Dengan peluh
bercucuran, Iwan Febrianto mengendap-endap di antara semak pohon bakau. Matanya
yang berada di balik moncong teropong mengamati dengan seksama ke arah ribuan
burung yang sedang mematuk-matuk cacing laut di antara daratan lumpur pantai
selat Madura yang sedang surut. Dedikasinya untuk dunia satwa, khususnya burung
pantai migran, memang patut diacungi jempol. Selama belasan tahun ia blusukan
ke pantai timur Surabaya (Pamurbaya) untuk mengamati ribuan burung pantai migran
yang datang dari berbagai belahan benua lain. Menurut Iwan, semakin banyak
burung di pantai, berarti semakin bagus kondisi alamnya. Dan di Indonesia
sendiri, terdapat sekitar 63 jenis burung pantai dari 200 jenis lebih yang ada
di dunia.
Setiap kali
ingin mengamati burung, Iwan harus melihat dulu pasang surut air laut melalui
internet. Bila sedang surut, barulah ia datang ke pantai, karena burung laut
memang akan berkumpul mencari makanan di atas lumpur saat air laut surut. Apa
yang dilakukan Iwan memang tidak biasa. Ia mengabdikan dirinya melakukan
pengamatan dan riset untuk lingkungan, khususnya di habitat burung pantai migran.
Untuk diketahui, burung pantai setiap tahun melakukan migrasi dari satu kawasan
ke kawasan lain di berbagai belahan dunia.
Iwan sendiri
menekuni dunia yang tidak biasa ini sejak tahun 1999. Awalnya, sarjana teknik
sipil dari salah satu PTS di Surabaya ini diajak Klub Indonesia Hijau (KIH)
untuk melakukan pengamatan burung air di kawasan Wonorejo, yang saat itu
kondisi alamnya masih ‘perawan’ dan belum ada jalan setapak seperti sekarang
ini. Burung air, menurut Iwan, adalah burung yang secara ekologis bergantung
pada lahan basah, misalnya burung kuntul-kuntulan, bebek-bebekan, dan
sebagainya. Burung air ini ada di pinggir laut, sawah, sungai, atau daerah yang
tidak jauh dari air.
Saat bergabung
dengan teman-temannya di KIH itu, Iwan hanya ikut mengamati, misalnya di mana
burung-burung itu bersarang setiap hari, bagaimana mencari makan, berkembang
biak, dan sebagainya. Dan dari sanalah, awalnya ia mencintai dunia ‘perburungan’.
Namun dalam perjalanan waktu, tahun 2006 Iwan mulai bergeser dengan melakukan
pengamatan pada burung yang lebih spesifik yaitu burung pantai migran yang
banyak dijumpai di kawasan Wonorejo yang masih masuk kawasan Pamurbaya.
Burung pantai
adalah bagian dari burung air tetapi lebih spesifik lagi, yakni burung yang
hidupnya di habiskan di kawasan pantai. Burung-burung ini akan mencari makan di
sela-sela pohon bakau atau di antara lumpur saat air surut. Padahal, secara
spesifik burung pantai tak seberapa menarik, warnanya biasa-biasa saja, bahkan
hanya hitam. Demikian pula suaranya, tidak merdu seperti burung-burung peliharaan
lain. Namun, yang membuat takjub adalah justru bagaimana burung-burung itu
mampu bermigrasi dari satu habitat ke habitat lain dengan jelajah terbang
berjarak ribuan kilometer tanpa henti.
Makin lama
mengamati, Iwan pun semakin kagum pada Sang Maha Pencipta. Burung yang hanya
seberat 400 gram itu mampu terbang sejauh 4000 kilometer tanpa henti, melitas
ke benua lain dengan perjalanan satu hingga dua minggu nonstop. Bahkan dalam literatur,
burung pantai di Selandia Baru mampu menjelajah sejauh 14 ribu kilometer ke
Alaska melintasi Samudera Pacific. Sementara burung yang ada di Wonorejo ada
yang berasal dari Siberia, Rusia, Tiongkok, maupun Korea Selatan. Ketika di
negara-negara itu sedang musim dingin, tidak ada makanan serta persaingan
dengan sesama burung sangat tinggi, maka burung-burung itu kemudian terbang ke
Indonesia.
Persoalannya,
pada saat akan mempelajari burung pantai migran, Iwan mengaku kesulitan karena
belum ada orang yang bisa diajak berdiskusi tentang ilmu burung pantai migran.
Para ahli biologi memang mempelajari, tetapi belum ada yang secara spesifik
mempelajari kehidupan burung pantai migran. Setelah mencari dari berbagai sumber,
akhirnya Iwan menemukan beberapa ahli burung pantai di Australia. Begitu kenal,
ia pun langsung menjalin komunikasi, walau sebatas melalui e-mail. Dari
rekan-rekannya yang lebih ahli di luar negeri itulah, Iwan mulai belajar mem-banding atau memberi penanda pada kaki
burung pantai yang berhasil di tangkap. Tanda berupa warna tersebut sesuai
dengan protokol internasional dari East Asian Australian Flayaway Partnership
(EAAFP) yang bermarkas di Korea Selatan.
