNT? Menjawab permasalahan itu, Jemi lalu membuat program ketiga yaitu Smart Center.


Smart Center berupa mengadopsi satu sekolah yang keseluruhan siswanya selama satu bulan akan mendapatkan makanan tambahan bergizi sebanyak 16 kali. Bisa berupa susu, telur, bubur kacang hijau, kue basah, dan lain-lain. Saat ini, gerakan 1000 Guru baru memiliki 2 Smart Center di Poso dan NTT. Total sudah 200 anak yang dibantu lewat Smart Center ini. Ke depan, ia akan terus memperbanyak dan mengajak teman-teman di setiap regional untuk membuat program Smart Center. Pendirian Smart Center ini juga melihat kebutuhan pada setiap daerah. Jadi, setiap kali disurvei, dilakukan juga pre-test membaca dan menulis. Apabila masih banyak yang buta huruf, maka akan ada guru yang digaji untuk mengentaskan buta huruf dan mengajarkan anak-anak secara gratis selama tiga bulan. Saat ini, 1000 Guru baru memiliki 2 guru untuk membantu mengajar di Smart Center. Jemi berharap Smart Center ini bisa menjadi solusi permasalahan di masing-masing daerah.

Ketertarikan Jemi terjun sebagai sociopreneur, diakuinya, lantaran ia memang memiliki pengalaman yang membekas dan mendalam soal pendidikan. Ia tumbuh dari keluarga yang kurang mampu di Lampung. Kedua kakaknya bahkan tidak bisa melanjutkan sekolah dan hanya lulusan SD dan SMP. Tetapi, sejak kecil Jemi memang ingin terus bersekolah, bahkan sampai kuliah, karena ia terhitung berprestasi, dan selalu juara kelas. Saat ia lulus SMP, kondisi keluarganya semakin buruk. Bahkan, Jemi sampai mengancam ayahnya, bila ia tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMA, ia ingin jadi maling saja. Saat itu, ayahnya pun menyerah dan sudah berniat menjual anak sapinya agar Jemi bisa melanjutkan sekolah SMA. Tapi sebelum sempat mendaftarkan diri, ternyata ada orang Jakarta yang menawarkan bantuan untuk menyekolahkan Jemi di Jakarta. Kedua orangtuanya pun setuju. Dan, karena tahu akan disekolahkan gratis, Jemi pun menurut saja. Sesampainya di Jakarta, ternyata ia tinggal di panti asuhan. Jemi sempat drop, dan merasa kedua orangtuanya sudah tidak mau lagi mengurusnya.


Setelah sampai Jakarta pun, Jemi juga tidak langsung sekolah. Perlu waktu 2 tahun untuk meyakinkan pihak panti dan membuktikan bahwa ia benar-benar ingin melanjutkan sekolah. Akhirnya, Jemi pun bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA. Begitu pula saat kuliah, banyak perjuangan yang harus Jemi hadapi. Salah satunya saat ia mendapatkan tawaran dibiayai gratis oleh atasannya. Perjuangan yang seperti itulah yang semakin membuatnya bertekad berkontribusi untuk pendidikan. Ia tahu betul bagaimana anak di kampung ingin sekolah, tapi pupus karena keadaan. Lewat gerakan 1000 Guru, Jemi ingin supaya banyak anak-anak yang terus termotivasi dan tidak menyerah untuk mencapai mimpi setinggi langit.

Komunitas 1000 Guru memang aktif di media sosial, jadi untuk yang ingin bergabung harus mem-follow dulu akun @1000_guru, kemudian bisa melihat aktivitas linimasanya untuk seluruh jadwal kegiatan dan program. Untuk kegiatan TNT memang ada saringan peserta. Biasanya jumlahnya memang dibatasi tak banyak dan memfilternya dengan melihat cv serta motivasi peserta. Tim kreatif lalu akan memilih 30 peserta yang bisa terlibat dalam kegiatan TNT. Diharapkan, dalam satu kelas ada 5 peserta TNT yang bekerja sama dalam tim untuk memberikan materi yang menyenangkan kepada anak-anak sekolah pedalaman. Di akun @1000_guru, tidak hanya info jadwal trip TNT saja, tetapi informasi mengenai donasi juga di-share secara rutin. Salah satunya donasi patungan 67 pasang sepatu baru untuk anak-anak SDN Rium Amarasi, Kupang, NTT yang diberikan pada 30 Januari 2016. Selain di Twitter, semua update juga dibagikan di media sosial Instagram 1000_GURU.


Karena 1000 Guru merupakan gerakan sosial, jadi Jemi sangat menghindarkan ada penyalah gunaan dalam bentuk apa pun. Ia dan timnya sangat wanti-wanti dan selalu transparan apabila berbicara mengenai uang. Ia memang meminimalisir bantuan dengan uang tunai. Biasanya lebih menyarankan bantuan seperti peralatan sekolah, sepatu, tas, yang bisa langsung didistribusikan kepada masing-masing perwakilan regional. Sampai saat ini, operasional gerakan 1000 Guru memang masih swadaya. Teman-teman peserta TNT yang merasa belum puas dan masih ingin membantu akan menyumbangkan Rp 100.000 setiap bulan agar disumbangkan untuk kebutuhan Smart Center. Biasanya, 30 peserta dalam setiap trip memiliki grup chat messenger dengan koordinator teman-teman mereka juga. Ketika uang terkumpul, langsung ditransfer ke toko sembako daerah setempat untuk dibelanjakan kebutuhan Smart Center. Donasi ini memang tidak diurus langsung oleh 1000 Guru, tetapi teman-teman peserta dan relawan yang melakukannya, sehingga meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian untuk biaya operasional, tim akan melihat dan berkunjung ke daerah. Tim 1000 Guru juga memiliki lini bisnis penjualan merchandise. Dari penjualan kaus, topi, mug, tumbler, uangnya akan dikelola sebagai biaya operasional untuk tim saat melakukan kunjungan ke daerah.

Dari yang awalnya hanya sebuah gerakan sosial yang berbentuk komunitas, namun perlahan gerakan 1000 Guru semakin membesar dan terus berkembang. Jemi pun merasa butuh legalitas dan keteraturan mengenai strukturnya. Maka, ia dan tim sepakat membuat perkumpulan, tapi tidak dalam bentuk yayasan. Sebenarnya, diakui Jemi, yang hingga saat ini menjadi tantangan adalah masalah biaya dan transportasi. Seperti diketahui, untuk bisa menuju daerah pedalaman, dibutuhkan biaya cukup besar serta transportasi yang memadai. Biasanya, Jemi dan timnya akan selalu meminta bantuan kepada teman-teman yang memiliki kendaraan roda empat untuk meminjamkan agar bisa meminimalisir pengeluaran. Contoh, saat trip ke daerah Cisaranten, Cianjur. Paling tidak harus menempuh perjalanan menggunakan mobil selama 8 jam, belum lagi berjalan kaki selama dua jam. Jadi, transportasi memang menjadi hal penting untuk tim bergerak bebas. Selain itu, biaya operasional didapatkan hanya dari penjualan merchandise yang tentu juga terbatas. Oleh karenanya, kehadiran teman-teman di regional sangat membantu tim supaya bisa bergerak lebih leluasa membantu anak-anak pedalaman.


Target gerakan ini memang menyasar segmen anak muda dari berbagai profesi. Selain memperkenalkan keindahan Indonesia melalui traveling, mereka juga berbagi dan ikut memajukan pendidikan. Tak jarang, justru para peserta yang seringkali merasa terinspirasi dan termotivasi menjadi lebih baik setelah mengikuti program TNT. Mereka banyak belajar menghargai kelebihan yang dimiliki dan menjadikan pemicu untuk bisa terus bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, jadi semakin tahu bagaimana perjuangan seorang guru yang mengabdi untuk pendidikan. Bagi siapa saja yang tertarik dan ingin berbagi, tentu Jemi akan menerimanya dengan senang hati. Sama halnya dengan beberapa public figure yang ingin merasakan petualangan dan indahnya berbagi. Seperti Putri Indonesia, artis sinetron, presenter, komedian. Mereka pun diperlakukan sama seperti peserta lain. Tinggal di rumah penduduk atau di sekolahan tempat mereka akan mengajar, mandi harus antri dan mengambil air sendiri, tidak ada yang diistimewakan. Bahkan, mereka justru ketagihan dan ingin bergabung beberapa kali. Jemi berharap semoga kegiatan ini terus berjalan dan semakin banyak yang ikut memberikan kontribusi.

Saat ini fokus Jemi adalah, mengajak teman-teman regional untuk mendirikan Smart Center dan menjawab permasalahan di masyarakat pedalaman soal pendidikan khususnya. Apabila setiap regional aktif menjalankan Smart Center, Jemi optimis generasi muda penerus bangsa akan lebih baik dan berkualitas. Menurut Jemi, anak-anak pedalaman juga berhak mendapatkan peluang untuk mewujudkan mimpi besarnya. Jemi juga belum ada rencana untuk membuat kegiatan lain, karena hanya ingin berfokus menjalankan tiga program di 1000 Guru yaitu TNT, pengobatan gratis, dan Smart Center. Ia berharap, 1000 Guru bisa bekerja sama dengan berbagai komunitas yang bersedia membantu mengakomodir transportasi teman 1000 Guru dan juga melakukan aksi sosial bersama tim.

1 komentar:

  1. Jemi layak diikut sertakan dalam kemensos..sayang tim pencari bakat menteri dll dari jkw kurang membaca apa yang sdg trend dilapangan yang mampu menjawsb masalah besar yang dirasakan kalangan bawsh..jemi adalah seorang yang mampu memecahkannya

    BalasHapus