Sebelumnya,
Indonesia sudah memiliki warna hitam-oranye yang ditentukan sesuai aturan,
tetapi hanya untuk wilayah Jawa. Itu pun sejak ditentukan puluhan tahun lalu belum
pernah ada seorang pun yang menggunakan. Baru Iwan seorang diri yang kemudian
mengajukan lagi dan membuat warna tambahan untuk wilayah baru, yakni Sumatera
berwarna oranye-hitam, dan Papua berwarna oranye-oranye.
Tahun 2007,
ketika musim flu burung menerpa, Iwan direkrut Worldlife Conservation Society
(WCS) di Bogor. Pada saat awal bergabung, dia diberangkatkan ke Australia untuk
mengikuti ekspedisi penelitian di pantai Australia Barat. Selama sebulan
ekspedisi, ia bisa belajar banyak tentang burung pantai dari orang-orang yang
selama ini ia kenal hanya lewat e-mail. Selama ekspedisi itu, setiap hari
pekerjaannya bersama yang lainnya hanya menangkap burung, memberi label,
kemudian melepaskan lagi. Pernah dalam sehari ia berhasil menangkap 700 burung.
Seminggu kemudian pindah ke pantai lain, demikian seterusnya. Di sana, ia juga
bertemu dengan peneliti-peneliti dari seluruh dunia. Selain ke Australia, oleh
WBC Iwan juga sempat dikirim ke Inggris, Thailand, Kamboja, serta India.
Setelah keluar
dari WBC di awal tahun 2011, Iwan kemudian kembali lagi ke ‘habitat’ asalnya di
Pamurbaya, Surabaya. Ia kembali melakukan pengamatan sekaligus mem-banding burung-burung yang berhasil
ditangkap. Salah satu pekerjaan yang dilakukan Iwan adalah mem-banding sebulan sekali. Untuk menangkap
burung-burung yang akan di-banding,
ia menyebar jala lembut di atas tambak di sekitar pantai Wonorejo pada sore
hari. Pada malam harinya, burung-burung pantai akan terbang dan berpindah
lokasi setelah laut pasang.
Saat pindah ke
tambak tersebut, burung pantai migran akan tersangkut di jala yang
dibentangkan. Begitu tersangkut, Iwan bersama beberapa rekannya yang sudah ia
latih, melepaskan burung dari jala dengan hati-hati agar tubuh burung tidak
cedera. Yang unik, burung itu dilepas dari jala di tengah kegelapan malam,
tanpa boleh sedikit pun menggunakan bantuan cahaya kecuali cahaya alam,
bintang, dan rembulan. Ini supaya tidak mengganggu burung yang lain. Jadi,
begitu jala ditarik dan ada burung yang terperangkap, maka burung-burung itu
akan segera dilepas dari jala kemudian dimasukkan ke kantong. Setelah
dimasukkan ke kantong, burung itu segera dibawa ke base camp. Di dalam base camp,
burung itu diberi label pada kakinya. Di label kecil itu terdapat data burung,
mulai dari jenis burung, tanggal penangkapan, berat dan besarnya, serta data
lainnya. Data-data tersebut selain dicetak di gelang yang akan dipasang di
kakinya, juga dicatat tersendiri dan dilaporkan ke LIPI serta EAAFP yang ada di
Korea Selatan.
Yang tak kalah
penting, proses sejak dikeluarkan dari kantong sampai memberi label harus
dilakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak menyakiti burung dan burung juga
tidak stres. Prosesnya juga tidak boleh lebih dari tiga menit. Begitu selesai
ditempeli label, burung langsung dilepaskan lagi ke alam liar dan hidup bebas
di habitatnya lagi. Dalam sekali jala, bisa didapatkan 5 sampai 20 ekor burung.
Burung-burung yang telah diberi label tersebut, nantinya akan diketahui
bermigrasi ke negara mana setelah tertangkap kamera atau tertangkap jala
penangkap burung seperti dirinya yang ada di berbagai negara. Pada musim burung
migrasi datang, Iwan bisa dua hari sekali datang ke Pamurbaya untuk melakukan
pengamatan maupun penangkapan. Biasanya burung pantai yang bermigrasi ke
Wonorejo atau wilayah Indonesia lain datang pada bulan Oktober, saat negara
belahan timur dunia sedang dilanda musim dingin. Setiap bermigrasi,
burung-burung itu datang secara bergerombol mencapai 35 ribu sampai 40 ribu
burung.
Iwan sendiri
saat ini berusaha mencari siapa saja yang berminat untuk memperdalam ilmu
burung pantai migran. Ia ingin sekali bisa berbagi ilmu supaya makin
berkembang. Saat ini memang tidak banyak orang yang berminat terjun secara
total seperti dirinya. Karena memang tidak membawa banyak keuntungan materi.
Iwan sendiri mengaku tidak mencari materi dari aktivitasnya ini. Karena ini
lebih memberikan kepuasan batin. Karena dianggap orang paling ahli yang ada di
Indonesia, tak jarang Iwan diminta berbicara di depan para mahasiswa di
berbagai perguruan tinggi. Dan ia merasa senang saat ini sudah ada beberapa
orang yang mengikuti kiprahnya, meski jumlahnya tidak banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar